"Tugas pertama kamu, fotokopi semua dokumen ini. Masing-masing dua." Kedua mata sang babang-tamvan menunjuk ke arah tumpukan map di atas meja.
Padahal baru saja beberapa detik yang lalu aku selesai membubuhkan tanda tangan di kertas perjanjian itu.
"Lalu pastikan meeting saya hari ini dengan Regi. Saya akan makan siang di resto Orchid Leaves. Reservasi tempat di sana."
Tangannya menyorong selembar kertas persegi panjang.
"Kamu cairkan cek ini di bank lantai bawah. Bawa uangnya ke saya sebelum jam sepuluh."
Ketika aku pikir dia sudah selesai bicara, ternyata ...
"Oh ya, satu lagi. Kamu telepon Pak Gafar, tanyakan kapan bisa ketemu buat membahas material."
Matanya kini beralih menatapku. Aku tahu yang sedang dilakukannya saat ini. Mencari tahu apakah ingatanku berfungsi dengan baik untuk menghafal deretan perintah yang baru saja ia lontarkan. Karena memang seharusnya aku segera mencatat rentetan to-do list itu. Tapi selama dia bicara tadi, aku hanya diam saja. Kaku seperti biasa.
"Di mana mesin fotokopi?"
"Siapa Regi dan Pak Gafar?"
"Lokasi Orchid Leaves? Lebih bagus lagi jika Bapak punya nomor telponnya."
"Bagaimana dengan uang yang saya minta?"
Gantian, sekarang giliranku yang merentet pertanyaan.
"Itu semua tugas kamu untuk cari tau. Jika kamu sudah cairkan cek itu, urusanmu dengan duit 72 juta kelar."
"Kenapa saya harus cari tau sendiri kalo Bapak punya semua jawabannya? Saya mau kerja. Bukan ngisi teka-teki silang."
"Dan pekerjaan kamu itu menuruti perintah saya. Kalo saya bilang A, ya kamu kerjain A. Jadi kalo saya bilang cari tau sendiri, ya lakukan!"
Pak Neo terlihat sangat ngotot sekarang. Andai saja pria tampan dan mapan ini bisa lebih santai, tebar senyum, apalagi tebar duit, pasti rejekinya akan lebih banyak lagi. Tapi dia malah tebar aura negatif seperti sekarang. Bentar lagi pasti rejekinya mampet. Ngerjain orang, sih. Harusnya dia ingat, orang yang mempersulit hidup orang lain, hidupnya juga akan dipersulit Tuhan.
"Baik."
Tapi siapalah aku yang cuma remahan bakpia keju. Harus ekstra sabar bin rileks menghadapi atasan limited edition model begini. Jadi, iyakan saja.
Aku segera bangkit lalu meraih lembaran cek untuk aku masukkan ke dalam tas selempang milik Mama yang aku pinjam. Setelah itu mengangkat tumpukan dokumen di meja ke dalam dekapanku.
Mataku menangkap matanya yang memperhatikan tas yang tersampir di bahuku. Aku mulai mengenali jenis tatapannya.
"Itu tas bekasnya siapa kamu pake?"
"Punya Mama saya."
Telingaku dengan jelas mendengar desahan napas kesalnya. Punggungnya disandarkan ke belakang. Lagi-lagi muka menyebalkannya yang ditunjukkan.
"Lagi-lagi kamu pake barang orang lain. Kamu nggak punya tas?"
"Punya."
"Terus kenapa nggak kamu pake?"
Aku menarik napas sebentar sebelum menjawab. Ambil ancang-ancang dulu sebelumnya.
"Saya boleh pake tas keranjang sayur ke kantor?"
Pak Neo mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dengan wajah terpaku. Beberapa detik kemudian, ia menepuk dahi berkali-kali sambil menggeram.
Tuh kan, untung saja tadi aku sudah ambil ancang-ancang. Bersiap diri menerima respon tak terduga darinya.
"Kamu tuh waras nggak sih?! Yang saya maksud itu tas buat ngantor. Bukan tas lainnya. Apalagi tas buat ke pasar."
Dalam hati rasanya ingin menggetok kepala si Bos, tapi takut jadi bawahan durhaka. Lagi-lagi dia menanyakan kewarasanku. Orang jenius juga tahu kalau dia yang salah di sini. Siapa suruh ngasih pertanyaan nggak detail.
"Tadi Bapak nanyanya saya punya tas apa nggak. Bapak nggak ada nyebut tas buat ngantor." Aku ingatkan lagi pertanyaannya tadi. Barangkali dia amnesia.
Pak Neo kembali memukul dahinya bertubi-tubi. Nggak pusing apa mukulin kening sendiri? Kenapa nggak pukul meja saja?
"Dari awal itu saya ngebahas tas buat ngantor, Imogiii." Ia berkata sambil menahan geraman di mulutnya. Gemas sepertinya denganku.
"Lain kali kalo ngomong yang jelas, Pak. Jangan salahkan orang yang nggak ngerti, padahal Bapak yang memang nggak jelas. Itu namanya lempar batu sembunyi tangan."
"Astaghfirullah! Beneran bisa stroke saya kalo berhadapan sama kamu."
"Kalo begitu, sebaiknya Bapak selalu sediakan obat jantung di dekat Bapak. Karena sudah pasti saya akan menghadap Bapak setiap hari." Kalimat ini kuucapkan dengan datar. Tanpa ekspresi.
Padahal dalam hati ingin rasanya mengeluarkan sumpah-serapah untuk Pak bos semena-mena ini.
"Sekarang juga kamu keluar dan mulai bekerja!" perintahnya marah dengan nada tinggi. Telunjuknya diacungkan ke arah pintu ruangan.
"Baik." Tanpa ba-bi-bu aku membalik badan lalu berjalan keluar dari ruangan.
Sepertinya hari pertamaku ini akan berjalan panjang dan menyebalkan.
Tapi aku harus bertahan. Demi uang 72 juta. Demi membantu Mang Kirno. Demi melunasi warisan utang Om Damar. Demi ketenangan hidup Mama.
Aku segera turun menuju satu lantai di bawah lantai ini. Aku memilih menggunakan tangga darurat. Lebih cepat daripada harus menunggu datangnya lift yang masih bergerak entah dari lantai berapa.
Di lantai itu aku celingak-celinguk tidak jelas. Bingung harus bertanya kemana. Tentang mesin fotokopi, tentang Regi, nomor telepon Orchid Leaves dan Pak Gafar.
"Haaai, kamu asisten barunya Pak Neo, ya?" Seorang perempuan menepuk bahuku dari samping dengan wajah riang.
Aku menoleh ke arahnya. Perempuan ini berkacamata, berwajah imut, berkulit putih, dengan tinggi badan lebih rendah dariku.
"Ya."
"Kenalin, aku Melva. Bagian Humas." Ia menyodorkan tangan padaku.
"Imo." Aku menyambut jabatan tangannya.
"Beneran nama kamu Imo?" Ia mencondongkan wajah ke depan. Membuatku memperhatikan bola matanya yang jernih berhias bulu mata nan lentik di balik kacamata tebalnya.
"Iya."
Ia kembali memundurkan wajahnya. "Nama yang unik."
"Ya." Mataku masih memperhatikan wajahnya.
"Ada perlu apa kesini? Ada yang bisa aku bantu?"
"Aku nyari mesin fotokopi. Terus ... kamu tau siapa itu Regi?"
Aku berusaha mengulik ingatanku. "Oh ya, Mbak Melva punya nomor telepon Orchid Leaves dan Pak Gafar?"
Melva langsung tertawa geli setelah mendengar jawabanku.
"Hihihi ... panggil aku Melva aja. Kayaknya kita seumuran."
Aku tersenyum singkat padanya.
"Kamu baru aja disuruh-suruh Pak Neo ya?"
Kepalaku mengangguk mengiyakan.
"Hmmm ... kayaknya ... kamu lagi dikerjain Pak Neo, deh."
Dahiku berkerut mendengarnya. Dikerjai?
"Mesin fotokopi itu, ada di dekat meja kamu di atas. Kalo Pak Regi, dia itu temannya Pak Neo. Pemilik perkebunan nanas di Subang." Tangannya menarik tanganku untuk ikut berjalan di sampingnya.
"Orchid Leaves ada di gedung seberang kantor. Kamu tinggal nyebrang jembatan aja kok. Tapi perasaan Pak Neo jarang banget makan di situ kalo nggak sama klien penting. Dan Pak Gafar, dia kepala riset. Orangnya selalu sibuk. Susah ditemui. Tapi aku punya nomor teleponnya."
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Berusaha mencerna informasi yang disampaikan oleh Melva. Sementara ia sendiri sedang sibuk mencari daftar kontak di ponselnya sambil berjalan menuju sebuah ruangan. Tentu saja aku mengikutinya.
"Jadi, gimana caranya aku bisa menghubungi Pak Regi?"
"Pak Regi nggak punya HP. Kalo mau telpon dia harus ke nomor istrinya. Istrinya itu sahabatnya Pak Neo sejak kecil. Namanya Bu Tari. Tapi aku nggak punya nomornya juga. Kalo ini nomornya Pak Gafar." Ia menunjukkan layar ponselnya padaku.
Aku segera meraih ponselku di kantong kemeja untuk mencatat nomor Pak Gafar yang tertera di layar.
"Jadi, siapa yang punya nomornya Bu Tari?" tanyaku sembari bergantian memandang layar ponsel Melva lalu layar ponselku.
"Hehehe ... yuk, aku kenalin sama orangnya." Melva lanjut berjalan seraya tertawa kecil. Sementara aku baru saja selesai menyimpan nomor Pak Gafar di daftar kontak.
"Sini, Mo." Melva menarik pergelangan tanganku untuk mempercepat langkah menuju sebuah ruangan yang diatas pintunya yang terbuka, tertulis Manajer Keuangan. Ruangan itu dihuni oleh seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Pak Neo. Mata sipitnya serius sekali menatap layar komputer.
"Mbak Naruuu, ada orang baru nih." Melva tiba-tiba mendorongku untuk berdiri di sebelah meja wanita sipit itu. Mata sipitnya beralih menatapku.
"Hm? Siapa, Mel?" Mbak Naru bertanya sembari membenahi posisi kacamatanya.
"Ini Imo, anak baru." Melva menjelaskan sambil terkekeh kecil.
"Ahhh ... kamu PA-nya Neo yang baru, ya?" Mata kaget Mbak Naru menelusuri wajahku.
"Iya."
"Hmmm ... pantes. Aku Naru, tapi bukan Naruto lho. Naru dari Hanaru." Mbak Naru menyodorkan tangan kanannya padaku.
"Imo."
"Nama panjang kamu?" Ia memandangku penasaran.
"Imogi Astari."
"Hm ... lucu juga." Kedua alis Mbak Naru terangkat.
"Mbak Naru, kayaknya Imo lagi dikerjain sama Pak Neo, deh." Melva masih terkikik pelan.
Kentara sekali Melva sedang berusaha menahan tawanya agar tidak mengganggu karyawan lain di luar ruangan yang sudah menatapnya sebal dari semenjak kami melewati kubikel mereka.
"Emang Neo nyuruh apa ke kamu?"
"Fotokopi, reservasi makan di OL, hubungi Pak Regi sama Pak Gafar. Begitu kan, Mo?" Melva menjelaskan lalu menatapku.
Aku mengangguk sekali dengan mantap. Mbak Naru malah menggeleng-geleng kepala sembari melepas kacamatanya.
"Yaelaaah! Banyak lagak tuh bocah. Biasa juga makan warteg pinggir jalan. Trus, ngapain juga hubungin Regi? Tuh orang juga nanti nongol sendiri." Mbak Naru berdiri, lalu duduk di tepi meja.
"Tau nggak Regi kalo kesini ngapain?" Ini serius Mbak Naru nanya aku? Ya mana aku tahu jawabannya. Jadi aku menggeleng saja.
Mbak Naru mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu berbisik. "Nyuruh Neo jadi babysitter anak-anaknya."
Tawa Melva dan Mbak Naru pecah bersamaan. Aku diam saja memperhatikan mereka. Apanya yang lucu?
Beberapa detik kemudian aku baru mengerti apa yang sedang mereka berdua tertawakan. Tapi aku, cukup tertawa dalam hati saja.
"Ya ampuuun, kamu kok datar banget sih mukanya?" tanya Mbak Naru padaku sambil masih tertawa.
"Maaf, muka saya memang seperti ini."
Keduanya langsung berhenti tertawa. Sudut-sudut bibir yang ditarik, kembali ke tempatnya. Gantian, mereka yang menatapku datar. Mbak Melva memajukan wajahnya untuk menatapku lebih dekat lewat kacamata tebalnya.
"Kamu kok ... kaku banget sih?"
"Memangnya saya harus gimana?" tanyaku balik.
"Ah, nggak asik banget sih kamu, Mo." Melva mencebik.
"Tapi aku jadi kepikiran nih. Kenapa juga dia ngerjain kamu. Nggak biasa-biasanya dia begitu ke karyawan baru." Tangan kanan Mbak Naru yang sedang berpangku di tangan kiri, mengetuk-ngetuk dagunya.
"Mungkin mau uji mentalnya Imo, Mbak." Melva yang menjawab.
Mbak Naru mencebik. "Halaaah! Mentalnya dia aja kayak bocah. Sok-sok nguji mental karyawan."
Lalu seperti baru mendapatkan ide, tatapan licik Mbak Naru beralih padaku.
"Mo, mau ngerjain tuh bocah balik nggak?"
————————
"Ini uang dari cek." Aku meletakkan kresek hitam berisi gepokan uang di atas meja.
"Hm." Pak Neo yang sedang sibuk mengetik hanya bergumam singkat.
"Pak Regi nanti sore kesini nitip anaknya," lanjutku.
"Hm."
"Orchid Leaves penuh siang ini."
"Hm."
Mendengar responnya yang cuma ham-hem-ham-hem begitu, aku urung melanjutkan laporan. Bagaimana ceritanya mau mengerjai balik kalau begini?
Setelah lima menit aku berdiri dalam diam di hadapannya, baru matanya memberi perhatian padaku.
"Ngapain kamu berdiri di situ terus?"
"Sedang nunggu Bapak."
"Nunggu apa?" tanyanya malas seakan tak peduli.
"Nunggu Bapak bisa saya ajak bicara."
Kini perhatiannya sepenuhnya tercurah untukku.
"Kalo mau bicara, ya bicara aja. Saya juga masih bisa dengar kamu sambil ngetik."
"Jadi Bapak dengar semua laporan saya tadi?"
Muka sebalnya kembali berpaling pada layar laptop di atas meja. Jari-jemarinya kembali sibuk menekan keyboard.
"Saya nyahut kan?" balasnya cuek.
"Hm."
"Laporan kamu cuma itu aja?"
"Hm."
"Nggak ada lagi?"
"Hm."
Wajahnya kembali menoleh padaku. Kali ini disertai tatapan ganas.
"Ham-hem-ham-hem! Kalo jawab yang jelas, dong!" Nadanya setengah membentak.
"Saya nyahut kan, Pak."
Laptopnya ditutup dengan gerakan cepat. Membuatku sedikit tersentak hingga mengedipkan mata. Jelas kalau kali ini dia marah.
"Kamu mau balas saya?"
Aku menatapnya kaku.
"Berani ya kamu sama atasan."
"Bapak juga berani sama bawahan." Aku membalas sekenanya.
"Lho, aku bos kamu! Ya jelas aku berani sama bawahan."
"Tapi kalo sama Tuhan berani nggak, Pak?" balasku berani.
"Kok bawa-bawa Tuhan?" tanyanya ketus nggak terima.
Aku menghela napas lelah. Keluar juga ini ceramah ala Mamah Dedeh.
"Karena semua yang kita lakukan selalu diawasi Tuhan, Pak. Jadi, kalo Bapak semena-mena sama bawahan, inget Pak. Ada yang lebih berkuasa dari Bapak. Bapak mau kena azab karena ngerjain bawahan? Nggak mau kan, Pak? Kayak di sinetron-sinetron itu. Tiba-tiba kulitnya kurapan semua. Lidahnya melet-melet keluar. Nggak bisa masuk. Ujung-ujungnya jenazahnya ditolak bumi. Serem kan, Pak."
Ceramah Mamah Dedeh berhasil masuk ke telinganya. Buktinya, mukanya bergidik ngeri. Tapi cuma sebentar saja efeknya. Sekarang, muka galaknya kembali lagi.
"Kamu kebanyakan nonton sinetron. Makanya tuh otak nggak berkembang, kecil terus."
Yasssalaaam! Otakku dibilang kecil. Masih lebih kecil otak kambing kali. Aku mendengkus kesal. Tapi aku kembali ingat pesan Mbak Naru tadi.
"Mama saya yang doyan sinetron, Pak. Saya cuma temen nobar-nya. Jadi maksud Bapak otak Mama saya kecil? Nggak berkembang? Gitu?"
Sontak ia kaku. Aku bisa melihat pergerakan jakunnya yang sedang berusaha menelan ludah bulat-bulat.
"Bukan begitu," jelasnya lirih dengan wajah kalang kabut.
"Ehm, terus ... tadi kamu mau laporan apalagi?" tanyanya bernada angkuh. Terlihat sekali sedang berusaha menutupi rasa tak enak hatinya.
Tanpa sadar, aku tersenyum miring melihat sikapnya.
"Uhuk! Tumben senyum." Ia menyindirku.
Aku kembali menarik sudut bibir.
"Pak Gafar bilang seminggu ini sibuk. Karena sedang studi perencanaan botol kemasan caramel tea. Katanya Bapak saja yang ke pabrik langsung."
Pak Neo manggut-manggut. Terlihat puas dengan jawabanku. Laptopnya kembali dibuka. Matanya kembali menatap layar.
"Ya sudah." Tangannya mengusirku untuk keluar.
Tapi tentu saja aku belum mau keluar. Kewajibanku kepadanya sudah selesai. Tapi tidak kewajibannya kepadaku. Giliranku untuk menagih.
"Bapak nggak lupa, kan?" tanyaku sembari memiringkan kepala untuk menatap wajahnya yang tertutup layar laptop.
"Hm?" gumamnya tak acuh. Tak tertarik dengan pertanyaanku.
"Soal uang 72 juta yang saya minta sebelum siang ini."
Pandangannya beralih padaku sesaat, lalu ia mendesah lelah. Tangannya meraih kresek besar yang sudah kuletakkan di atas meja sejak tadi.
"Kenapa pake kresek? Emangnya kamu habis dari warung? Bawa duit sebanyak ini harusnya pake tas."
Lagi-lagi dia protes. Padahal dia tahu sendiri sebesar apa tas selempangku. Mana muat diisi uang sebanyak harga DP rumah setengah mewah.
"Bapak liat sendiri kan tas saya segede apa? Buat masukin apel fuji aja nggak muat. Apalagi masukin gepokan duit," jawabku sebal.
Lagi-lagi Pak Neo menepuk-nepuk dahinya. Bikin aku geram melihat sikapnya itu.
"Astaghfirullah, Imooo!"
"Apa lagi, Pak?"
"Kamu harusnya bisa mikir. Kamu bisa baca di ceknya kan ditulis mau ambil berapa. Harusnya sebelum itu kamu udah siap-siap bawa tempat buat uangnya."
"Saya belum pernah narik duit di bank. Biasanya narik di ATM. Cuma lima puluh ribu. Tadi juga diajarin satpamnya dulu."
"Terus? Saya harus maklum gitu? Karena kamu belum pengalaman?"
Cukup! Kesalku makin tebal. Sabarku makin tipis.
"Pak!" Kedua tanganku berkacak di pinggang.
"Kenapa harus dimasalahin lagi sih? Toh duitnya udah ada di depan muka Bapak. Aman. Selamat. Sentosa. Ngapain sih Bapak masih ribut?"
Bodo amat kalau lagakku sudah seperti preman pasar sekarang. Dia duluan yang mulai.
Dia berdiri. Dengan wajah garangnya. "Kamu yang cari ribut!"
Tentu saja aku tidak terima. "Bapak yang ribut kok nuduh saya?"
"Kalo kamu nggak bawa-bawa kresek, nggak akan jadi masalah."
"Mending kresek, daripada karung goni."
"Ngapain juga pake karung goni?"
"Ya karena Bapak nggak suka kresek."
"Kenapa kamu nggak pake tas ransel? Atau koper kek sekalian."
"Karena saya nggak punya."
"Beli dong!"
"Saya nggak punya uang."
"Makanya jangan jadi orang miskin. Jadi ngga—"
Plaaak!
Seketika dadaku sesak. Telapak tanganku berdenyut-denyut. Napasku terengah-engah usai melayangkan tamparan ke pipinya.
"Anda keterlaluan!" Sebutir air mata lolos dari sudut mataku tanpa bisa ditahan.
Mulutku menahan geraman amarah. Ingin rasanya sekali lagi melampiaskan emosi ini.
Baru saja beberapa menit yang lalu ia berhasil membuatku tersenyum. Sekarang, airmataku yang dibuat keluar olehnya. Sakit rasanya mendengar kata itu.
Miskin.
Aku tahu keluargaku miskin. Tapi aku tidak pernah bisa menerima orang lain menyebut kami begitu. Karena kata itu sudah menjadi trauma di kepalaku. Gara-gara 'miskin', papa meninggal.
"Kamu berani nampar saya?!" Setelah beberapa detik menyentuh pipinya yang memerah, ia membentak.
Aku enggan membalas amarahnya. Selalu teringat dengan pesan papa; api + api = kebakaran.
Jadi lebih baik menghindari kebakaran. Karena api yang ini sulit dipadamkan. Aku membalik badan lalu melangkah pergi.
"Imo! Sini, kamu! Saya belum selesai!"
Teriakannya yang menggelegar di penjuru ruangan, berusaha untuk aku abaikan.
"Imo!"
Aku terus melangkah menuju pintu.
Sesampainya di depan pintu, aku membalik badan menghadapnya. Waktunya mengeluarkan kata-kata sakti.
"Saya memang miskin. Tapi saya masih punya harta yang paling mahal di dunia. Harga diri. Dan Bapak, sudah menginjaknya."
Braaak!
Imo is out! Wassalam, Pak Neo!