"Gaara, kau serius mengajakku ke tempat ini?"
Dia datang lagi ke rumahku tanpa memberi kabar, setelah itu menyuruh ku mengikutinya dan aneh nya aku malah mengekorinya di belakang.
Hah ... aku malas meladeninya. Aku masih kesal pada Sasuke. Sebenarnya lebih ke merasa kasihan pada diriku. Miris sekali, jadi sedih. Ingin menangis, tapi sudah besar. 'Kan malu. Huft.
Gaara tak bilang dia akan mengajak ku ke mana, bertanya pun tak dijawab olehnya. Dia hanya bilang, akan mengajakku ke tempat seru. Tapi ... seru apa nya! Ini tempat clubing, tempat orang mabuk-mabukan. Lalu apa maksud dia, ini disebut tempat seru.
"Tentu, memang kenapa?"
Kenapa? Kenapa dia bilang? Sepertinya aku harus membelah kepalanya dan melihat apa isinya. Dia sama sekali tak merasa bersalah atau apapun itu.
"Kita masih sekolah, tentu tidak boleh ke sini."
Aku benar 'kan, anak sekolah memang tak boleh main ke club. Hanya orang dewasa saja yang boleh.
"Ini sudah malam, jadi kita tidak sedang sekolah," ujarnya yang membuatku semakin kesal.
"Jangan mengajakku berdebat," Aku benar--benar jengkel padanya. "Ayo, pulang!"
"Tenanglah, Sakura."
"Kenapa kau mengajakku ke sini? Ingat, kau Ketua Disiplin 'kan!"
"Sepertinya aku lupa soal itu."
"Apa-apaan dia itu?
"Gaara, jangan bercanda. Ayo, pulang!"
"Diamlah, jika kau tak ingin jadi pusat perhatian."
"Gaara ...." Aku merengek padanya sambil menggoyangkan lengannya.
"Ayo, ke sana!" Dia langsung menarik tanganku.
Dia seperti sedang mencari seseorang, kepalanya tak henti menoleh ke sana ke mari. Lalu, ia fokus pada arah di depannya, pada kerumunan di bartender. Orang-orang yang sedang menghisap rokok dan minum alkohol, dan ada beberapa wanita di sana.
"Bukankah itu ...."
Kalau tak salah aku pernah beberapa kali melihatnya di ruang guru.
"Dia guru magang di sekolah, ada dugaan dia jadi muncikari," jelasnya tanpa aku minta.
"Muncikari?"
"Seperti di film 'kan, kita berdua memata-matai nya."
"Apanya? Tidak keren sama sekali."
"Ya, terserah, menurutmu yang keren hanya Sasuke."
"Hei!"
"Jangan berisik, nanti ketahuan."
"Gaara, dia melihat ke sini." Aku langsung panik karena sepertinya kami berdua ketahuan. "Gaara, kau mau ke mana?" Dan ... apa-apaan dia itu? Dia malah menghampiri yang kata nya guru magang itu.
"Bukankah kamu ...."
Lelaki itu tampak bingung sekaligus kaget bersamaan saat melihat kami.
"Malam, Guru," sapa Gaara tanpa mempedulikan wajah bingung lelaki di depannya. "Tidak saya sangka bisa bertemu dengan Anda di sini."
"Apa yang kalian berdua lakukan?"
"Memata-matai Anda."
Apa? Bagaimana bisa dia mengatakan itu dengan santai tanpa beban sedikit pun.
"Apa?" Terlihat jelas dia semakin bingung karena jawaban Gaara yang terlalu jujur menurutku.
"Ada dugaan Anda menjadi muncikari selain menjadi guru, jadi saya menyelidiki Anda."
"Hahaha ... apa yang kau bicarakan, tentu saja tidak."
"Jika memang tidak, lalu kenapa Anda di sini?"
"Aku sedang bosan di rumah."
"Jadi itu alasan Anda menjadi mucikari?"
"Tentu saja bukan itu maksudku."
"Jika memang bukan, lalu apa alasan sebenarnya? Guru, Anda tahu 'kan kalau sekolah kami itu sekolah elit, jangan macam-macam jika ingin bertahan."
Apa itu? Dia membanggakan sekolah? Serius? Biasanya dia selalu mengeluh dengan sistem yang diterapkan.
"Jangan bicara sembarangan! Tahu apa kau! Apa buktinya kalau aku memang mucikari?"
Dia mengambil sesuatu di saku celananya, oh ... ponselnya. "Ini," Dia menunjukan layar ponsel ke hadapan guru magang itu. "Ini nomor Anda 'kan?"
Sepertinya dia terkejut, dan terlihat takut. "Kau ... beraninya ...." Oo, dia langsung menggeram ... dan lihat urat di wajahnya, tampak nyata dan terlihat jelas. "Kalian ... hajar dia!"
Kalian? Kalian siapa?
Orang-orang di sekitar lelaki itu langsung berdiri dan perlahan menghampiri kami. Apa ini, tadi kan mereka tampak tak peduli, tapi kenapa sekarang ....
"Kau cukup berani untuk menjemput ajalmu anak kecil."
Apa? Siapa yang anak kecil? Gaara?
"Sakura, kau bisa karate 'kan?"
"Hah?" Apa? Kenapa dia tiba-tiba tanya itu.
"Lupakan, kita pilih caraku."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Ayo, lari!"
"Apa? Hei!"
Dia langsung menarik tanganku dan berlari kencang. Sesekali aku hampir terjatuh karena tak mampu mengikuti lari cepatnya.
"Hei, jangan lari!"
Kami langsung menjadi pusat perhatian setelah teriakan itu menggema dan langkah kaki yang menyerbu.
"Tunggu, kenapa lari? Katamu ini seperti di film 'kan, seharusnya kau bisa menghajar mereka seperti peran utama."
"Kadang kita harus kembali ke realita, jangan terjebak dalam adegan film,"
"Apa!"
Orang-orang itu masih mengejar kami berdua. Tak ada yang ikut campur atau menolong, seolah adegan kejar-kejaran yang kami lakukan merupakan sebuah pertunjukan.
Kami berhasil keluar dari club itu, tapi mereka tak sedikit pun menyerah.
"Lewat sini!"
Gaara langsung berbelok arah tiba-tiba. Jika dia tidak memegangku dengan kuat pasti aku sudah jatuh. Dia kembali berbelok dan sembunyi dalam kegelapan.
"Ssstt, diam ... jangan bergerak," ujarnya dengan nafas terengah.
Tak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekat cepat. Oo, bahkan mereka baru saja lewat.
"Sepertinya sudah pergi." Aku tak melihat tanda-tanda mereka lagi.
"Haaah ...." Gaara bernafas lega, dan perlahan tubuhnya merosot ke bawah.
"Jadi dia memang mucikari."
"Hhm ...."
"Kalau kau sudah punya bukti, kenapa tidak langsung memberi tahu Guru BK? Bukannya malah memberi tahukan identitasmu." Aku berjongkok di depannya. Sedikit khawatit jika nanti dia kenapa-kenapa.
"Aku tak memberi tahu namaku."
"Tetap saja dia tahu wajahmu."
"Tapi dia tidak tahu namaku 'kan."
"Huh, menyebalkan!"
"Aku tidak ingin dia menuduh orang lain saat dikeluarkan nanti atau ditangkap polisi, mungkin," jelasnya kemudian. "Biar dia tahu, siapa yang melaporkannya."
"Tapi ... itu 'kan bahaya."
"Kenapa? Kau khawatir?"
"Tentu saja."
"Apa ini? Kau sudah mulai berpaling dari Sasuke?"
Apasih dia itu, aku 'kan khawatir padanya karena dia teman.
"Yak! Apa maksudmu?"
"Hahaha ...."
"Kenapa kau malah tertawa? Dasar aneh!"
"Ayo pulang!" ajaknya setelah ia bernafas dengan normal.
"Jangan lewat sana!" cegahnya sambil menahan lenganku. "Lewat sini saja," usulnya kembali menarik tanganku saat aku akan keluar dari belokan.
"Ke mana?"
"Ikut saja." Dia membawaku ke jalanan gelap di depan.
Aku hanya mengikuti langkahnya. Sama sekali tak mengenali jalan ini atau pun jalan yang tadi dilewati saat menuju club.
"Ini hari sabtu 'kan?" tanyanya memastikan.
"Iya, kenapa memangnya?" Aku bingung kenapa dia menanyakan itu.
"Anggap kita sedang malam minggu," ujarnya santai. "Malam minggu yang seru 'kan?" serunya sambil melihat ke arahku yang sejak tadi melihatnya.
"Apanya yang seru! Huuh ...."
Dia hanya tertawa sejenak mendengar ocehanku.
Malam ini, di bawah langit malam kami berdua menyusuri jalanan gelap tanpa lampu jalanan. Hanya ada remang-remang lampu yang terpasang di sisi tembok samping kami berjalan.
Malam ini, aku tahu sesuatu yang baru dari Gaara. Ternyata dia baik juga. Baiklah, ini malam minggu yang aneh, karena tadi itu sangat menegangkan.