Malam itu telah sampai pada peraduannya, suasana di keraton Mega Mendung sunyi senyap, tidak nampak seorang pun berada di keraton yang gelap gulita tersebut, entah kemana perginya semua penghuni keraton tersebut, bahkan tak nampak seorang penjaga pun yang hilir mudik berpatroli atau berjaga. Hujan rintik-rintik disertai ledakan petir yang aneh mewarnai malam itu, tanah disekitar keraton pun menjadi becek dan menebarkan bau busuk yang aneh menusuk hidung di tengah malam sepi tersebut, makin sunyi dan anehlah suasana di Keraton tersebut kalau tidak mau dikatakan seram dan mencekam!
Mega Sari yang malam itu sendirian didalam kamarnya nampak sangat gelisah, ia hanya sendirian di keraton Mega Mendung yang sunyi senyap dan gelap gulita tersebut, hatinya diserang kesepian yang teramat sangat! Entah ke mana perginya Prabu Kertapati, Dewi Nawang Kasih, serta suaminya Pangeran Dharmadipa dan semua penghuni juga prajurit keraton Mega Mendung, mereka semua seolah meninggalkan Mega Sari sendiri di keraton Mega Mendung. Ia menangis sesegukan seorang diri disiksa oleh kesepian yang kian memendam hatinya.
Di saat gadis cantik berkulit putih, bermata bulat tajam itu semakin gelisah dan takut akan kesendiriannya, tiba-tiba mengalunlah suara gamelan istana dari arah Balai Keprabon keraton memainkan tembang dari pupuh "Dangdanggula", tembang pupuh yang biasanya dipakai untuk menyambut raja baru yang naik tahta di Mega Mendung. Dengan penuh penasaran, ia melangkah keluar dari kamarnya sambil mengusap air matanya menuju ke Balairiung keraton. Alangkah terkejut hatinya ketika melihat keadan keraton Mega Mendung yang seharusnya megah tersebut, keraton tersebut telah rusak, banyak bagian bangunan yang runtuh, akar-akar pohon merambat menggerogoti tembok, bau anyir darah menusuk-nusuk hidung wanita jelita ini.
Mega Sari semakin terkejut ketika melihat apa yang ada dan sedang terjadi balai Keprabon keraton yag merupakan satu-satunya began keraton yang tidak rusak. Ia melihat para nayaga memainkan berbagai alat musik gamelan, dua orang sinden menyanyikan tembang pupuh Dangdanggula, beberapa orang wanita cantik nampak menaburkan bunga melati di Balai Keprabon itu. Tapi yang paling membuatnya terkejut ialah ketika ia melihat seorang pria yang sangat ia kenali duduk di kursi singgasana Mega Mendung! Pria itu adalah Jaka Lelana yang mengenakan pakaian kebesaran Prabu Mega Mendung! Saudara seperguruannya sewaktu di padepokan Sirna Raga, pria yang pernah mencuri hatinya sebelum ia melabuhkan hatinya pada Dharmadipa!
Rasa terkejutnya seketika berubah menjadi rasa kangen yang tiada tara setelah tiga tahun ini Mega Sari tidak pernah bertemu lagi dengan Jaka Lelana karena mengira pria itu sudah mati! Gadis ini langsung berlari hendak memeluk Jaka, tapi beberapa orang pengawal berperawakan tinggi kekar dengan wajah yang menyeramkan menahannya, ia pun berseru pada Jaka, "Kang Jaka! Ini Aku Mega Sari! Tolong lepaskan aku! Tolong biarkan aku memelukmu dengan seluruh rasa cinta dan rinduku! Aku kangen sekali padamu Kang Jaka!"
Jaka Lelana tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil penuh selaksa makna yang tidak dapat dipahami oleh Mega Sari, ketika itu Mega Sari seakan baru tersadar bahwa mengapa Jaka Lelana bisa duduk diatas Singgasana Mega Mendung dengan mengenakan pakaian kebesaran sang Prabu, bahkan Keris Pusaka "Segara Geni" yang merupakan senjata pusaka paling keramat dan menjadi lambang sahnya seseorang menjadi raja di Mega Mendung terselip di pinggang Jaka!
"Kang Jaka, mengapa Kakang bisa berada di singgasana itu?!" Tanya Mega Sari, lagi-lagi Jaka tidak menjawabnya ia hanya tersenyum simpul, "Kang Jaka jawab aku! Kang Jaka!" jerit Mega Sari sambil meronta-ronta dari cengkraman para pengawal yang memeganginya.
"Istriku! Bangun! Istriku?!" panggil Dharmadipa sambil menggoyang-goyangkan tubuh Mega Sari. Mega Sari pun membuka matanya, ia lalu bangun dan duduk diatas tempat tidurnya, ia melihat orang yang membangunkannya, ternyata Dharmadipa suaminya sendiri yang telah ia nikahi tiga tahun yang lalu, ia celingukan melihat ke sekeliling kamarnya, ternyata suasananya normal seperti biasanya. Perempuan cantik ini pun menarik nafas lega sambil menyeka butir-butir keringat di keningnya.
"Mega Sari kamu bermimpi apa? Kenapa kamu mengigau memanggil-manggil nama Jaka Lelana?" Tanya Dharmadipa.
Mega Sari terdiam sejenak, ia merasa segan dan tidak enak kalau harus berterus terang menceritakan apa mimpinya tersebut, kemudian ia pun menjawab, "Saya bermimpi melihat Kang Jaka datang berkunjung ke keraton kita Kakang."
Dharmadipa kaget dan heran mendengarnya, api cemburu juga mulai terbentik dari hatinya karena bagaimanapun ia tahu kalau dulu Jaka mempunyai perasaan pada Mega Sari, "Jaka? Dia datang berkunjung kemari? Lalu?"
Mega Sari menggelengkan kepalanya, "Ia hanya datang berkunjung dan menyunggingkan senyumnya pada kita, setelah itu saya tidak ingat lagi sebab keburu terbangun…"
Dharmadipa jadi merasa tidak enak, kejadian tiga tahun yang lalu ketika mereka berdua adu kesaktian di Lembah Tangkuban Perahu atau yang dikenal dengan Lembah Akhirat tergambar lagi di matanya, bagaimana ia mencelakai Jaka dengan pukulan Sirna Raga sehingga Jaka jatuh ke jurang karenanya.
"Kakang!" sebut Mega Sari yang membuat Dharmadipa terbangun dari lamunannya, "Apa yang Kakang pikirkan?" Tanya Mega Sari.
"Eeehhh... Aku hanya berpikir bahwa selama tiga tahun ini kita tidak pernah menyekar pada Jaka, tapi kita bisa apa? Kita bahkan tidak tahu dimana jasadnya berada, jurang Lembah Akhirat sangat luas lagi dalam Nyai…" jawab Dharmadipa. (Menyekar = mengunjungi makam atau tempat irang meninggal).
"Kakang benar... Tapi saya merasa sangat tidak enak sebab selama tiga tahun ini kita tidak pernah berbuat apa-apa pada jenasah Kang Jaka." sahut Mega Sari.
"Kamu betul Nyai, tapi kita harus bagaimana? Jaka adalah seorang muslim, berbeda kepercayaannya dengan kepercayaan kita hingga kita tidak bisa mendoakannya." ujar Dharmadipa yang keluar dari Islam sejak ia menikah dengan Mega Sari, ia mengikuti kepercayaan Mega Sari yang menyembah mahluk ghaib dari alam lain yang menjadi sumber ilmu hitamnya.
Mega Sari hanya mengangguk pelan, dia lalu menatap kosong ke arah jendela kamarnya, "Kang Jaka aku sangat merindukanmu... Tapi apa sesungguhnya arti mimpi tadi? Menurut orang tua kalau melihat orang yang dinobakan menjadi Raja berdiri tegak di bawah bulan purnama itu pertanda baik, tapi tadi dalam mimpi itu Kang Jaka tiba-tiba dinobatkan menjadi seorang Prabu diwaktu tengah malam yang tak berbulan juga tak berbintang, suasana di keraton ini juga sangat sepi dan mecekam, yang ramai hanya di Balai Keprabon tempat penobatan Prabu saja... Apa artinya ini? Oh perasaanku sangat tidak enak, dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa... Takut!"
***
Pada suatu pagi hari yang cerah, di sebuah hutan perbatasan antara Kademangan Citatah dengan Kademangan Saguling, nampak seorang pemuda yang sedang berjalan kaki dengan tergesa-gesa, di belakangnya mengikuti seorang gadis berkulit hitam manis dengan tahi lalat di bawah mata kanannya.
"Hoi Jaya! Penyakitmu kambuh lagi! Kenapa kau mendiamkan aku lagi?!" Tanya si gadis yang tak lain adalah Galuh Parwati alias Si Dewi Pengemis dari Bukit Tunggul pada si Pemuda yang tak lain adalah Jaya Laksana yang dahulu pada masa kecilnya bernama Jaka Lelana.
Jaya tak mempedulikan ocehan si gadis, dia malah mempercepat langkahnya, si gadis pun mempercepat langkahnya, ia lalu mengeluarkan sebuah seruling dari balik pakaiannya dan mulai meniupnya membawakan lagu tidak menentu sambil bergoyang-goyang seenaknya mengikuti Jaya.
Beberapa langkah kemudian ia pun membuka mulutnya. "Jaya aku dengar dari desa-desa yang kita lewati, banyak orang-orang yang memberimu gelar Pendekar Dari Lembah Akhirat karena menurut cerita kamu muncul dari lembah akhirat dan jadi pendekar sakti yang menumpas kejahatan, maka dari itulah mereka menyebutmu sebagai Pendekar dari Lembah Akhirat!"
Jaya menghentikan langkahnya, ia lalu menatap Galuh "Pendekar Dari Lembah Akhirat? Ah benar-benar suatu sebutan yang tak berguna"
Galuh menatap heran pada Jaya, "Tak berguna? Bagaimana bisa kau menyebut itu tak berguna?"
Jaya menyeringai sinis, "Julukan itu memang hebat terdengarnya, tapi di satu sisi kalau julukan itu membuatku menjadi jumawa dan takabur, aku tak menginginkannya!"
Galuh balas menyeringai sambil berjalan-jalan mengelilingi Jaya, "Apa yang salah dengan julukan itu? Kau kan memang hebat apalagi kalau cincin mustika di jarimu itu sudah membantumu mengalahkan musuh-musuhmu yang sakti!"
Jaya mendelik, kembali ia menuduh Galuh mengejar-ngejarnya karena menginginkan cincin mustika Kalimasada yang melingkar di jarinya, "Galuh kalau kau masih penasaran dengan cincinku ini silakan ambil dan berlalu dariku!"
Galuh terkejut mendengar pernyataan dari Jaya tersebut, hatinya jadi sedih, hampir saja ia tak kuasa untuk mengatakan tujuannya yang sebenarnya pada Jaya "Jaya... Tak bisa aku pungkiri kalau aku memang sempat tergoda untuk mengambil cincin itu darimu, aku juga memang menaruh dendam pada Prabu Kertapati! Tapi tolonglah jangan salah sangka terus padaku! Aku punya tujuan lain mengikutimu!"
Jaya terperangah mendengarnya, ia lalu teringat pada pertemuannya yang kedua dengan Kyai Supit Pramana saat ia ditolong oleh Kyai Supit, ia malah menuduh Kyai Supit hendak mencelakainya, maka pemuda ini pun beristighfar dalam hatinya, namun begitu ia masih belum mempercayai Galuh sepenuhnya sebab gadis itu masih belum jujur menceritakan tujuannya yang sebenarnya, "Jadi kamu tidak menginginkan cincin ini atau memperalatku untuk membalaskan dendammu pada Prabu Kertapati? Lalu apa tujuanmu mengikutiku? Kenapa kamu tidak pernah menjelaskan tujuanmu mengikutiku kepadaku?"
Galuh adalah seorang gadis yang keras hati, hidupnya semenjak kecil sudah ditempa dengan kekerasan hingga membuat hati serta perangainya menjadi sangat keras, kalau gadis lain yang mendapatkan tuduhan salah faham dari pria yang dicintainya niscaya ia sudah menangis, tapi bagi Galuh sebesar apapun rasa sedihnya ia masih dapat menahannya, namun tetap saja sebagai seorang perempuan ia masih punya rasa malu dan harga diri sehingga ia tidak mengatakan maksud yang sebenarnya pada Jaya, meskipun ia sendiri sudah sangat bingung bagaimana membuat Jaya mau menikahinya sesuai dengan perintah gurunya.
Dengan tatapan lesu Galuh pun menjawab, "Maaf Jaya, aku belum bisa mengatakan apa tujuanku yang sebenarnya, yang jelas aku hanya menjalankan perintah guruku! Tetapi aku berani bersumpah bahwa aku tidak mempunyai maksud buruk padamu, aku tidak bermaksud merebut atau mencuri cincin mustikamu atau memperalatmu untuk membalaskan dendamku!"
Jaya menatap Galuh dengan seksama, dari ucapannya Galuh terdengar jujur dan sangat tulus, bahkan gadis itu berani menatap Jaya, selain itu ia pun merasa tidak tega kalau harus terus mengusir Galuh dari hadapannya. Apalagi kalau ia jujur, ada suatu perasaan aneh yang tidak mengizinkannya untuk mengusir Galuh ataupun kabur melarikan diri dari gadis berlesung pipit dan mempunyai tahi lalat di bawah matanya itu.
Jaya mengalihkan pandangan matanya dari gadis berkulit cokelat yang sangat manis itu, lalu menatap ke sungai yang mengalir tak jauh dari tempatnya berdiri, ia terdiam sejenak, lalu melangkahkan kakinya menuju ke sungai itu, "Hei kau benar-benar mau meninggalkan aku?!" Tanya Galuh dengan suara bergetar pertanda ia sedang menahan debaran persaannya.
Jaya berbalik lalu tersenyum jahil, "Tidak, tapi kalau kamu mau terus ikut denganku ke Mega Mendung, kau harus mandi dulu di sungai itu!"
Galuh menatap tak mengerti pada Jaya, "Mandi? Apa maksudmu?"
Jaya tertawa mengkehkeh "Karena aku belum pernah melihatmu mandi selama kita berjalan bersama, badanmu juga bau sekali Nona Galuh! Aroma tubuhmu membuat nafasku sesak!"