"Iya." Qu Tan'er menggigit bibirnya lalu berusaha untuk tersenyum. Sialan, kalau mau bicara ya langsung bicara saja. Kenapa pakai pegang sana sini dulu?, pikirnya. Kalaupun Mo Liancheng mau berakting, setidaknya dia harus memberinya waktu untuk mempersiapkan diri dulu.
"Apa kamu mau aku temani pulang ke kamar?" tanya Mo Liancheng sambil menatap Qu Tan'er dengan penuh cinta. Jemarinya yang lentik menyapu bibir merah gadis itu, seakan-akan masih teringat ciuman tadi.
"Tidak perlu." jawab Qu Tan'er yang menghindari sentuhan Mo Liancheng.
"Sungguh? Kamu tidak lelah?" Mo Liancheng mengangkat alisnya, lalu menatap tajam Qu Tan'er. Tatapannya itu seperti sedang mengancam. Qu Tan'er merasa bergidik, tiba-tiba dia merasa angin dingin berhembus dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Dia tak berani menolak dan dengan lirih berkata, "Baiklah kalau begitu, Tan'er berterima kasih atas perhatian Pangeran."