Elle menatap sebuah nisan dari kayu yang menancap di sebuah gundukan tanah dan masih basah karena gerimis yang turun sejak beberapa menit lalu. Mulutnya tertutup rapat dengan tangan kanan mengelus lembut pusara itu. Matanya menatap sendu dan kering air mata berganti dengan air hujan. Tak jauh darinya, berdiri seorang wanita di bawah pohon yang tak terlalu besar menatap iba padanya dan tak tega melangkahkan kaki untuk menghampiri. Dia berdiri di samping Elle dan ikut berjongkok sambil mengelus lembut bahunya.
"Kita pulang, yuk! Sudah gerimis, nanti kamu bisa sakit, Dek," ucap wanita itu yang tak lain adalah Kakak Elle, Emina.
"Apa Kakak percaya kalau ini jasad Kak Ben?" tanya Elle tanpa menatap Emina sedikit pun.
Dada Emina seketika sakit menyadari jika adik iparnya tak percaya bahwa suaminya telah meninggal dunia.
Emina tertegun dan tak berapa lama, seorang pria datang menghampiri. Emina mendongak dan mendapati suaminya, Edward, yang tak lain kakak kandung Elle tengah menatapnya.
"Dek, kamu harus ikhlas. Semua sudah takdir Tuhan dan jangan menyangkalnya. Dosa!" ucap Edward yang ikut berjongkok di sampng Elle mencoba sadarkan dia dari ucapan yang menunjukan tanda penolakan akan takdir. Elle menghentikan gerak tangannya mengelus batu nisan itu dan menatap datar wajah Edward yang kaget melihat sorot mata Elle begitu layu dan nampak kosong.
"Ini bukan takdir Tuhan, Kak. Ini ulah manusia. Kak Ben belum mati. Dia tak mungkin meninggalkanku dengan cara ini. Pusara ini bukan miliknya. Mana mungkin aku percaya kalau ini Kak Ben, sedangkan jasadnya saja tak bisa dikenali. Kak Ben pasti masih hidup dan ada di tempat lain!" oceh Elle pelan dan lambat mengutarakan perasaannya kini.
'Jegerr'
Kilatan di langit muncul disusul suara guntur di tengah hujan gerimis yang perlahan berubah deras membuat mulut Edward tak mampu membalas ucapan Elle yang terlontar begitu saja menuruti kata hatinya. Sadar dari keterkejutannya akan bunyi guntur dan jawaban Elle, Emina justru langsung meraih tangan Elle dan menariknya karena hujan mulai lebat diiringi suara gemuruh yang semakin terdengar menyeramkan.
"Ayo kita pulang!" ajak Emina yang langsung menarik tangan Elle. Tak ada perlawanan dari Elle yang hanya mampu mengikuti langkah Emina dan menoleh sekilas ke arah makam bertuliskan nama suaminya, Benjamin Jackson.
Edward masih berjongkok menatap pusara itu dengan rasa tak percaya yang sama seperti Elle. Hatinya juga meragukan hal itu, tapi apa mau dikata. Polisi sudah menyatakan bahwa Ben meninggal dalam kecelakaan tunggal dan mobilnya meledak.
Di tempat lain, seorang pria paruh baya bersama seorang wanita tengah duduk santai di depan dua orang pria berpakaian serba hitam. Wajah keduanya terlihat begitu seram karena tak ada senyum sedikit pun di sana. Tak berapa lama seorang wanita cantik datang dengan langkah cepat memasuki ruangan itu dan menyapa keduanya.
"Pa … Ma … Aku pulaaaaang!" teriak wanita itu dan sontak disambut penuh bahagia oleh mereka.
"Akhirnya anak Mama pulang juga dari jauh!" sambut wanita dengan rambut ditata rapi serta bibir merah meski usianya sudah tak muda lagi.
"Sedikit telat karena ada badai, Ma," jawab wanita cantik itu sambil memeluk kedua paruh baya yang merupakan orang tuanya.
"Selamat datang kembali ke rumahmu, Nak," ucap pria itu melepaskan pelukannya.
Mereka adalah keluarga Savin. Keluarga yang cukup kaya dengan usaha warisan yang bergerak di bidang perhotelan dan club malam. Usaha tersebut terus berkembang pesat sejak diambil alih oleh Mateo Savin, biasa dipanggil Om Teo. Dia memiliki seorang putri bernama Saraa dan istri bernama Shanora. Ada pun putra pertama Teo adalah seorang pria playboy yang kerap mengumbar cinta demi mendapatkan wanita yang rela diseret ke ranjang olehnya, Horan. Namun, dibalik sifat bajingannya, Horan adalah pengusaha handal dan bisa diandalkan oleh Teo selama ini.
"Kak Horan ke mana, Ma?" tanya Saraa karena belum melihat batang hidung Horan sejak dia datang.
"Biasalah, Ra. Kebiasaan Kakakmu tak berubah dan justru semakin jadi. Pulang kerja bukannya langsung pulang ke rumah dan justru main dengan wanita!" kata Nora menimpali dengan wajah tak suka.
"Hahaha … Wajarlah, Ma. Mending begitu daripada dia belok. Lagi trending pria bernadan atletis tapi belok, loh!" jawab Saraa tertawa dan hanya dilirik oleh Teo.
Setelah duduk beberapa saat dan berbincamg ringan, Saraa tersadar jika di ruangan itu ada dua orang pria yang tengah berdiri sejak tadi dan membuatnya mendadak tak nyaman karena keberadaan mereka serta mengawasi.
"Mereka siapa, Pa?" tanya Saraa berkerut kening menatap saksama pada mereka dan bergantian.
"Oh, mereka orang-orang kepercayaan Papa yang baru saja berhasil menjalankan tugas dengan baik dan bersih serta tanpa cacat," jawab Teo tanpa ragu dan mengulum senyum puasnya.
Saraa tertegun. Dia belum paham betul dengan ucapan Teo yang terasa ambigu dan melempar pandangan bingung ke arahnya kini untuk meminta penjelasan lebih detail.
"Maksudnya tugas apa?" tanya Saraa lagi.
"Tugas apa lagi, sih, Ra, kalau bukan cabut nyawa orang dengan paksa dan sadis. Itukan hobinya!" jawab Nora cepat dan amat ringan lidahnya sambil meraih cangkir teh yang sudah dingin.
'Degg'
Seketika degup jantung berpacu di atas normal akan pengakuan Nora barusan. Namun, bukan degup jantung orang lain yang ada di ruangan itu, melainkan jantung seorang pelayan di rumah tersebut yang baru saja lewat karena dari dapur tak jauh dari tempat mereka berbincang.
"Wowww … Rupanya Papa masih suka cabut paksa nyawa orang, ya?" cicit Saraa tak kaget dengan karakter orang tuanya yang sudah biasa melakukan itu, terutama menyingkirkan saingan bisnisnya.
"Tentu saja. Ada darah Savin yang mengalir kental di tubuh Papa. Siapa pun orang yang berani menolak, maka akan Papa habisi saja daripada melihat orang itu berlalu lalang dan merusak mata," kata Teo yang diakhiri senyum sinis.
"Hahaha … Bangganya aku punya orang tua macam Papa. Btw, memang siapa yang Papa bunuh kali ini?" tanya Saraa yang duduk bersandar sambil melirik Teo yang ada di seberang meja sambil memeluk bantal kecil.
"Benjamin Jackson."
"APAAA?" kaget Saraa hingga bangun dari duduknya dengan bantal yang jatuh ke lantai.
Mata Saraa menatap tajam pada Teo yang bingung melihat reaksinya. Nora yang ikut terkejut akan suara Saraa nampak tercengang dan bingung melihat Saraa yang begitu kaget dengan pengakuan Teo. Dengan lembut, Nora menyentuh tangan Saraa yang bebas dan menggerakkannya pelan.
"Ra, ada apa? Kenapa kamu kaget begitu, huh?" tanya Nora pelan dan kebingungan.
"Kenapa Papa bunuh Ben? Papa sudah gila apa bunuh pria yang Saraa cintai, huh!" kata Saraa dengan nafas tersenggal. Nora melotot akan pengakuan Saraa barusan, sedangkan Teo bergeming melihat wajah Saraa memerah karena emosi yang meletup-letup di kepalanya.
"Lupakan dia, Saraa. Dia sudah ke neraka. Kau bisa dapatkan pria lainnya. Kau cantik dan masih muda, cari saja lagi!" ucap Teo santai dan tak perduli dengan perasaan Saraa kini.
"Kenapa Papa lakukan itu? Bukankah Papa tahu kalau aku cinta pada Ben. Aku minta Papa bantu untuk dapatkan dia, bukan untuk dibunuh!" cicit Saraa dengan suara membentak.
"Dia menolakmu dan dia malah menikah dengan wanita lain dari kalangan biasa. Daripada kau sakit hati melihatnya dengan wanita itu, lebih baik dia mati. Terlebih dia sudah menolak ajakan Papa untuk bekerja sama. Dia pantas mati daripada mengganggu mata Papa!" beber Teo panjang lebar.
"Papa kejam!" oceh Saraa menimpali.
"Diam kamu dan jangan membentak Papa!" sahut Teo lagi dengan suara lebih keras.
Saraa terdiam dan menatap kesal pada Teo. Dia beralih menatap Nora yang diam sejak tadi menyaksikan suami dan anaknya bertengkar.
"Apa Mama tahu hal ini?" tanya Saraa.
"Iya. Dia tak pantas kaucintai. Dia memang lebih kaya raya dari kita dan kematiannya akan mendatangkan banyak keuntungan bagi kita. Percayalah, dia bukan cinta sejatimu, Ra. Akan kautemukan pria lain dan yang sejalan dengan keluarga kita."