"Raida Hanum. Subprogram studi Teknik Biosistem. Sangat memuaskan."
Terdengar riuh tepuk tangan seadanya.
"Adi Badawi. Subprogram studi Teknik Mesin dan Budidaya Pertanian. Cumlaude."
Terdengar riuhtepuk tangan dan teriakan diiringi suitan-suitan pujian.
"Imogi Astari. Subprogram studi Teknik Mesin dan Budidaya Pertanian."
Hening. Tanpa diiringi riuh apapun. Tidak tepukan tangan, tidak teriakan, apalagi suitan-suitan. Bahkan mungkin jangkrik saja enggan bersuara, seakan tahu diri.
Aku berjalan dengan wajah datar menuju podium saat namaku dipanggil seadanya tanpa diiringi penyambutan selayaknya teman-teman lain yang mendapat predikat 'Cumlaude' atau 'Sangat Memuaskan'.
Aku tidak menyalahkan mereka. Memang seperti itulah sambutan yang akan diterima oleh mahasiswa yang harus legowo menyandang predikat 'Memuaskan' di kampus ini.
Sang Dekan memindahkan tali toga di atas kepalaku dari sebelah kiri ke kanan tanpa senyum. Seakan sengaja membalas wajahku yang datar. Apakah wajahku datar karena merasa tidak legowo dengan nilai IPK yang hanya 2,5? Tidak, bukan begitu.
Wajah datarku ini memang sudah ada dari sananya. Bawaan lahir kalau kata orang-orang. Aku sendiri tidak tahu persis sejak kapan aku malas tertawa, malas tersenyum, malas berbicara, bahkan malas untuk marah.
Ekspresiku selalu datar. Kaku. Baku Stabil. Patung. Robot. Tembok. Kata-kata itu bisa mendefinisikan bagaimana diriku. Tidak perlu aku jelaskan panjang lebar sampai mengulur. Karena aku juga tidak suka bicara sampai melantur.
Namaku adalah nama terakhir yang tertulis di daftar hadir wisuda. Ada sedikit rasa bersalah menyelip. Karena sebagai penutup puncak acara, aku justru memberi keheningan.
"Imooo, Mama bangga sama kamu." Setelah prosesi ditutup, Mama yang tadi sibuk berbincang dengan ibunya - entah siapa - disebelahnya, berjalan cepat menghampiriku dengan segenap rasa bangga dan leganya melihat putrinya yang nyaris DO akhirnya bisa mengikuti prosesi wisuda dengan selamat dan sentosa, menurut versinya.
"Ehm, Imo ... karena kamu sudah lulus, Papa bersyukur nggak perlu keluar uang banyak lagi untuk membiayai kamu." Papa yang sudah berdiri di sampingku berdeham sembari memalingkan wajah. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dengan penuh arogansi.
Kalau ada yang mengira papaku ini raja tega seperti seorang ayah tiri yang hanya mencintai istri tapi tidak anaknya, kalian salah. Beliau benar-benar ayah kandungku, yang sedang sok bersikap angkuh untuk menutupi titik-titik bening yang mulai mengalir dari sudut matanya. Berusaha menutupi rasa bangga yang memancingnya menjadi pria cengeng. Wibawa harus menjadi hal nomor satu yang wajib dijaga olehnya. Karena menurut papa, harga diri adalah satu-satunya yang menentukan identitas seseorang.
Sampai saat ini pun aku masih tak paham dengan filosofi papa yang simpel tapi rumit itu, menurut otakku yang juga simpel ukurannya.
"Halah, Papa sok-sok'an aja tuh. Padahal bangganya bukan main sama kamu," celetuk Mama dengan nada nyinyir.
Dan hingga beberapa menit berikutnya pun papa masih belum sudi membalik wajah menatapku. Sepertinya air matanya belum habis. Aku tidak memaksa atau berusaha berpaling menatapnya. Biarkan saja. Everyone needs some space.
Hingga akhirnya sahabatku Resta, satu-satunya teman sekelas yang sudi mengakrabkan diri denganku meskipun wajahku ini mirip tembok yang malas merespon bahkan jika dicubit, datang tergopoh-gopoh menenteng kamera DSLR yang aku yakin milik kakaknya sambil berteriak memanggil namaku.
"Momogiiii! I'm so proud of you, dear!" Ia menyergapku dengan pelukan erat hingga aku nyaris terjungkal ke belakang. Abaikan saja nama yang dipanggilnya. Bukan namaku, tapi nama cemilan favoritnya.
Dan saat itulah papa menoleh ke arahku dan dengan sigapnya menahan tubuhku yang mulai limbung dari belakang. Karena beliaulah yang sangat mengenal bagaimana putrinya ini. Karena selain kaku, kelemahan lain putrinya ini adalah ... ceroboh.
"Hati-hati." Hanya dua kata itu saja yang terucap oleh papa. Padahal jantungnya berdetak kencang karena khawatir aku benar-benar akan terjungkal. Ya, aku juga sangat mengenal papaku. Karena selain sok angkuh, papaku itu juga ... so sweet.
"Om, Tante, foto-foto dulu, yuk. Saya bawa kamera, nih." Resta mengangkat tinggi-tinggi kamera dengan merk Nikon seri terbaru itu. Harganya pasti mahal. Mana mungkin terbeli oleh papa dan mama yang hanya mampu membeli televisi tabung dengan angsuran dua tahun.
"Waaah. Terima kasih lho, Res. Pa, berdirinya di samping sana. Mama di sini. Imo di tengah-tengah." Mama dengan hebohnya mengatur posisi bahkan wajah kami agar terlihat fotogenik dalam bingkai kamera. Bagaimana mau fotogenik, kalau untuk tersenyum saja aku susah sekali.
"Mo, sekali iniiii aja. Tolong bahagiain mama, ya." Mama mengemis-ngemis seakan aku, putri satu-satunya ini, belum pernah membahagiakan beliau sekalipun. Meskipun aku sudah berhasil lulus dari kampus negri paling tersohor di Bogor ini. Meskipun beberapa menit sebelumnya kata bangga terucap dari lisan mama. Ternyata semua itu belum termasuk hitungan 'membahagiakan'.
"Angkat dong bibirnya. Nih, nih diangkat." Mama menarik-narik kedua sudut bibirku ke atas agar melengkung membentuk sebuah senyum lebar ala iklan pasta gigi.
Aku tidak memprotes. Biarkan saja. Everyone needs some respect.
Sudut-sudut bibirku sudah terangkat sempurna. Membentuk senyum yang turut memamerkan gigi gingsulku di samping kanan atas. Tapi tetap saja, hanya sebuah senyum datar. Bayangkan saja bagaimana manekin pajangan toko yang tetap tersenyum kaku meski baju yang dipadu-padankan di tubuhnya merupakan sebuah bencana dalam dunia fashion.
Papa kembali memalingkan wajah sambil berusaha menyeka pipi dengan lengan kanannya yang terbalut kemeja batik murahan seharga Rp. 35.000 yang dibeli Mama di Pasar Minggu dua hari sebelumnya.
"Pa, udahan sih nangisnya. Malu lho sama Resta," tegur mama seraya mencolek bahu papa.
Rissa yang sudah mundur enam langkah hanya tersenyum meringis sembari membuka lensa kamera.
"Siapa juga yang nangis. Mama tuh lebay!" jawab papa mengelak lalu melirik tajam pada mama. Ya, papa dan egonya adalah paket harga mati, sehidup-semati, seperti nasi uduk dengan bawang goreng.
"Udah siap nih, Res." Tanpa menggubris papa, mama memberi aba-aba pada Resta lalu dengan cepat mengulas senyum manis.
"Oke, siap-siap ya. 3 ... 2 ... 1 ... say bunciiiissss."
"Bunciiiisssss"
Ckrek!
Dan hingga detik ini, tiga tahun kemudian, foto berbalut pigura berukuran 40 x 60 meter itu masih setia menghias dinding di belakang meja kasir warung mie ayam bakso milik keluarga kami. Lengkap menampilkan papa dengan wajah sok angkuhnya, aku dengan senyum ala manekinku, dan mama dengan senyum-manis-cantiknya.
Setelah melamun selama lima menit sembari memandangi sisa kenangan itu, aku menyeka debu-debu yang bertengger di kedua sudut atas pigura dengan kemoceng kecil.
Ya, itu adalah kenangan terakhirku dengan Papa tercinta, the one and only man in my heart, until now. Seminggu setelah wisuda, Papa terkena serangan jantung dan meninggalkan kami berdua di dunia fana ini.
Dan setelah itu Mama keluar dari pekerjaannya sebagai kasir di perusahaan logistik. Berdua, aku dan Mama bersama membanting tulang meneruskan usaha Papa.
"Mbak, mau bayar." Suara seorang remaja putri memanggilku dari depan mesin kasir. Saat aku menoleh, aku melihat wajah angkuh sang gadis berbalut seragam putih abu-abu. Ia tengah membuka dompetnya yang bertuliskan Billabong di pojok bawah.
"Meja nomor tujuh?" tanyaku dengan nada malas. Jujur aku tidak terlalu memperhatikannya tadi. Karena di jam makan siang ini, warung memang sedang ramai.
"Gue nggak tau meja nomor berapa. Pokoknya yang itu tuh, yang ada cewek pake sweater pink lagi rangkulan sama cowoknya." Mataku mengikuti arah yang ditunjuk oleh telunjuk kanannya yang berhiaskan nail-art di ujung kuku. Pojok kiri deret kedua dari depan pintu masuk.
"Nomor tujuh ya. Tiga mie ayam bakso, satu mie bakso, dua mie ayam pangsit, dua jus alpukat, satu es teler, tiga teh botol."
"Iya yang itu. Buruan berapa!" tuntutnya dengan nada sedikit kesal seolah-olah aku telah membuat kesalahan.
"Seratus empat belas ribu lima ratus."
"Seratus empat belas aja ya. Gue nggak punya recehan."
"Lima ribu ada?"
"Maksud lo?" tanyanya ketus dan tak sopan.
"Bayar seratus lima belas ribu ke sini, nanti kembali lima ratus."
"Maksud lo, gue harus piara receh di dompet gue ini? Gitu? Nggak level!" Dengan wajah galak, ia menunjuk-nunjuk ke arah dompet branded ala anak muda itu.
"Kalau begitu lima ratusnya mau didonasikan saja?" Aku menunjuk ke arah kotak amal milik yayasan Baitussalam yang terletak di samping mesin kasir.
"Idih, belum tentu juga tuh kotak amal beneran buat mesjid. Bisa jadi akal-akalan lo doang. Entar kalo udah tutup nih warung, tuh kotak lo kosongin, duitnya masuk dompet lo. Udah banyak tuh di tipi, di yutub diberitain yang kasus kotak amal palsu. Lagian, bokap gue juga tiap hari beramal sama karyawannya."
Dalam hati tentu saja geram setengah mati mendengar celotehan remaja milenial yang terlihat sekali kurang dirangkul oleh orangtuanya ini. Tapi seperti tembok yang tak punya muka, aku pun menunjukkan amarahku yang mulai bergemuruh. Aku hanya menatapnya tajam dalam diam, berharap indra keenamnya peka merasa kalau wanita 25 tahun di hadapannya ini sedang marah padanya.
Dan tentu saja hal yang kuinginkan itu tidak terjadi. Boro-boro memiliki indra keenam, indra perasanya saja mungkin sudah mati.
"Gue bayar seratus empat belas aja! Syukur-syukur gue mau bayar, nggak kabur. Mie ayamnya juga standar aja, nggak ada enak-enaknya di lidah gue. Sebenernya gue nggak level makan warungan begini. Cuma gara-gara teman gue aja tuh yang maksa minta ditraktir di sini," gerutunya panjang lebar tanpa memedulikan tatapan tajamku yang masih mengarah padanya. Tangan dan matanya tengah sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran berwarna-warni dalam dompetnya.
"Nih!" Ia menyodorkan tumpukan selembar kertas merah, selembar kertas ungu, dan selembar kertas abu-abu. Aku menerimanya dengan ragu-ragu.
"Kurang dua ribu."
"Udahlah korting aja. Dua ribu cuma ada selembar."
"Kalau lima ribu ada? Nanti saya kembalikan tiga ribu."
"Lo nggak denger tadi yang gue bilang? Dompet gue nggak level miara recehan." Kali ini suaranya setengah berteriak hingga sukses mendapat sorotan spotlight dari para pengunjung lain. Tinggal kurang tepuk tangan saja.
"Ada apa sih, Vir?" tanya temannya yang mengenakan sweater pink. Ternyata ribut-ribut ini berhasil mengalihkan dunianya.
"Nih mbak-mbak kasir rese' bener! Udah deh, pokoknya gue bayar segitu. Lagian lo kan dapet banyak tuh dari kotak amal mesjid. Udah sukur gue mau makan di sini, harusnya lo merasa terhormat." Dengan tatapan memandang seolah-olah aku ini manusia nista, ia pun balik badan sembari menarik tangan temannya untuk mengikuti langkah teman-teman berseragam putih abu-abu lainnya keluar dari warung.
Aku berusaha berpikir keras. Memangnya siapa sih anak ABG ini? Anak menteri? Anak presiden? Anak raja? Anak sultan? Kenapa aku harus merasa terhormat?
"Sudah, biarkan saja, Mo. Kurang dua ribu lima ratus doang. Hitung-hitung ngasih diskon sama pelanggan." Mama tiba-tiba muncul di belakangku.
"Dia pelanggan lama?" tanyaku datar.
"Baru beberapa kali makan di sini. Sejak tahun ajaran baru di mulai. Sepertinya masih kelas sepuluh."
Dan mama membiarkan bocah bau kencur itu menginjak-injak harga diri warung ini?
"Nggak apa-apalah, Mo. Kali aja nantinya dia mempromosikan warung kita. Kali-kali anak pejabat."
Sejujurnya aku tidak peduli mau dia anak pejabat, anak kepala desa, anak dokter, anak kunti, mau dia anak siapapun seharusnya bisa bersikap sopan dan menghormati orang lain. Bukannya sejak dibangku SD sudah mengenyam pendidikan moral yang sesuai pancasila dan UUD 1945? Tapi siapalah aku mau repot-repot mengurusi remaja tanggung yang
sepertinya tidak pernah diurus itu.
"Mo, lamaran-lamaran kerja yang sudah kamu kirim belum ada yang manggil lagi? Sudah enam bulan, lho."
Yang dimaksud mama dengan enam bulan di sini adalah terakhir kalinya aku dipanggil untuk wawancara kerja. Enam bulan yang lalu. Dan hingga saat ini belum ada satu pun perusahaan yang berkenan menderingkan telepon di warung ataupun ponselku untuk sekedar bicara "dengan Mbak Imogi Astari? Saya dari PT. X. Bisa besok datang ke kantor kami untuk wawancara?"
Bagaimana mungkin? CV dan resumeku pasti ada di urutan terakhir daftar telepon mereka. Mungkin juga dari sekian banyak pelamar dengan nilai dan prestasi mentereng, IPK-ku yang paling rendah dan nol prestasi. Dan mungkin mempekerjakan seorang lulusan dengan otak ala kadarnya dan minim prestasi dianggap akan menurunkan image perusahaan ke level terendah.
"Belum."
Dan aku tidak pernah menyangka bahwa kalimat yang akan dikatakan oleh mama lima detik kemudian, akan benar-benar merubah hidupku yang datar menjadi bergelombang.
5 ...
"Tadi mama ditelpon sama Pak Rudi, bos mama dulu."
4 ...
"Katanya anaknya bikin perusahaan baru. Jadi lagi nyari-nyari karyawan."
3 ...
"Terus mama kan pernah cerita ke Pak Rudi kalau kamu masih pengangguran."
2 ...
"Nah, Pak Rudi tadi nawarin lowongan kerja buat kamu."
1 ...
"Kalau begitu, besok jam sembilan pagi kamu datang untuk wawancara di PT. Wongso. Ini alamatnya."
"Sebagai apa, Ma?"
"Personal Assistant anaknya. Jangan lupa bawa CV."
*************************
Pintu bis Trans-Jakarta terbuka. Kumpulan pekerja yang hendak mengais rejeki di pagi hari menyeruak masuk berebut ruang di dalam bis yang memang sudah disesaki penumpang dari terminal sebelumnya. Sang petugas yang membentangkan tangannya untuk mencegah kerumunan yang masih mendesak masuk pun ikut terdorong. Untung saja pintu bis cepat tertutup. Nyawa sang petugas yang tadi sempat terancam pun terselamatkan. Aku tidak berlebihan jika menyebut nyawanya terancam. Bagaimana jika sang petugas terdorong hingga jatuh terjerembab dengan kepala belakang terantuk lalu pembuluh darahnya pecah seperti dalam cerita di film-film? Mengerikan bukan?
"Maaf Mas, bisa tolong memberikan kursinya untuk bapak ini?" Terdengar suara seorang pria tinggi gagah dengan balutan kemeja kerja berwarna navy menegur seorang pemuda yang duduk sambil asyik mendengarkan lagu yang diputar dari headphone-nya. Tangannya sibuk mengetuk-ngetuk pahanya, mungkin untuk mengiringi ketukan irama yang berputar di kepalanya. Sedangkan tangan kanan sang pria gagah sedang bergelantung. Begitupula dengan tangan kiri seorang kakek yang berdiri di sebelahnya, tangan kanannya terlihat menggenggam erat-erat sebuah walking-stick besi yang menjejak ke lantai. Kakek tua ini sepertinya yang dimaksud sebagai si 'Bapak' oleh pria gagah itu.
Aku yakin sang pemuda mendengar dengan baik suara lantang pria gagah itu, karena ia sempat mendongak dan menyorot tajam pada sang pria gagah. Tapi sang pemuda memalingkan wajah tak pedulinya. Bahkan menoleh pada sang kakek pun tidak. Padahal sang kakek melempar senyum tipis padanya. Memang, lebih mudah untuk menutup mata, telinga, dan hati daripada membuka jalan menuju pintu surga.
Melihat sikap menyebalkan sang pemuda yang aku tebak sebagai seorang mahasiswa itu, aku menggeser tubuh mendekat di sebelah sang kakek. Batinku turut tergerak untuk menegur pemuda itu. Well, sebenarnya bukan hanya menegur, tapi juga ...
"Mas, ini saya bayar dua puluh ribu untuk tempat duduknya," ucapku santai sembari menyodorkan selembar kertas berwarna hijau.
Benda itu berhasil membuatnya menoleh ke arahku. Dipandanginya kertas hijau itu, lalu mendongak memandang wajah datarku, lalu turun lagi ke arah uang itu.
"Oke!" Tangan kanannya menyambar uang dengan cepat lalu ia berdiri. "Lagian bentar lagi juga gue turun."
Ia mengulas senyum kecut lalu berbisik tepat di samping telingaku.
"Kalo yang ngomong cewek kayak lo sih, gue dengerin."
Telapak tangannya menepuk tepat di bokongku. "Lo seksi."
Aku terpaku dengan kedua mata membulat lebar. Sebelum aku sempat bereaksi, ia telah menyatu dengan kerumunan di barisan depan. Tawanya yang melecehkan terdengar jelas hingga ke gendang telingaku. Beberapa detik kemudian pintu bus terbuka, sang pemuda kurang ajar segera menjejak keluar.
Ingin rasanya menampar, menonjok, menginjak, bahkan membanting tubuhnya hingga hancur seperti Hulk yang dengan buasnya membantai Loki.
Tapi aku bukan Hulk, bukan Wonder Woman, bukan Captain Marvel, bukan superhero yang mampu meluluh-lantakkan musuh dengan sekali hempasan tenaga. Paling-paling yang bisa aku lakukan hanya mendesah napas panjang sambil mendo'akan semoga pemuda itu segera bertobat dan tidak menyia-nyiakan hidupnya untuk membuka jalan menuju pintu neraka.
"Jangan begitu caranya. Nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang." Sang pria gagah menatapku tak suka.
"Yang tadi bisa," jawabku singkat. Lalu tatapanku beralih pada sang kakek yang berdiri tepat di sampingku.
Ia menunduk. Aku sempat mengernyitkan dahi karena sepertinya sang kakek terlihat memandangi sepatu kulitnya yang sudah usang. Lalu aku tersadar saat melihat tetesan air jatuh di atas permukaan sepatu kanannya.
"Pak? Bapak nangis?" Sang pria gagah sudah duluan bertanya. Segera kukatup kembali mulutku yang sudah menganga karena ingin menanyakan hal yang sama.
"Maaf. Maaf saya merepotkan. Apalagi jadi bikin Mbak ikut dilecehkan." Kepalanya kembali teerangkat dan kini menatapku dengan wajah sendunya. Atau ... wajah merasa bersalah?
"Maaf ... saya tidak bisa menghardik pemuda kurang ajar itu," lanjut sang kakek lirih.
"Kamu ... dilecehkan sama dia?" Tentu saja sang pria gagah terkejut mendengar kalimat permintaan maaf sang kakek. Aku enggan berkomentar, seperti biasa. Yang lalu biarlah berlalu. Semoga Allah berkenan memberi hidayah pada bocah itu. Itu saja do'aku. Tidak perlu membahas masalah yang sudah berlalu semenit yang lalu.
"Kek, ayo duduk di situ." Aku menggamit lengan sang kakek untuk berjalan selangkah lebih maju agar menempati kursi kosong itu. Aku tidak mau membayar sia-sia. Penumpang yang mengapit di sisi kanan-kiri tahu diri untuk segera menggeser badan. Mereka menatapku segan.
"Sebaiknya Mbak saja yang duduk di sini. Mbak lebih berhak," tolak sang kakek dengan lembut.
"Saya beli kursi kosong ini untuk Kakek, bukan untuk saya." Aku membalas datar. Benar-benar tanpa ekspresi. Aku merasakan sorotan tajam sang pria gagah yang terasa menusuk. Kontras dengan sang kakek yang tengah menyorotku dengan tatapan lembut penuh haru.
"Semoga Allah membalas kebaikan Mbak," ujar sang kakek sembari berusaha duduk dengan bertumpu pada tongkatnya. Untung saja ia tidak kembali menolak.
"Aamiin," jawabku hambar.
"Semoga segala urusan Mbak hari ini dimudahkan dan dilancarkan."
"Aamiin."
"Semoga rejeki Mbak juga dilancarkan."
"Aamiin."
"Semoga jodohnya Mbak juga dilancarkan."
"Am — eh?" Kalimatku terputus karena aku ragu. Harus di-aamiin-kan atau tidak do'a yang satu ini.
"Aamiin." Kepalaku menoleh ke sebelah kiri. Sang pria gagah yang meng-aamiin-kan do'a itu sambil tersenyum sinis. Sang kakek yang tadi sedang dalam mode sedu-sedan tiba-tiba tertawa.
Aku menatap keduanya bergantian. Persis robot yang bisa melirik. Lalu beralih ke kaca jendela di hadapanku yang menampilkan pemandangan tugu Monas.
Dan keduanya hanya berkata dalam diam di antara keramaian canda tawa penumpang lainnya.
Aku tidak berusaha melanjutkan basa-basi atau menciptakan obrolan panjang yang berlanjut dengan perkenalan dan sejarah hidup. Sudah kubilang kan, aku bukan tipe orang yang suka bicara hingga melantur. Untung saja sang kakek dan sang pria gagah menangkap sinyal telepati batinku. Atau mungkin mereka membaca tulisan yang tertera di dahiku. Do Not Disturb.
Tiba di terminal Thamrin, aku tidak berusaha menembus kerumunan untuk keluar lebih cepat. Dengan sabar aku menunggu giliran di paling belakang barisan.
Pria gagah itu sepertinya memiliki tujuan yang sama denganku. Ia berjalan kecil tepat di belakangku.
"Turun sini juga?" Aku termangu sejenak mendengar suara itu. Pria gagah itu sedang berusaha membangun percakapan denganku?
"Ya."
"Kerja di mana?"
Sinyal waspadaku bekerja. Buaya alert!
"Maaf, saya duluan. Permisi."
Kali ini aku tidak lagi bersabar menunggu. Aku berjalan cepat mencari akses di antara barisan manusia di depan. Berusaha melarikan diri.
___________________________
"Waktunya habis. Silahkan kumpulkan kertas ke depan." Sang Mbak HRD memberi instruksi pada kami berdelapan yang baru saja mengerjakan soal-soal psikotest.
Dan kami semua pun menurut bagai anak SD yang dengan pasrahnya mengumpulkan lembar jawaban soal UN.
Entah sudah ke-berapa puluh kalinya aku mengerjakan tes-tes semacam ini. Tetap saja nihil hasil, ujung-ujungnya aku bukanlah calon pekerja yang diinginkan.
Sebenarnya, aku juga tidak pernah bersungguh-sungguh mengerjakan soal-soal itu. Selain aku tahu hasilnya akan mengecewakan, aku sebenarnya lebih senang bekerja mengurus warung bakso peninggalan papa. Pekerjaanku itu bisa dilakukan sesuka hati. Aku bisa tidur sejenak saat lelah. Aku bisa makan kapan saja jika lapar. Aku tidak perlu memakai pakaian formal yang sulit menyerap keringat. Aku bisa bersendal-jepit sesuka ria. Dan aku tidak harus bersusah-payah menjilat atasan karena akulah atasannya. Ini semua hanya demi mama tercinta. Agar tak menanggung malu karena terlanjur meng-iya-kan tawaran mantan bosnya.
Selesai menyerahkan lembar jawaban, beberapa orang hendak kembali menduduki kursi panas tadi. Tapi sebelum sempat terhenyak, sang Mbak HRD dengan bulu mata anti tornado itu kembali memberikan intruksi yang membuat mereka mengurungkan niat.
"Silahkan tunggu di luar. Jika nanti nama anda dipanggil kembali, itu artinya anda lolos ke tahap wawancara."
Dan biasanya kalimat itu menjadi petunjuk bagiku untuk langsung pulang saja. Buat apa berlama-lama menunggu hasil? Toh, tadi aku juga menjawab dengan karangan bebas alias asal. Ketika para pelamar lain berjalan menuju kursi tunggu di sebelah kanan, aku justru hendak membelokkan kaki ke sebelah kiri menuju lift. Namun langkahku terhenti saat seorang wanita berkacamata dengan perawakan keibuan mendekatiku.
"Imogi Astari?"
"Ya?"
"Tolong ikut saya."
Dan aku pun segera mengikuti langkah wanita itu dengan dahi mengernyit. Menebak-nebak buah salak, kenapa hanya aku yang diajak? Pertanyaan wanita itu turut mencuri perhatian para pencari kerja lainnya. Wajah mereka turut menyimpan tanya. Kenapa hanya aku yang dipanggil oleh wanita itu?
Kami berdua berjalan lurus melewati barisan wajah penuh tanya itu. Aku tak mau ambil pusing dengan tatapan mereka yang penuh penghakiman. Sudah biasa.
Wanita berkacamata itu berjalan lurus menuju lift di paling ujung koridor. Saat pintu lift terbuka, ia memintaku masuk dengan isyarat matanya. Aku pun menurut dan terkejut secara bersamaan saat mengetahui ia tidak turut masuk bersamaku.
"Tekan saja tombol lima. Temui Pak
Neo."
Suaranya menghilang bersamaan dengan tertutupnya pintu lift. Aku pun langsung menekan tombol lima di panel.
"Pak Neo?" Aku berucap sendiri.
Lift itu bergerak cepat. Tidak sampai satu menit, pintu lift sudah terbuka di lantai lima. Aku melangkah keluar lalu meneliti sekeliling isi lantai ini yang hanya terdiri dari satu ruangan besar dengan satu pintu masuk berjarak dua meter dari hadapanku.
Aku melangkah mendekat diiringi detak jantung yang bertalu-talu. Sedikit rasa takut turut menyertai. Lagi-lagi pertanyaan yang sejak tadi berputar di kepala, kembali menghampiri. Ada apa ini?
Pintu itu kuketuk pelan dua kali dengan buku-buku jari tangan lalu aku mundur selangkah. Bersiap-siap menyambut siapa atau apa yang membuka pintu. Pasti manusia kan?
Dalam hitungan detik pintu itu dibuka dari dalam. Seorang pria tampan nan gagah tengah berdiri di sana memamerkan senyumnya yang menyilaukan.
"Ayo masuk."
Aku yang masih terpikat mengangguk sekilas. Menapak dengan langkah kecil ke dalam ruangan nan megah itu dengan wajah tertunduk. Khawatir khilaf jika lagi-lagi harus bersitatap dengan pemilik senyum ala iklan pasta gigi itu.
Yang tertangkap oleh pandanganku hanyalah langkah kakinya yang berbalut running-shoes. Sebentar, running-shoes? Aku mengangkat wajah sedikit untuk benar-benar memperhatikan penampilan pria itu. Karena beberapa detik yang lalu aku terlalu terpana dengan wajahnya, hingga mata ini abai dengan penampilannya yang ... wow! Pasti habis jogging.
Ia mengenakan celana training abu-abu dengan kaos navy ber-hoodie. Menonjolkan segala aspek pria macho yang patut dimiliki setiap kaum adam.
Aku berjalan melewati sebuah pintu coklat di sebelah kiri. Lalu bertanya-tanya dalam hati. Ada ruangan lain di dalam ruangan ini?
"Silahkan duduk."
Ia mempersilahkan aku untuk menempati sebuah kursi di depan meja. Detik berikutnya aku pikir ia akan duduk di belakang meja. Ternyata tidak. Ia hanya berdiri di samping kursi kebesaran ala bos-bos besar dengan siku kanan bersandar di atas kursi. Di belakang punggungnya terpapar pemandangan langit cakrawala dari kaca gedung yang terbentang. Ahh ... lukisan yang indah di mata.
Setelah duduk, aku diam saja menatapnya yang tengah membolak-balik halaman tabloid di tangannya yang kekar. Sepertinya ia mengabaikan keberadaanku.
"Maaf, anda Pak Neo?" tanyaku memberanikan diri.
"Ooh, bukan. Saya temannya. Tunggu saja, orangnya sedang ke toilet." Ia menjawab tanpa sedikitpun melirik ke arahku. Ternyata senyuman yang memanah hati tadi hanya remeh-temeh saja.
Aku pun diam termangu. Menghitung detak detik dalam hati.
Kebiasaanku untuk membunuh rasa bosan selama menunggu.
"Zi, orangnya sudah — ehem. Sudah datang ternyata." Sepertinya pria bernama Neo itu sudah datang dari arah belakangku. Pintu coklat yang aku lewati di sebelah kiri tadi sepertinya ruangan toilet itu.
"Yo, aku balik dulu, ya. Mau langsung ke kantor. Ada rapat jam 10." Pria jogging itu menengadah pandangan pada Pak Neo yang sedang berjalan ke arah kami.
Saat itulah mataku menangkap sosok bernama Pak Neo. Tadaaa ... Pak Neo adalah sang pria gagah di bis Trans-Jakarta tadi. Kok mirip jalan cerita sinetron, ya?
"Tinggal nyebrang gedung doang, Zi. Paling lima menit."
"Mau merapihkan gambar dulu, Yo. Baik-baik sama pelamar kerja. Jangan ganas." Lalu sang pria jogging yang dipanggil Zi itu tertawa pelan.
"Oke. Thank you ya oleh-oleh kopinya." Pak Neo mengangkat goodie-bag di atas meja yang mungkin memang isinya bungkusan kopi.
"You're welcome. Yuk, Mbak."
Ya Tuhan, dia tersenyum lagi padaku. Aku membalas senyumnya tanpa sadar. Catat, tanpa sadar!Hatiku menggerakkan mulutku untuk melebar. Dan aku yakin, senyum di wajahku ini bukan senyum datar. Biasanya tidak semudah ini hatiku rapuh. Ada apa dengan sang hati?
"Eheeem."
Dehaman panjang Pak Neo sukses memusnahkan senyum di wajahku. Sang wajah kembali memandang kaku.
"Sudah puas matanya liat teman saya yang ganteng?" Ucapannya terdengar bersamaan dengan suara pintu tertutup yang menggema dalam ruangan besar ini.
Aku tidak menjawab sindiran sarkastik itu. Tatapannya yang dingin kian menghakimi. Aku pun membalas dengan tatapan yang tak kalah dingin. I have nothing to lose.
"Nama?"
"Imogi Astari."
"Panggilan?"
"Imo."
"Umur?"
"25."
"Alamat tinggal?"
"Maaf, Pak. Semua pertanyaan itu jawabannya ada di tangan bapak."
Sorotanku tertuju pada lembaran CV milikku yang sedang dalam genggamannya.
"Ehem. Pengalaman kerja?"
"Warung bakso."
Kini matanya membelalak lebar menatapku tidak percaya.
"Maksudnya? Di restoran yang jual bakso?"
Aku menggeleng sekali. "Warung."
"Sebagai? Pemilik?"
Aku kembali menggeleng. "Milik orangtua saya. Saya hanya bantu-bantu."
"Ya sama saja, milik kamu kalau begitu."
"Milik orangtua saya."
"Kamu kan anak orangtua kamu. Berarti warung itu milik kamu juga."
"Perusahaan ini milik Bapak?" Aku balik bertanya.
"Iya. Ini perusahaan saya." Ia menjawab dengan kepala sedikit mendongak. Congkak. Bangga hati.
"Berarti perusahaan orangtua Bapak juga?"
"Ya bukanlah. Perusahaan ini benar-benar milik saya."
Lalu ia terdiam sejenak. Sepertinya baru menyadari maksud pertanyaanku itu. Jebakan betmen!
"Kamu! Di sini harusnya saya yang bertanya. Bukan kamu." Ia terlihat kesal.
Aku hanya diam saja. Tidak menanggapi dengan sepatah kata pun. Mau tahu motto hidupku? Diam itu emas.
"Ehem. Motivasi melamar pekerjaan di sini?" Ia berusaha kembali membenahi wajahnya yang tersurut emosi.
"Untuk menyenangkan hati mama saya."
"Apa?" Pak Neo benar-benar kaget kali ini.
"Mama saya yang nyuruh melamar di sini."
"Dan kamu langsung nurut?"
"Ya."
"Jadi kalau mama kamu nyuruh kamu lari keliling lapangan sepuluh kali, kamu juga bakal nurut?"
"Ya."
"Kalau mama kamu nyuruh kamu keliling Jakarta naik sepeda, kamu bakal nurut?"
"Ya."
"Kalau mama kamu nyuruh kamu jualan bakso keliling pake gerobak, kamu bakal nurut?"
"Ya."
"Kalau mama kamu nyuruh kamu berenang keliling pulau Jawa, kamu bakal nurut?"
"Ya."
"Kalau mama kamu nyuruh kamu nikah dengan saya, kamu bakal nurut?"
"Ya. Hah?? Tentu saja tidak!"
Gawat! Aku yang kena jebakan betmen!
Sementara Pak Neo puas tertawa usil.
"Maaf, semua pertanyaan Bapak tadi tidak ada kaitannya dengan pekerjaan." Aku membalas datar.
Perlahan seringai itu menghilang dari wajahnya. Mungkin karena melihat reaksiku yang biasa saja. Aku dapat dengan mudahnya mengendalikan diriku. Well, i'm almost a robot.
Ia pun kembali bersikap dingin.
"Tidak ada motivasi kerja. Tidak ada pengalaman kerja. Dan ternyata ..." Ia melirik layar laptopnya sekilas lalu melanjutkan, "... hasil nilai psikotesmu buruk. Jadi, sepertinya tidak ada alasan bagi saya untuk mempekerjakan kamu di sini."
"Oke. Kalau begitu saya permisi." Aku sudah setengah mengangkat tubuh saat ia tiba-tiba mengangkat tangannya.
"Mau kemana? Saya tidak bilang wawancara ini sudah selesai."
"Jadi belum selesai?" Aku balik bertanya.
"Pembicaraan ini selesai saat saya bilang selesai."
"Bapak barusan bilang selesai."
"Maksud saya ... itu ... itu hanya penjelasan saya. Kenapa sih, sulit sekali bicara sama kamu? IQ kamu rendah, ya?"
"Mungkin. Saya juga tidak tahu." Aku mengangkat kedua bahu tak peduli.
Ia mengacak-acak rambutnya gusar. Sepertinya berbicara denganku membuatnya frustasi. Well, menurut orang lain juga begitu, sih.
Aku kembali melekatkan tubuh di kursi dengan tatapan datar.
"Saya perlu kamu meyakinkan saya. Kenapa saya harus menerima kamu untuk bekerja di sini?" tanyanya lagi. Kali ini dengan pandangan sedikit ... memelas? Benarkah Pak Neo tengah memelas?
"Saya tidak punya alasan."
Ia kembali menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin tidaklah gatal sama sekali.
"Kamu mau bekerja di sini atau tidak?"
"Bapak orang pintar. Saya yakin Bapak bisa menyimpulkan sendiri."
"Menyimpulkan dari mana?" Ia sudah benar-benar kehabisan kesabaran.
"Dari jawaban-jawaban yang saya berikan tadi."
"Jadi maksud kamu, kalau saya tidak bisa menyimpulkan maksud dari jawaban-jawaban kamu tadi, artinya saya orang bodoh? Begitu??" Pak Neo marah.
"Saya tidak bilang begitu."
"Jadi mau kamu apa?!" Oke, dia murka.
"Saya mau pulang. Permisi." Tanpa menunggu kata-kata yang akan terlontar dari wajahnya yang sudah merah padam menahan amarah, aku segera bangkit dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Tidak ada gunanya juga berlama-lama dalam wawancara yang tidak jelas ini.
Beberapa detik kemudian, terjadi sesuatu yang benar-benar mencengangkan pendengaranku. Saat aku tengah membuka pintu, ia meneriakkan namaku.
"Imogi Astari!"
Aku yang sedikit tersentak segera menoleh ke arahnya.
"Kerja mulai senin depan! Temui ibu Nina di HRD."
Dan setelah itu duniaku benar-benar disibukkan oleh gelombang yang dideburkan oleh seorang pria bernama Caraka Bumi Borneo
---------------------------------------------------‐--------