Suasana dipinggir kota nampak sedikit sepi walau jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Jam untuk orang sibuk seperti bekerja dan sekolah. Beberapa orang berjalan dengan payung bahkan jas hujan karena gerimis masih membasahi kota kecil itu setelah hujan lebat baru saja berhenti beberapa menit yang lalu. Semilir angin dan udara dingin berhembus pelan namun mampu membuat beberapa orang yang masih berada di jalanan menggigil dan merapatkan jaket yang mereka pakai.
Sebuah bis kota nampak berhenti disebuah halte. Menurunkan beberapa penumpang yang langsung berhamburan keluar dengan hembusan napas berat melihat cuaca yang sangat tidak mendukung.
Beberapa dari mereka bahkan harus rela terkena percikan gerimis karena tidak memiliki persiapan menghadapi cuaca hari ini. Mereka penumpang dari kota besar. Dan wajar jika cuaca kota Suna yang lumayan terik dibandingkan dengan pinggiran kota yang dekat dengan beberapa desa, pegunungan dan teluk mempunyai iklim dan cuaca yang berbeda dengan ibu kota. Seperti desa Kumo ini.
Seorang gadis nampak mengeluh karena pakaian yang baru seminggu yang lalu dibelikan oleh mendiang ayahnya terkena cipratan lumpur yang menggenang dipinggir trotoar karena beberapa pejalan kaki yang tidak hati-hati saat turun dari bis. Dia berdecak membuat wanita di sampingnya tersenyum menanggapi.
"Orang-orang ini. Matanya tidak lihat ya kalau di sana ada lumpur." gadis itu menggerutu, "Masih diinjak saja."
Beberapa orang yang sedang menunggu jemputan melirik kearah gadis berwajah manis itu dengan sungkan. Terutama yang tersinggung dengan ucapan gadis itu. Walau tersinggung, mereka tidak marah. Justru mereka--dan seseorang yang tanpa sengaja menginjak lumpur--merasa tidak enak karena membuat pakaian yang ditafsir berharga mahal itu menjadi kotor. Namun karena malu dan gengsi, dia seakan tuli dan buta hingga mencoba mengabaikan raut wajah kesal gadis cantik itu.
Wanita dengan iris mata yang sama seperti milik gadis manis yang masih menggerutu itu tersenyum. Sedikit menunduk untuk menyentuh bahu anaknya. Membuat gadis dengan umur sekitar sepuluh tahun itu mendongak melihat mata ibunya.
"Sayang, itu bisa hilang." wanita itu tersenyum menenangkan saat mata bulat anaknya mendongak menatap dengan polos kearahnya, "Nanti, saat sampai di rumah kita yang baru, Ibu akan mencucinya hingga bersih tanpa bekas noda sedikitpun."
Haruno Sakura, bola mata gadis itu sedikit melebar mendengar kalimat ibunya. Benarkah?
"Sungguh, Bu? Ini bisa hilang?" tanyanya tak sabaran.
Sakura tak ingin membuat gaun pemberian ayahnya ini harus teronggok sia-sia didalam bak sampah karena sudah tak layak dipakai. Karena Sakura tidak ingin memakai benda apapun walau jika itu ada kecacatan sedikit pun.
Haruno Mebuki mengangguk. Mengelus rambut halus anaknya. Rambut yang menjadi salah satu kebanggaan anak gadisnya. "Iya, Sayang. Jadi, jangan muram lagi ya."
Sakura mengangguk cepat hingga rambut dengan potongan shaggy panjangnya berayun membuat ibu satu anak itu tersenyum. Memang, anak semata wayangnya ini selalu bersikap berlebihan jika menyangkut barang pemberian ayah dan dirinya. Apalagi suaminya, Haruno Kizashi, telah berpulang satu Minggu yang lalu membuat Sakura sedikit sensi dengan hal sekelilingnya.
Contohnya seperti tadi.
Mebuki mengetikkan sesuatu di ponselnya yang ditujukan pada sahabat karibnya yang ada di kota ini. Mengabari jika dia telah sampai.
Saat Mebuki mendongak, dia melihat taksi online yang telah dia pesan sudah menunggu beberapa meter dari tempatnya berdiri. Dia segera berkata pada Sakura jika jemputan mereka telah datang.
Sakura dengan patuh mendorong koper dengan ukuran kecil yang berisi beberapa setel pakaian dan beberapa boneka juga perlengkapan mandi. Sedangkan Mebuki membawa tiga koper besar sekaligus dan dengan hebatnya bisa mendorongnya tanpa mengeluh.
Supir taksi itu berjalan cepat dan mengambil alih koper yang dibawa Mebuki. Membuka bagasi mobil dan meletakkan koper-koper itu di sana.
"Sudah siap, Nyonya?"
Mebuki mengangguk di kursi belakang bersama Sakura yang duduk dengan menyilangkan kaki sambil memainkan ponsel mahalnya.
🍅🍒
Selama dalam perjalanan, Sakura terus merenung dan berpikir bagaimana dia akan hidup tanpa ayah tercintanya. Terlebih, tanpa dunia yang ayahnya berikan padanya dan ibu tercinta.
Haruno Sakura, anak tunggal dari keluarga pemilik kebun kelapa sawit sukses nomer satu di pusat kota Sina kini jatuh miskin karena hutang yang ayahnya tinggal sebelum beliau pergi ke sisi-Nya. Sakura dan Mebuki tahu jika Kizashi memiliki hutang banyak bukan untuk berjudi atau bersenang-senang dengan wanita lain. Tidak. Mereka tahu itu.
Kizashi selalu menghabiskan waktunya bersama keluarga kecilnya disaat dia memiliki waktu senggang. Dan bekerja saat pabrik membutuhkan dia. Bahkan saat bekerja tak jarang Kizashi menelepon Mebuki atau bertelepon video dengan anak kesayangannya hanya untuk mengkonfirmasi bahwa dia memang di tempat kerja dan sedang bekerja.
Setahun sebelum Kizashi divonis mengidap kanker getah bening. Kizashi berkata jika pria itu meminjam sejumlah uang pada bank dan rentenir yang membuat Mebuki bahkan Sakura bergetar karena besarnya jumlah itu. Mereka bahkan tidak yakin akan melunasi hutang yang ayahnya sebutkan nominalnya dalam waktu kurang dari satu tahun.
Kizashi berkata jika uang itu untuk memperbaiki pusat pabrik yang terbakar di kota Suna yang menghabiskan hampir sembilan puluh persen dari seluruh pabrik. Dan itu juga termasuk menewaskan puluhan pegawai di sana. Hingga Kizashi harus memberikan uang tunjangan pada masing-masing keluarga korban.
Jelas Mebuki dan Sakura tidak tahu menahu mengenai kebakaran yang terjadi di pabrik mereka. Tidak ada kabar yang beredar.
Dan Mebuki hanya menggelengkan kepala saat Kizashi berkata jika dia telah membayar beberapa orang dan media agar tidak mempublikasikan kejadian itu. Kizashi tidak ingin istri dan anaknya khawatir dan sedih.
Namun nyatanya hal itu salah. Kizashi semakin menyesal karena menutupi itu semua dari keluarganya. Tidak membicarakan masalah itu dengan Mebuki dan alhasil, dia memiliki hutang menggunung di bank dan rentenir secara cepat karena bunga yang besar.
Dan memang benar. Dari awal Kizashi seakan tidak yakin akan bisa melunasi hutang yang dia punya hingga akhirnya dia menjual semua aset dan rumah yang dia bangun dari nol hingga sekarang.
Mebuki yang memang seorang wanita tegar dan kuat, juga selalu mendukung apapun keputusan sang suami hanya tersenyum dan mencoba menguatkan Kizashi. Mebuki akan selalu bersama dengan Kizashi apapun yang terjadi.
Namun yang membuat dua Haruno itu sedih, terlebih Kizashi, karena permatanya tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi. Membuat hal itu menjadi pukulan keras yang menghantam dadanya. Kizashi sesak. Kizashi terluka. Namun luka di hatinya mungkin tidak sebesar yang diderita anaknya. Dan dia mencoba untuk menguatkan Sakura walau hal itu sia-sia.
Sejak pemberitahuan tentang hutang Kizashi, Sakura terus merenung didalam kamarnya dan enggan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Itu yang Sakura katakan dalam hatinya.
Dia bersembunyi dari kenyataan yang belum bisa dia terima. Sakura belum bisa kehilangan gelimangan harta yang ayahnya berikan. Dia belum bisa dan mungkin tidak akan bisa menjadi anak dari keluarga miskin.