Jake mendekat, langkah kakinya terdengar berat di atas lantai kayu yang berderak termakan usia. Jake menatap lekat Florence. Wanita itu semakin menggigil, ketakutan memagutnya erat.
Jake menyentuh bibir bawah Florence memakai ibu jari lalu menyapunya perlahan. Tubuh Florence semakin gemetar. Gemeretak giginya terdengar jelas. Florence seperti baru saja disiram seember air es. Sekujur tubuhnya dingin dan membeku. Selesai menyapu bibir Florence, Jake menyentuh dagunya lalu mengusapnya perlahan.
"Ada bekas darah di bibir dan dagumu. Bersihkan dirimu dan istirahat. Ini bukan akhir dari semuanya. Bahkan semua ini baru dimulai." Jake menusukkan pandangannya yang tajam ke dalam bola mata Florence. Mereka terdiam beberapa detik. Terpaku di keheningan yang mencekam.
Jake membalikkan tubuh, melangkah dan menjauhi Florence. Ketika menyentuh gagang pintu, ia menolehkan seraya berkata, "Bersihkan dirimu, Florence. Aku akan memberimu pakaian bersih."
Florence masih terdiam dan tak bergerak dari posisi sebelumnya. Ia meringkuk di sudut ruangan di atas ranjang kayu. Jake menatapnya beberapa saat lalu menutup daun pintu.
Florence melemaskan tubuhnya yang semula membeku. Ia berusaha menjinakkan rasa takut yang mengisi setiap tetesan darah di tubuhnya. Wanita itu menangkupkan dua telapak tangan ke wajah, lalu menangis keras. Dia mengasihani dirinya sendiri. Ia memikirkan ribuan kali, kesalahan apa yang telah ia perbuat? Karma apa yang ia petik hingga dirinya harus berada di posisi ini.
Jutaan kali pula Florence sadari, jika ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia mengabdikan hidupnya untuk menolong orang lain. Menolong bayi dan anak-anak yang tidak bisa menjelaskan rasa sakit yang dideritanya.
Florence semakin menangis pilu. Ia tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Jika reinkarnasi benar ada, apa kesalahannya di kehidupan yang sebelumnya. Ia kehilangan arah, tak tahu mana yang harus dipercayai. Jiwanya tertekan di garis terbawah.
Wanita itu tidak tahu waktu, karena tidak ada jam di ruangannya. Ia hanya bisa mengira waktu dari matahari yang menanjak atau menurun. Detik demi detik yang ia lalui terasa sangat berat. Ketakutan selalu mengisi relung hatinya. Kecemasan acap kali menyergap perasaannya, sementara kegelisahan telah bercampur di setiap hela udara di dalam paru-parunya. Mereka memberi makan dan minum. Sesekali mereka datang melihatnya dan menyapukan pandangan menjijikkan ke seluruh tubuhnya.
Florence berdiri lalu berteriak nyaring. Ia menendang kasur lalu membanting kursi dan meja. Ia menjerit histeris tanpa henti. Florence mengeluarkan segala emosi yang mencekik di dalam dirinya. Kemurkaannya meledak. Seketika ruangan itu seperti baru saja terkena gempa berkekuatan tinggi. Kaki meja menghadap ke atas, teronggok di depan pintu. Kursi di atas ranjang dan Kasur berada di lantai.
Decit daun pintu menghentikan cacian Florence yang membabi buta. Jake terkejut melihat apa yang dilakukan Florence. Sontak saja wajahnya memerah karena amarah yang menguasainya. Ia harus mendorong daun pintu lebih kuat demi menyingkirkan meja yang menghalanginya.
Jake masuk dengan langkah kaki yang besar dan cepat. Ia menarik lengan Florence, membuat wanita itu meringis kesakitan, karena dirinya hampir kehabisan kesabaran.
"Apa yang kau lakukan?!" Jake berteriak nyaring.