Kedua bola mataku mondar-mandir ke kiri ke kanan, ke kiri dan ke kanan. Mengikuti pergerakan si pria menyebalkan. Untung tampan. Kalau tidak, ingin sekali menendangnya keluar.
"Jadi ini warung bakso kamu?"
"Warung orangtua saya."
Akhirnya dia duduk juga di depanku. Setelah sekian menit mondar-mandir hanya untuk mengamati warung ini. Padahal apa yang perlu diamati coba? Botol saos dan kecap?
"Oke, to the point aja. Apa yang mau kamu bicarakan?"
Dari tadi juga aku maunya begitu, tapi dianya saja yang mondar-mandir nggak jelas.
"Bapak belum jawab pertanyaan saya tadi di telpon."
Matanya memicing ke arahku. "Pertanyaan yang mana?"
Sayang ya, ganteng-ganteng amnesia.
"Apa tawaran pekerjaan sebagai asisten bapak masih berlaku untuk saya?"
Bukannya menjawab, ia malah menyengir tipis. Sepertinya sengaja, untuk menambah level 'babang tamvan'-nya. Untung beneran tampan.
"Apa untungnya buat saya kalo menerima kamu?"
Aku menatapnya datar. Benar-benar datar. Padahal kedua bola mata yang menatap malas ini ingin sekali rasanya mengoyak-ngoyak wajah pria yang sedang berlagak ini. Untung tampan.
"Bapak sedang jual mahal? Lupa siapa yang tadi 40 kali telpon ke HP saya?"
"Lho, saya telpon kamu berkali-kali karena ... ehm, oke. To the point aja. Saya masih mempertimbangkan kamu untuk bekerja dengan saya. Selama tiga minggu ke depan, kamu dalam masa probation. Mulai besok kamu masuk kerja."
Sebenarnya aku bertanya-tanya terus sejak tadi. Pertimbangan apa yang membuat sang calon atasan ini sebegitu getolnya menginginkan aku bekerja untuknya? Tampangku? Perasaan biasa saja. Penampilanku? Dibandingkan dengan ibu-ibu mau masuk pasar juga masih kalah. Keahlianku? Apa pintar bikin bakso termasuk syarat menjadi asisten pribadi? Statusku? Masa iya cuma gara-gara aku masih perawan terus diterima bekerja.
"Giliran saya. Saya mau bekerja untuk Bapak. Tapi, dengan beberapa syarat."
Tubuhnya mendadak condong ke depan dengan tatapan seakan berkata 'yang benar saja'. "Syarat apa?"
"Pertama, saya minta gaji sembilan juta per bulan."
"Hmmm ..."
"Kedua, saya ingin kasbon dulu tujuh puluh dua juta. Jika memungkinkan uang itu harus sudah ada di tangan saya besok siang."
"Apa??"
"Ketiga, selama satu tahun saya bekerja nanti, Bapak bisa potong gaji saya enam juta tiap bulannya untuk melunasi kasbon saya itu. Jadi Bapak hanya perlu membayar saya tiga juta perbulan."
"Kamu gila??"
"Keempat, saya hanya bisa bekerja maksimal sampai jam tujuh malam. Setelahnya, status saya bukan lagi karyawan Bapak." Orang masih waras dibilang gila.
"Kamu!!!" Kali ini ia bangkit berdiri dengan penuh emosi. Dan aku hanya menatapnya tenang.
"Bagaimana kalau saya tidak setuju?"
"Kalau begitu tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Bapak silahkan angkat kaki sekarang juga. Besok silahkan mencari asisten lain." Padahal dalam hati do'aku kencang sekali agar si 'babang tamvan' ini menerima persyaratanku.
Setelah berkali-kali menarik napas dengan cepat, ia kembali duduk. Wajahnya masih menatap sangar bagai seekor singa yang hendak melahap anak cheetah di sabana Afrika. Tangannya meraih gelas berisi es jeruk di hadapannya. Dinginnya es jeruk yang diminumnya, berpindah ke matanya. Mata itu sekarang memandang dingin.
Aku pun melakukan aksi yang sama. Menenggak es jeruk di tangan dengan tatapan dingin mengawasi sang musuh. Dan mata kami pun perang dingin.
"Eh, Mas Neo ... apa kabar?" Mama tiba-tiba datang menengahi. Sekedar berbasa-basi atau sedang berusaha memecah bongkahan es yang tercipta di antara kami.
Tatapannya yang masih dingin beralih pada Mama. "Baik."
"Eh ... emmm, boleh saya ikut bicara?" Mama melirik tajam padaku. Mataku hanya membalas malas. Sementara mata Pak Neo memandang dingin kami berdua.
"Jadi begini Mas Neo, sebenarnya —"
"Mama, daging di dapur belum selesai digiling." Kini aku yang melirik tajam pada Mama.
"Bentar. Jadi begini —"
"Lada belum digiling, Ma."
"Bentar dulu, Mo. Mama ma —"
"Cucian piring belum beres, Ma." Berharap sangat Mama mengerti sinyal kode kerasku untuk segera menyisih dari hadapan kami.
"Mo, Mama kan —" Untungnya Mama segera menghentikan kalimatnya saat bola mataku melebar. Lalu melenggang pergi dengan wajah tak ikhlas meninggalkan kami berdua.
Bukannya aku benar-benar tidak ingin melibatkan Mama dalam pembicaraan ini. Hanya saja, aku ingin Mama percaya kalau aku bisa menyelesaikan permasalahan ini.
"Bagaimana, Pak Neo?" tanyaku kembali.
"Untuk apa kamu butuh uang sebanyak itu?" Kedua matanya masih memicing tajam.
"Saya ada perlu. Dan saya butuh uang itu besok."
"Untuk apa?" Sepertinya dia tidak menyerah.
"Apa bapak perlu tau?"
"Tentu saja. Itu uang saya. Saya perlu tau untuk apa uang saya digunakan."
"Maaf, Pak. Uang yang akan bapak bayarkan itu adalah gaji saya yang dibayar di muka. Jadi uang itu milik saya. Dan hak saya untuk memberitahukan atau tidak untuk apa uang itu digunakan." Sumpah! Sepertinya ini kalimat terpanjang yang aku ucapkan setelah sekian lama. Aku bukan orang yang cerewet. Dan pria di hadapanku ini sepertinya orang yang keras kepala.
"Aku bosnya! Kamu cuma bawahan!" Ia menggebrak meja dengan kesal. Membuatku sedikit merinding. Sepertinya dia orang yang sangat amat teramat mudah sekali tersulut emosi. Sepertinya pintu neraka sedang menganga lebar untukku.
"Apa perlu saya ingatkan kalo saat ini Anda masih bukan siapa-siapa saya? Kedudukan kita saat ini sama."
"Kamu!!"
"Ya?"
"Berani-beraninya kamu!"
"Karena bapak manusia, saya berani. Kalo bapak setan, baru saya takut." Sumpah, aku keceplosan! Bisa-bisanya mulut ini meloloskan kata-kata di hati.
Lagi-lagi, napasnya menderu cepat. Emosinya tambah parah. Tapi aku bisa melihat ia sedang berusaha menahan diri agar tak terbujuk bisikan setan.
"Oke! Kamu mulai bekerja besok jam tujuh pagi! Ke apartemen saya."
"Apa?" Apartemen?? Aku tak salah dengar?
"Kenapa?"
"Tempat kerja saya di kantor, bukan apartemen," kataku berusaha mengingatkan. Barangkali dia beneran kena amnesia setelah dilanda emosi.
"Kamu asisten pribadi saya."
Aku terdiam sejenak saat ia bangkit lalu kembali mondar-mandir. Kakinya kurang kerjaan.
"Benar, saya melamar menjadi asisten pribadi. Bukan asisten rumah tangga."
Mondar-mandirnya terhenti sejenak. "Dan pekerjaan kamu dimulai dari mendampingi saya saat saya melangkah keluar apartemen." Kakinya kembali kurang kerjaan.
"Pak, maaf saya belum bisa mulai kerja," lontarku setelah berpikir.
Ia pun langsung menatap dengan wajah setengah emosi ... lagi. "Kenapa?"
"Belum ada kontrak apapun yang saya tanda-tangani."
"Besok. Sekalian di apartemen."
"Tidak bisa."
"Tidak bisa? Apa lagi sekarang?" Emosinya kembali naik.
"Tanda tangan harus di kantor dengan saksi."
Dengan cepat ia kembali berjalan ke arahku. Kali ini mencondongkan badan sehingga wajahnya berjarak dekat dengan wajahku yang kaku. Membuatku spontan memundurkan kepala.
"Kenapa? Kamu takut saya perkosa di apartemen? Kamu pikir saya nafsu sama kamu?"
Dengan sedikit takut aku mendorong dahinya menjauh dengan satu telunjuk. Dia pun melotot. Ya Tuhan, ini pertama kalinya aku menyentuh dahi seorang pria semenjak akil baligh.
"Ngomongnya nggak perlu deket-deket, Pak."
Senyum sinis terbit di wajahnya. "Kenapa? Kamu takut naksir sama saya?" Ya Tuhan, ini cowok pede-nya sampai langit. Nggak takut jatuh apa?
"Maaf, Bapak bukan tipe saya." Dan seketika itu pun pede-nya jatuh. Gubrak! Eh salah, ternyata dia yang jatuh karena kakinya menyenggol kaki kursi. Ini beneran, lho!
"Pak?" panggilku saat melongok ke arahnya yang terkapar di bawah lantai. Terlihat wajahnya meringis kesakitan sembari mengelus ... ehm, maaf ... bokongnya.
"Anda tak apa-apa?" tanyaku saat sudah berdiri di sampingnya.
"Nanya doang? Nggak mau bantu saya berdiri?" tanyanya sinis.
Mau mengulurkan tangan tapi aku ragu-ragu. Siapa tahu dia cuma modus? Biasanya yang namanya 'babang-tamvan' itu sebelas dua belas sama buaya darat.
"Bantuin, dong!" sentaknya seketika. Aku yang tadi akan mengulurkan tangan akhirnya kembali menarik diri.
"Pegangan sama kursi juga bisa, Pak. Nggak perlu tangan saya." Aku kembali berjalan memutar menuju tempat duduk.
Sambil menggumam penuh serapahan yang aku yakin ditujukan padaku, akhirnya ia berdiri juga dengan berpegangan pada kursi. Anak pintar!
"Bisa darah tinggi saya punya karyawan kayak kamu." Sambil mengeluh, ia menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor.
"Nanti saya sediakan obat penurun tensi," jawabku sekenanya.
Dan ia pun kembali menggumam tidak jelas. Sorot matanya yang dipenuhi emosi terasa menghujamku.
"Besok saya ke kantor Bapak. Tolong disiapkan surat kontraknya."
Ia mengacak-acak rambutnya gusar. "Ini gila! Benar-benar gila!"
"Siapa yang gila, Pak?" Bapak?
Ia kembali mengacak-acak rambutnya seperti orang frustasi dengan satu tangan lagi berkacak pinggang. Mungkin benar dia yang tidak waras. Kata 'tidak waras' lebih enak didengar.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah ..." Nih orang kenapa, sih? Makin aneh saja. Masa sekarang dzikir?
Aku diam saja menunggu lantunan dzikirnya selesai. Sampai 33 kali kan? Nggak lama, kok.
"Oke, besok saya tunggu kamu di kantor jam delapan pagi. Nggak boleh telat!"
Aku menggeleng-gelengkan kepala heran. Masa mau ngomong begitu saja harus pakai dzikir dulu.
"Kenapa? Nggak mau juga?"
Aku berhenti menggeleng, lalu ganti mengangguk. Sepertinya ia salah paham. "Mau, Pak."
Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Dompet?
"Ini buat ongkos kamu besok. Nanti saya potong dari gaji pertama kamu." Ia meletakkan dua lembar uang kertas nominal seratus ribu.
"Kebanyakan, Pak. Dua puluh ribu saja." Aku mendorong balik dua lembar kertas merah itu.
"Bisa buat ongkos sepuluh hari kalo gitu." Uang itu didorongnya balik ke arahku.
"Kalo untuk lusa saya ada. Besok Mama jualan bakso."
"Ya sudah kamu simpan aja sisanya."
"Jangan, Pak. Saya nggak mau gaji saya berkurang." Aku langsung berdiri untuk menolak tegas.
Lagi-lagi ia menghembus napas kesal. Memangnya aku sebegitu mengesalkannya? Padahal aku hanya berkata jujur.
"Urusan kamu. Bukan urusan saya. Saya pamit." Usai menjawab seperti itu ia langsung melenggang keluar. Lalu samar-samar mendengar ia mengucap salam dengan kesal. Mendo'akan keselamatan untuk orang lain kok pakai kesal. Tampan sih, sayangnya tukang marah.
"Mo ... gimana?" Ternyata ibu berjinjit di belakangku sembari mencuri lirik pada Pak Neo yang sudah menghilang di depan warung.
"Apanya?" tanyaku kaku.
"Ya gimana urusannya sama Mas Neo? Bisa dapet duitnya?" Mama masih saja melongokkan wajah ke arah jalanan, padahal orang yang dicari sudah menghilang entah kemana.
"Insyaa Allah. Berdo'a aja, Ma."
Kini bola mata Mama beralih melebar ke arahku. "Lho, jadi daritadi kalian ngobrol itu ... belum ada hasilnya?"
Aku bangkit dari duduk dengan lemah. "Ma, pokoknya percaya sama Imo, ya."
Aku segera menyusuri anak tangga menuju ke kamar. Meninggalkan Mama yang masih memasang wajah kusut. Dalam hati, permintaan maaf kembali kugaungkan untuk almarhum Papa. Kali ini, lagi-lagi aku harus membawa turut serta masalah ke lantai atas.
========================
Pukul 07.50 pagi aku sudah tiba di depan ruangan si babang-tamvan tapi sangat menyebalkan itu. Bukan hanya ruangannya saja yang masih sepi. Kubikel-kubikel di lantai bawah pun belum berpenghuni. Hanya beberapa office boy dan office girl saja yang terlihat mondar-mandir sambil membawa alat-alat kebersihan. Mungkin para karyawan di sini terbiasa datang telat. Berbeda denganku. Meskipun aku tipe orang yang suka membiarkan waktu berlalu, aku selalu datang tepat waktu ke acara apapun.
Dentingan suara lift terdengar. Pintu itu terbuka, menghadirkan sosok yang sudah aku tunggu-tunggu sejak lima belas menit yang lalu.
"Cepet juga kamu datang." Itu komentar pertamanya setelah matanya menelusuri penampilanku dari atas hingga ujung kaki.
Untuk masalah penampilan, aku apa adanya. Dengan rambut diikat kuda, kemeja lusuh putih gading, celana panjang hitam, dan sepatu pantofel coklat milik Mama. Beginilah tampilanku hari ini.
"Kenapa kamu pakai seragam anak magang?"
"Cuma ini baju yang ada." Aku menjawab jujur.
"Baju yang kamu pakai tempo hari untuk interview?"
Dia sedang membicarakan midi dress burgundy dibalut dengan blazer abu-abu yang aku kenakan saat itu. Baju yang sukses menampilkan lekuk tubuhku sehingga aku mengalami kejadian tidak menyenangkan di dalam bis trans-jakarta.
"Ooh ... itu punya Resta, sahabat saya. Saya pinjam."
"Kamu pinjam baju sahabat untuk wawancara?" tanyanya seakan tidak percaya. Padahal aku sedang benar-benar berkata jujur.
"Ya."
"Jadi kamu nggak punya baju untuk kerja?" tanyanya lagi. Ya Tuhan, pagi-pagi aku sudah diberondong pertanyaan.
"Ada."
"Seperti yang ini?" tunjuknya dengan pandangan merendahkan.
"Ada yang salah?" Aku berusaha memeriksa busanaku sendiri. Mungkin saja ada bagian yang bolong karena digigit tikus-tikus yang suka berseliweran di kamarku.
Ia menepuk dahinya kesal. Kenapa juga dia harus begitu. Memangnya aku bikin kesalahan apa sampai-sampai dia kembali berwajah menyebalkan seperti tadi malam. Untung tampan.
"Dengar ya! Kamu itu asisten pribadi saya. Representasi saya dan perusahaan. Kamu akan ikut kemana pun saya pergi. Kalau penampilanmu seperti ini, bisa rusak image saya dan perusahaan ini."
"Jadi maunya Bapak?" tanyaku dengan dahi berkerut. Ya Tuhan, setelah sekian lama, akhirnya aku bisa mengernyit dahi.
"Maunya saya, kamu berpakaian lebih rapi, lebih bagus, dandan lebih can — pokoknya keliatan berkelas."
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya membalas, "Pak, saya tidak bisa."
Ia memicingkan mata curiga padaku. "Kenapa?"
"Nggak punya modal," jawabku tak acuh.
Lagi-lagi dia memandangku kesal sembari berdecak sebal. Namun urung membalas responku dengan kata-kata. Langsung melangkah untuk masuk ke dalam ruangannya. Aku mengikutinya dari belakang.
"Mau ngapain kamu?" tanyanya saat membalik badan ke arahku sembari menggenggam gagang pintu.
"Mengikuti Bapak."
"Tunggu di luar. Ini belum jam 8," ucapnya ketus. Aku mulai curiga jangan-jangan dia memang penderita darah tinggi.
Aku melirik pada jam dinding di atas pintu ruangannya. Padahal cuma kurang lima menit lagi.
"Baik," jawabku manut.
"Bisa nggak sih kamu kalo ngomong, kalo jawab pake senyum?"
Hmmm, si Bapak ini butuh kaca sepertinya.
"Baik." Aku melebarkan mulut yang kaku.
"Kamu robot apa manusia sih? Bisa senyum yang bener, kan?"
Manusia, Bapak. Tapi kadang bisa jadi robot. Jawabku dalam hati. Cuma dalam hati. Sambil berusaha menambah lebarnya senyum hingga 2 cm.
Bukannya menghargai senyumanku, ia malah memutar bola matanya dengan malas.
"Bisa kena penyakit jantung kronik saya." Usai berucap ketus, ia membanting pintu.
Tanpa sadar, aku menghentak kaki kesal. Itu orang pasti lahirnya dari bibit cabe. Awas saja nanti, benar-benar aku bikin jantungan, baru tahu rasa.
-------------‐‐---------‐‐---------------------------------------------