"Kau yakin bisa sendiri? Aku antar pulang saja bagaimana?"
Sakura melepaskan pegangan tangannya dari Hinata. Memaksakan dirinya untuk berdiri sendiri tanpa oleng agar tidak membuat Hinata semakin cemas.
Sakura juga tidak tahu kenapa sakit yang menyerangnya tiba-tiba datang pada waktu yang tidak tepat.
Apa mungkin ini karena dirinya tadi tidak sempat untuk sarapan dan berakhir dengan maag-nya yang kambuh?
"Tidak apa. Aku bisa. Aku akan membasuh wajah agar terlihat sedikit segar." Sakura menghela napas berat, "Lagian Ino sedang emosi. Dan tidak menutup kemungkinan kalau Ino juga begitu sedih. Aku tidak mau meninggalkannya di saat seperti itu."
Hinata membuang napas panjang, "Ya sudah. Aku akan menunggumu di meja dapur."
Hinata menunjuk ke belakang dengan dagunya dan di angguki oleh Sakura.
Saat ini, mereka sedang berada di toilet dekat dapur. Hinata mengantar Sakura saat gadis itu berkata jika kepalanya sakit juga perutnya terasa tidak enak dan ingin muntah. Dan dengan senang hati Hinata mengantarnya.
Hinata mengangguk sopan begitu ia berpapasan dengan salah satu pelayan rumah Ino yang sedang membawa nampan berisi berbagai macam cemilan dan satu teko es sirup. Sepertinya, para lelaki mulai mengacau lagi di rumah Ino. Dan siapa lagi jika bukan permintaan kekasihnya, Naruto.
Hinata berjalan ke arah lemari kecil di mana terdapat gelas kaca yang tertata rapi. Benda dengan model unik yang terkesan mahal hanya untuk sebuah gelas. Dan Hinata tidak ambil pusing. Dia bisa membeli berapapun yang dia mau.
Wanita dengan potongan rambut bob itu mengambil jus jeruk kemasan dari dalam lemari pendingin yang besarnya hampir sama seperti mobil keluarga Yamanaka.
Dan Hinata juga memiliki kulkas model seperti ini namun dengan merek yang berbeda. Bola matanya menelusuri setiap rak dan laci kulkas. Siapa tahu ada makanan yang ingin dia makan. Dan di sana hanya ada beberapa jenis minuman bersoda dan minuman kemasan besar. Berbagai macam buah, sayur dan ikan di rak tertentu. Semua di tata dengan rapi dan teratur di setiap sekatnya.
Hinata mendengus menyeringai saat melihat beberapa kaleng minuman beralkohol dengan kadar lima puluh persen yang berada di rak paling bawah. Mungkin jika di hitung ada sekitar empat puluh kaleng. Atau lebih.
Sepertinya kebiasaan Ino dan Rin tidak pernah berubah.
Atensi Hinata tertuju pada satu kotak jus kemasan besar yang bergambar jeruk. Dia mengambilnya dan menuangkan cairan berwarna kuning oranye ke dalam gelasnya setelah mengembalikan jus itu ke dalam kulkas lagi. Dan berinisiatif untuk duduk di kursi meja makan dapur sambil menenggak minumannya.
Ino berkata jika anggap saja rumahnya seperti rumah mereka sendiri. Dan sebagai salah satu sahabat Ino yang gemar makan, Hinata selalu dengan senang hati menghabiskan cemilan yang wanita itu punya di rumahnya.
Sakura dan Tenten yang lebih suka membaca buku di perpustakaan milik keluarga Yamanaka. Walaupun tidak setiap saat dua perempuan itu datang ke perpustakaan. Sedangkan Naruto, Neji juga Sai lebih suka bermain game di ruang tengah. Merepotkan pelayan rumah Ino dengan segala permintaan mereka. Walau sang pelayan hanya membalas dengan senyum ramah.
Sepertinya pelayan disini telah kebal dengan sifat para sahabat majikannya. Atau mungkin karena dedikasi dan loyalitas sebagai seorang pelayan dari keluarga terpandang. Membuat mereka harus selalu patuh akan permintaan sang majikan. Jika mereka masih sayang akan gaji yang diberikan oleh kepala keluarga Yamanaka.
"Dimana Sakura?"
Hinata hampir saja mengumpat karena tersedak saking terkejutnya mendengar suara rendah dari arah belakangnya.
Dia menoleh dan melihat Sasuke tengah menatap sekeliling entah mencari siapa. Tapi, saat Hinata mendengar nama yang keluar dari bibir lelaki itu membuktikan jika yang dicari Sasuke adalah sahabatnya, matanya memicing tajam.
"Oh, kau." Hinata mengusap sudut bibirnya yang terdapat bekas jus yang dia minum, "Ada apa mencari Sakura?"
"Sakura sakit apa?"
Hinata mendengus saat tidak mendapat respon dari Sasuke. Justru lelaki itu bertanya balik. Membuatnya semakin malas.
"Kepalanya sakit. Perutnya juga. Sakura bilang dia mual dan ingin muntah. Jadi aku mengantarnya kesini." Hinata membalas dengan acuh.
Sasuke merespon hanya dengan dengusan rendah. Dia menatap Hinata yang sedang memasang wajah datar ke arahnya. Membuat dia menaikkan alisnya.
Seakan tahu maksud raut wajah Sasuke, Hinata mendengus dan sedikit menyipitkan matanya. "Jangan dekati sahabatku."
Sasuke mencuramkan sebelah alisnya. Menatap Hinata dengan seringai meremehkan. "Dari dulu. Kau suka sekali menggangguku, Hyuga."
Hinata meremas telapak tangannya yang ada di atas meja. Matanya menatap awas saat Sasuke berjalan mendekat dengan langkah yang begitu pelan namun mampu membuat Hinata menahan napas.
Sasuke berhenti di depan Hinata yang terduduk kaku. Hingga Hinata bisa mencium aroma parfum Sasuke yang begitu maskulin. Membuatnya mual.
Lelaki jangkung itu menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga Hinata. Berbisik dengan suara rendah namun sarat akan tekanan, "Sekali lagi. Sekali lagi, jika kau menjauhkan Sakura dariku,"
Hinata menarik napas dalam saat Sasuke menjeda kalimatnya. Detik berikutnya, giginya bergemelatuk mendengar untaian kata yang diucapkan lelaki itu dengan kekehan kecil.
"Kau akan lihat bagaimana bergairahnya aku saat menyetubuhi Sakura di depan matamu."
Hinata mendorong tubuh Sasuke dan berdiri. Memberikan tamparan keras sampai tangannya terasa kebas. Wajahnya benar-benar memerah karena amarah dan dia tidak dapat menahan emosinya lagi sejak dia tahu lelaki itu kembali di kehidupannya.
Di kehidupan Sakura.
Sasuke mengusap pipinya dan mendengus saat melihat bercak darah di telapak tangannya. Dan dia yakin jika itu dari sudut bibirnya yang terasa perih karena sobek.
Dan hal yang membuat Sasuke tersenyum lebar adalah dimana dia melihat Sakura yang tengah menatap mereka dengan ekspresi terkejut.
"Hinata."
Sakura keluar dengan wajah setengah basah. Sepertinya gadis itu telah mencuci muka seperti yang dia katakan. Sakura berjalan dengan sedikit tertatih dan sedikit meremas bagian perutnya yang masih nyeri.
Sasuke yang melihatnya segera bergegas membantu Sakura. Memegang sebelah tangannya dengan hati-hati. Dan Sakura sebisa mungkin mencoba agar tangannya tidak gemetar karena grogi.
Sakura sedikit mengintip wajah Sasuke dari sela poninya yang dibelah dua. Dan seketika wajahnya pun memerah. Malu, melihat tatapan mata Sasuke yang begitu meneduhkan.
"Sakura, kau sudah tidak apa-apa?" Hinata menarik pelan tubuh Sakura dari pelukan Sasuke. Mencoba menjauhkan jarak dua sejoli itu.
Sakura mengangguk menatap Hinata yang sedang memasang raut wajah khawatir. "Kenapa kau menampar Sasuke?" Ia melirik lelaki di sampingnya, "Aku melihatnya. Ada apa?"
Hinata berdeham mencoba menutupi raut wajahnya yang gugup, "Tidak."
Sasuke menyela, "Tidak apa. Aku melakukan kesalahan dan membuatnya emosi, jadi dia menamparku. Tapi aku tidak apa-apa."
"Kau yakin?" Sakura melirik pada sudut bibir Sasuke yang terdapat bekas darah, "Kau berdarah, Sas."
Bola mata Sasuke melebar, mematung, mendengar nama kecilnya yang gadis itu ucapkan dengan suara lembut dan penuh kasih, dimatanya. Walau kenyataan berbanding terbalik, tapi dia suka. Dia bahagia. Setelah beberapa tahun Sasuke begitu merindukan namanya diucapkan oleh gadisnya. Dan dia baru mendengarnya sekarang.
"Sasuke?"
Sasuke mengerjab. Merasakan tangannya gemetar. Ingin sekali dia menarik dan memeluk gadisnya lagi seperti dulu. Seperti saat-saat mereka berdua bersama.
"Hei!" Suara Hinata terdengar begitu kasar, "Kau tuli, ya? Diajak bicara malah diam."
Tatapan Sasuke mengarah pada Hinata. Namun gadis itu hanya menatapnya datar.
Sasuke melirik Sakura dan tersenyum masam, "Tidak pa-pa, ini hanya goresan kecil. Besok juga sembuh."
Apa? Goresan kecil?
Sakura menggeleng samar. "Kau yakin?"
Sasuke masih mempertahankan senyumnya. Menatap Sakura yang tumbuh semakin cantik dan sempurna di matanya. Dan dia juga yakin di mata seluruh dunia. Gadis lugu dan polos ini berubah menjadi gadis dengan sejuta pesona yang memikat siapapun. Termasuk dirinya. Dan akan selamanya seperti itu.
Dari dulu. Hingga detik ini.
Sasuke mengangguk singkat, "Aku hanya ingin melihat keadaanmu saja."
Sakura menaikan sebelah alisnya. Menatap Hinata yang mengendikkan bahu acuh saat melihat Sasuke. Lalu membuang muka dengan mata malas.
Sasuke membungkuk sekilas, "Kalau begitu aku ke depan dulu."
Lelaki itu berbalik, namun baru beberapa detik langkahnya tertahan. Menoleh ke arah Sakura yang masih menatapnya, "Pulang nanti, aku antar ya."
Belum sempat Sakura menjawab, lelaki itu sudah lebih dulu meninggalkan mereka. Meninggalkannya dengan perasaan bingung.
"Sakura."
Sakura menoleh melihat raut wajah Hinata yang terlihat tengah memikirkan sesuatu. "Iya, Hinata?"
"Kau, jangan berdekatan dengan lelaki itu." Sakura membungkam mulutnya saat Hinata kembali bersuara, "Tolong. Jangan bertanya."
Hinata menghela napas berat, berbicara tanpa menoleh kearah Sakura yang tengah menatap wajahnya. "Ini demi kebaikanmu, Saki."
Sakura mengulum bibirnya. Dan menghela napas panjang melihat wajah serius Hinata sebelum melangkahkan kakinya saat Hinata memapahnya berjalan lebih dulu.
Sakura tidak tahu apa maksud dari ucapan Hinata. Kenapa perempuan itu melarangnya untuk bergaul dengan Sasuke? Apa salahnya? Dan tidak biasanya Hinata bersikap seperti ini walau ia didekati oleh para lelaki manapun. Terkecuali Sasuke.
Hinata seakan memendam sesuatu yang membuat Sakura semakin penasaran.
Namun begitu ia mendengar nada suara Hinata yang begitu serius dan tak terbantahkan, membuat Sakura tidak akan bertanya dulu.
"Iya." Dan akhirnya, Sakura mengangguk patuh.
Sakura telah menganggap Hinata seperti kakak kandungnya sendiri. Sejak saat dimana dia dan ibunya terjebak di sebuah rumah sakit entah karena apa, dan tidak mampu membayar biayanya. Membuat Tuhan mempertemukan dia dan ibunya dengan keluarga Hinata.
Dan dengan ringan tangannya, Hinata dan Neji, membayar semua biaya rumah sakit tanpa imbalan apapun darinya.
Walaupun dia dan Hinata tidak saling mengenal, tapi perempuan itu datang bagai malaikat penolongnya.
Dan sampai saat ini. Sakura masih lupa kenapa dia dan ibunya bisa masuk di rumah sakit. Juga bantuan Hinata yang seperti direncanakan. Tetapi, Sakura selalu mengenyahkan hal itu.
"Aku menyayangimu, Saki. Percayalah padaku. Percayalah bahwa aku tidak ingin kau sampai tersakiti lagi."
Mereka telah sampai di ruang tengah. Sakura tidak melihat adanya Ino dan Rin. Sepertinya dua perempuan itu tengah menenangkan diri.
Sakura bergumam menjawab Hinata. Dia juga tidak mau terlalu memikirkan ucapan Sasuke. Sakura juga tidak mau terlalu banyak pikiran dan berakhir dengan kepalanya yang pening. Memikirkan kondisi keuangan keluarganya saja sudah cukup membuat dia stres.