Malam itu, Jaya beristirahat di sebuah tepi sungai sambil menyalakan api unggun, telinganya yang tajam dapat mendengar suara gerakan-gerakan halus di antara suara pembakaran api unggun dihadapannya. Menurut firasatnya sejak tadi siang ia sudah tahu kalau ia dibuntuti oleh seseorang, apalagi ketika hidungnya mencium bau asam, apek, dan belerang terus mengikutinya. Kini bau itu tercium tidak jauh dari dirinya berada, ia tersenyum jahil, ia membuka mulutnya, dengan tenaga dalamnya ia menirukan suara harimau mengaum yang sangat keras sampai daerah disekitar sana seolah bergetar oleh suara Jaya yang menirukan auman harimau tersebut!
Gadis yang mengikuti Jaya secara diam-diam itu tak lain adalah Galuh Parwati, tiba-tiba ia mendengar suara auman harimau yan sangat menyeramkan! Tanah yang ia pijak pun serasa bergetar oleh auman itu! Gadis ini langsung panik dan celingukan melihat kesana kemari, hingga tiba-tiba sesosok tubuh melesat dari atas kepalanya, "Baaaaa!!!!" kejut orang yang tiba-tiba berada dihadapannya itu. "AAAAAAA!!!!" jerit Galuh Parwati sambil lari kearah api unggun, Jaya pun tertawa terbahak-bahak dibuatnya.
"Hahahaha... Lucu sekali! Kiranya kau Nona Galuh yang mengikutiku dari bukit tunggul!" sela Jaya diantara tawanya yang terbahak-bahak setelah berhasil mengejutkan Galuh.
"Sialan kau!" maki Galuh dengan wajah memerah menahan malu.
"Galuh, ada apakah kau mengikuti sejak siang tadi dari Bukit Tunggul?" Tanya Jaya.
"A... Akk... Aku..." Galuh gugup sekali, apa yang harus ia katakan pada pemuda di hadapannya ini, mana mungkin ia langsung bilang kalau ia disuruh menikahinya.
Jaya nyengir melihat kegugupan Galuh, gadis yang biasanya galak ini kini terlihat sangat kikuk dihdapannya "Ada apa? Katakanlah saja Galuh!" ucap Jaya sambil nyengir menggoda Galuh.
Galuh menggigit bibirnya, ia tidak sanggup mengatakan apa maksud hatinya yang sebenarnya, maka menjawablah ia "Jaya... Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini" ucapnya dengan grogi.
"Melakukan ini apa?" potong Jaya Laksana.
"Guruku menyuruhku untuk... Untuk..."
"Untuk apa?" potong Jaya.
"Untuk mengikutimu! Guru menyuhku untuk ikut denganmu, menurutnya kita harus bekerjasama untuk menghentikan kezaliman Prabu Kertapati!" jawab galuh pada akhirnya, ya gadis ini berbohong karena tak kuasa mengatakan maksud hatinya yang sebenarnya. Tentu saja ia merasa malu dan gengsi kalau harus jujur mengutarakan maksudnya, meskipun ia seorang wanita keras hati yang ditempa oleh kejamnya dan kerasnya dunia, ia masih mempunyai rasa malu untuk mengakui mengatakan maksud hatinya pada seorang pria.
Jaya berpikir sejenak, ia menganggap kalau Galuh mengatakan yang sebenarnya (padahal ia berbohong), Jaya pun beranggapan kalau Galuh hendak memanfaatkan dirinya untuk membalas dendam pada Prabu Kertapati, Galuh memang menaruh dendam pada Prabu Kertapati sebab keluarganya dibantai dengan kejam oleh Raja Mega Mendung tersebut, namun maksud ia yang sebenarnya bukan itu.
Andaikan Jaya lebih berpengalaman dan dapat melihat merahnya wajah Galuh yang bagaikan udang rebus itu, ia akan tahu kalau Galuh tidak bermasud demikin, ia akan tahu kalau Galuh telah menaruh hati padanya.
Karena menyangka Galuh akan menjadikannya alat untuk membalas dendam, Jaya pun memutuskan untuk tidak meladeni Galuh, wajahnya berubah menjadi dingin. "Galuh sebaiknya kita makan dulu, ikannya sudah matang!" ucap Jaya yang tadi membakar ikan gurame yang ia tangkap dari sungai.
Mereka berduapun lalu menyantap gurame bakar tersebut dengan saling diam, tanpa sepatah katapun keluar dari mulut mereka, setelah itu mereka pun langsung tidur. Jaya merasa kecewa sebab ia menyangka Galuh akan menjadikannya alat untuk membalas dendam, sedangkan Galuh merasa gelisah, ia kebingungan untuk mengutarakan maksudnya yang sebenarnya.
Galuh merasa tidak suka dengan kesunyian di antara mereka berdua, maka ia pun memutuskan untuk membuka obrolan terlebih dahulu. "Jaya, kalau boleh tahu darimanakah asalmu?"
Jaya mendesah, wajahnya berubah murung, "Aku sendiri tidak tahu asalku dari mana, yang aku tahu aku dibesarkan di Padepokan Sirna Raga oleh guruku Kyai Pamenang dan Nyai Mantili sejak aku bayi…," jawabnya.
"Lalu bagaimana dengan orang tuamu?"
Jaya menatap kosong kea pi unggun dihadapannya "Aku tidak pernah bertemu dengan orang tuaku, menurut cerita guru, ayahku bernama Jayadi, ia terbunuh sewaktu menitipkan aku yang masih bayi pada Kyai Pamenang, aku juga tidak pernah tahu tentang ibuku."
Galuh mengangguk-ngangguk "Oh begitu" ucapnya "Sial aku salah membuat topic pembicaraan!" makinya pada diri sendiri
"Kalau kau sendiri bagaimana Galuh? Dari Logat bicaramu kamu seperti dari Jawa pesisir utara," tanya Jaya.
"Aku anak pedagang dari Tegal yang kebetulan sedang berdagang ke tanah Pasundan ini, namun naasnya saat itu sedang terjadi perang antara Mega Mendung dan Cadas Ngampar, ayah dan ibuku meninggal dalam peperangan itu." Jawab Galuh yang masih tidak berterus terang aka nasal-usulnya.
"Begitu... Ya sudah, hari sudah larut, kita tidur saja Galuh." ucap Jaya sambil memejamkan matanya, Galuh pun ikut menyusul memejamkan matanya.
Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan. "Jaya!" panggilnya. Tak ada yang menyahut.
"Jaya…!" panggilnya sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab.
Ia terus mengedarkan pandangannya sampai matanya memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana Jaya tidur semalam, dilihatnya ada sehelai lontar menancap di batu itu, lontar itu bertulis :
"Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit. Aku terpaksa meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi. Kembalilah ke tempat gurumu. Ketahuilah aku meninggalkanmu karena terpaksa, aku meninggalkanmu bukan karena aku tidak suka padamu, aku meninggalkanmu sebab aku tidak ingin kau terus terlarut dalam lautan dendammu pada Prabu Kertapati yang seolah tak bertepi itu. Galuh, aku memang mendapatkan tugas dari guruku untuk menghentikan sepak terjang Prabu Kertapati, tapi bukan dengan cara pertumpahan darah... Galuh pulanglah ke Bukit Tunggul, aku yakin kau adalah gadis yang baik. –Jaya Laksana-".
Galuh merasakan dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu sudah pergi. Hatinyanya masih terasa hangat oleh tatapan dan obrolan pemuda itu ketika makan malam tadi, matanya terasa panas, tak terasa dua butir air mata menetes keluar dari kedua bola matanya. "Seandainya aku berani mengatakan maksud hatiku yang sebenarnya... Oh guru apa yang harus aku lakukan, kini hatiku benar-benar telah tertpatri oleh Jaya Laksana... Bagaimana ini?" desahnya dalam hati, dengan langkah gontai ia pun melangkahkan kakinya mengikuti aliran sungai dihadapannya ke arah hilir.