Chereads / Milea Alias Minah / Chapter 4 - Bab 4 - Mata yang Melihat Sesuatu

Chapter 4 - Bab 4 - Mata yang Melihat Sesuatu

Hal pertama yang harus kulakukan sekarang adalah mencari tempat berteduh buatku dan Fitri. Setelah itu, baru menyusun rencana selanjutnya.

Kakek yang sedang menunggui warung rokok kecilnya sambil melamun itu pasti tau rumah yang dikontrakkan di sekitar sini. Jadi kuhampiri dia untuk bertanya.

"Maaf Kek, saya lagi cari kontrakan.. apa Kakek tau dimana kira kira..."

"Ooooh kontrakan," potong si Kakek sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. "Langsung aja noh ke rumahnya Juragan Danang. Nyang paling ujung ono noh..nyang pagernya warna lumut."

Sebagai rasa terima kasih, aku membeli air mineral di warung kecil itu.

***********************************************************************************************

Juragan Danang mengantarku ke salah satu kontrakannya yang masih kosong. Tempat itu sama kecilnya dengan rumah Tono, sama kumuhnya, dan Tono ternyata nggak mengada-ada saat bilang biaya hidup disini dua kali lipat lebih mahal dibandingkan kampung. Bayangkan! Untuk kontrakan sekecil ini saja aku harus membayar sejuta?

Dengam rasa tidak rela aku merogoh dompetku. Padahal bekalku cuma 2 juta. Kalo aku nggak segera dapat kerjaan, berarti aku cuma bisa tinggal di Jakarta maksimal 2 bulan, itu juga kalo nggak makan.

Aku sudah hampir mengulurkan satu juta rupiah pada Juragan Danang, ketika sebuah suara terdengar di belakangku.

"Dia itu istrinya si Bagus, Bang Danang, masih kerabatku. Janganlah mahal-mahal. Kasihan. Belum juga dapet kerjaan disini. Terus juga masih harus ngurus anaknya."

Aku menoleh dan kaget melihat Tono ternyata sudah berdiri di belakangku.

"Istrinya Bagus?" Kening Juragan Danang berkerut tajam. "Bagus yang ilang itu?"

"Ya Bagus siapa lagi, Bang? Kan nama Bagus di sekitaran sini ya cuma dia. Lima ratus ajalah. Samain sama punya gue. Toh gedenya juga sama."

"Ya udahlah," Juragan Danang menatapku. "Tapi ontime bayarnya. Jangan sampe nunggak."

"Ini Bang, yang buat bulan ini," kuberikan lima ratus ribu pada Juragan Danang, sementara sisanya kusimpan lagi dalam dompet. Dalam hati aku merasa lega, karena duitku nggak jadi berkurang banyak.

"Okelah. Listrik air sudah tanggungan gua, tapi jangan boros-boros juga. Pake seperlunya," Juragan Danang melipat lima lembar uang yang barusan diterimanya, menyimpannya di saku. "Kalo ada bocor-bocor dikit, benerin sendiri. Jangan apa-apa komplen, apalagi sudah gua kasih murah."

"Iya, Bang," kataku.

Juragan Danang memberikan serenceng kunci kepadaku, kemudian melangkah pergi.

"Harusnya kamu nggak usah ngurusin aku lagi, Mas," kataku sambil memasukkan anak kunci ke pintu kontrakan, lalu memutarnya.

"Kamu nyalahin aku ya, atas hilangnya Bagus?" Tono ikut masuk ke kontrakan meski tidak kupersilakan. Dan dia langsung duduk begitu saja di lantai yang berdebu karena lama nggak ditinggali orang.

"Aku nggak berhak salahin siapa-siapa, Mas. Aku cuma kecewa, karena kamu santai sekali menanggapi musibah ini. Padahal Mas Bagus kan sahabatmu. Apa nggak ada rasa sedih, kuatir, apa cemas melihat sahabatmu menghilang begitu saja seperti ditelan bumi?"

Tono tampak serba salah.

Apalagi saat itu, aku yang ga sanggup lagi membendung emosi, malah jadi nangis sesunggukan.

"Aku minta maaf," kata Tono. Lalu diam lama, seperti bingung mau ngomong apa.

Aku mengambil tissue dan menyeka mataku.

"Sudahlah, Mas. Yang sudah lewat nggak usah dibahas lagi. Sekarang lebih penting mikirin rencana, gimana biar kita bisa nemuin Mas Bagus."

"Buat obat sedih, kukirimin foto-foto terakhirnya Bagus ya. Mau?"

Aku mengangguk.

Tono mengetik-ngetik di hpnya, dan tak lama kemudian, notifikasi hpku bunyi. Beberapa foto terkirim di hpku.

Ada beberapa foto Mas Bagus, Tono dan beberapa teman mereka saat kerja di proyek, pada kembaran pake kacamata hitam, entah kaca mata hitam siapa karena Mas Bagus kan nggak punya barang semacam itu. Terus ada foto-foto mereka lagi main gaple, foto selfi Mas Bagus dan Tono yang berlatar belakang lampu kerlap kerlip dan gerobak martabak, dan beberapa foto lain.

"Yang main gaple dan selfi itu, diambil pas malam sebelum dia hilang."

Air mataku nyaris tumpah lagi melihat wajah yang sangat kukenal lekuk-lekuknya itu. Apa Mas bagus bisa merasakan, bahwa hatiku sangat rindu? Bahwa aku rela melakukan apapun demi bisa melihat wajahnya lagi? Demi bisa memeluknya... demi bisa membawanya kembali ke sisiku?

"Cuma itu yang aku punya, Nah. Maklum kita ini kan cowok. Jarang poto-poto."

"Gapapa, Mas," mataku terus menatapi foto-foto itu. "Oya apa ada tempat print foto deket sini? Aku kepingin print foto-foto ini. Mau kupajang di kontrakan, biar Fitri bisa merasakan kehadiran Bapaknya disini."

"Ada. Di depan. Ayo aku anter."

***********************************************************************************************

"Ini pengkolan yang tadi kan, Mas?" Aku mengenali pengkolan tempat Tono terakhir kali berpisah dengan Mas Bagus.

"Iya. Tempat print fotonya nggak jauh kok dari sini."

Sambil menyusuri jalanan itu, kuperhatikan semua bangunan yang ada disitu. Barangkali saja ada petunjuk yang bisa memberitahuku kemana Mas Bagus menghilang. Tapi semuanya terlihat normal, nggak ada yang mencurigakan. Sepanjang jalan, mataku melihat kios kios kecil berderet, ada yang menjual helm, baju, sepatu anak-anak, mainan anak anak, sepeda, dan lain lain. Sampingnya lagi ada bengkel tambal ban. Terus ada warteg. Terus ada toko peralatan olahraga yang besar dan keliatan menyolok karena ada hiasan lampu kerlap kerlip di depannya. Habis itu ada minimarket, terus ada kios kios lainnya lagi. Cuma itu.

Rasanya aneh membayangkan Mas Bagus bisa menghilang di jalanan seramai ini. Atau kalo sudah larut malam, nggak seramai ini?

"Itu tempat ngeprintnya," kata Tono, menunjuk salah satu kios yang letaknya di ujung. Kiosnya kecil, tapi rame. Staffnya yang cuma 3 orang terlihat kerepotan mengurusi pelanggan yang mengantri. Rata rata anak SMU, pada masih pake seragam, yang artinya mereka nggak pulang ke rumah dulu tapi langsung kelayapan sepulang sekolah.

Aku menunggu dengan sabar hingga antrianku tiba. Dan meminta semua foto yang dikirim Mas Bagus tadi agar di print ukuran 4R. Ada frame foto yang dijual disitu. Tadinya aku sempat tergoda untuk membeli, tapi ternyata harganya dua ratus ribu. Langsung aku batal kepingin. Kalo segitu sih, mendingan uangnya buat makan aja.

Keluar dari tempat ngeprint foto, ternyata hari sudah gelap. Karena aku perlu belanja beberapa kebutuhan, jadi Tono mengantarku ke minimarket.

Dari sana kita langsung jalan pulang, tentu saja sambil aku terus mengamati sekitarku dengan seksama. Banyak toko yang mulai tutup, dan trotoarnya dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima buat jualan. Tono membelikanku sosis bakar dan martabak yang mangkal di depan toko peralatan olah raga yang besar tadi. Martabaknya bisa pesan satu aja tapi isinya macam-macam. Fitri suka sekali yang rasa keju jagung. Kalo aku, lebih suka sosis bakarnya. Tentu saja sebelum kumakan, harus kulumuri dulu dengan saus pedas banyak-banyak biar sedap.

"Tempat ini sampai larut malem juga rame kaya gini, Mas?" tanyaku sambil mengigit sosis yang nikmat itu.

"Ya nggak serame ini sih kalo udah larut banget," jawab Tono.

"Kalo malem pas Mas Bagus ilang itu? Rame nggak?"

"Itu kan udah lewat tengah malem. Jadi ya sepi."

"Tapi tukang kacang rebus masih jualan?"

"Masih. Soalnya dia kalo dagangannya belum habis, belum pulang."

Tono celingukan, lalu menunjuk gerobak kacang rebus yang parkir di trotoar depan kios yang jualan mainan anak anak. "Nah itu yang jual. Mau beli?"

Aku nggak suka kacang rebus sebenernya, dan perutku juga nggak lapar karena sudah terisi sosis bakar, tapi aku mengangguk demi biar bisa ngobrol sama Abang penjualnya.

"Sebungkus ya, Bang," kata Tono sambil mengangsurkan uang lima ribuan.

"Ini aja, Mas," aku mau keluarin dompet, tapi Tono dengan cepat menolak.

"Udahlah, Nah. Nggak usah sungkan. Cuma uang kecil ini."

"Tapi dari tadi kamu udah beliin macem-macem, Mas."

"Ya gapapa. Anggep aja sebagai sambutan."

"Oke aku terima. Tapi besok-besok jangan lagi, ya, Mas. Aku nggak mau ngerepotin."

"Iya."

Tukang kacang dengan cekatan meraih koran yang lalu dibentuknya jadi kerucut, lalu dia raup kacang rebus dagangannya dan dia masukkan ke dalam kerucut itu.

"Udah lama jualan disini, Bang?" Tanyaku, berusaha membuka pembicaraan.

"Udah dari tahun 90, Neng," jawabnya.

"Apa Abang pernah liat laki-laki ini?" Kubuka hpku dan kutunjukkan foto Mas Bagus kepadanya. "Ini suami saya. Dulu tinggal di sekitar sini dan dia suka makan kacang rebus jualan Abang."

"Waduh, pelanggan saya banyak, Neng. Nggak bisa inget mukanya satu persatu," katanya tanpa sedikitpun menoleh ke hpku.

"Suami saya hilang, Bang, kurang lebih setahun yang lalu. Dan terakhir sebelum dia hilang, dia muter ke jalanan ini karena kepingin beli kacang rebus jualan Abang," ceritaku, dengan harapan setelah mendengar musibah yang menimpa Mas Bagus, si Abang Penjual bisa lebih bersimpati dan mau memberikan informasi yang mungkin akan berguna buatku.

Diluar dugaan, penjual kacang rebus itu malah mendelik. Lalu sambil menyorongkan bungkusan kacang yang sudah rapi ke tanganku, dia membentak.

"Maksudnya apa Neng bicara seperti itu? Neng mau nuduh saya yang udah nyulik suami Neng?"

Aku kaget mendengar tuduhannya. Buru-buru aku berusaha menjelaskan, "Bang, saya bukannya mau nuduh..."

" Denger ya Neng, biarpun saya ini wong cilik, biarpun kerjaan saya rendah, dan saya ini miskin, tapi jangankan nyulik, nyentuh duit ga halal aja saya amit amit."

"Bang, tolong dengerin saya dulu..."

"Kalo sampai saya bohong, Neng, saya rela disamber petir dan mati hangus sekarang juga!"

Nggak ada petir mengikuti omongannya, tapi suara si Abang yang menggelegar bikin Fitri kaget dan menangis keras. Pejalan kaki juga jadi berhenti dan menonton karena mengira ada yang berantem. Saat si Abang yang emosi berteriak bahwa dia bisa menuntut balik aku karena sudah mencemarkan nama baiknya, kutarik Tono menyingkir dari situ, sambil dalam hati bersumpah, biarpun makanan di dunia ini tinggal kacang rebus, aku nggak bakal sudi membelinya dari orang ini.

***********************************************************************************************

Perlu waktu empat puluh lima menit penuh untuk menenangkan Fitri dari kagetnya. Ketika akhirnya dia lelap dan aku bisa meletakkannya di atas kasur lipat yang dipinjamkan oleh Tono, aku sudah lelah setengah mati. Dengan mata mengantuk aku beberes sebisaku. Mengeluarkan barang barang belanjaanku dan menatanya di sudut. Lalu mengeluarkan foto-foto Mas Bagus yang tadi aku print dan menempelnya di dinding kontrakan pake selotip yang tadi aku beli di Minimarket.

Sambil memandangi foto-foto itu, hatiku mengucap doa.

Lindungi suamiku, ya Allah, dimanapun dia berada. Dan ijinkan kami berkumpul kembali, bahagia kembali, seperti dulu.

Kemudian kusadari ada yang aneh dengan foto-foto itu.

Tapi sebelum aku sempat memikirkannya, aku sudah terlelap di samping Fitri.