JEYA*POV
Aku baru saja menapakkan kakiku di kediaman mempelai wanita. Perasaanku campur aduk dan bingung. Bagaimana tidak? Acara akad belum dimulai sama sekali, dan dari raut-raut wajah para keluargaku, seperti ada yang nggak beres.
Aku berjalan semakin dekat ke arah Abang sepupuku yang berdiri gelisah bak gadis yang sedang menunggu pacarnya.
Kenapa mukanya sepucat itu?
"Je..." Bibi menghampiri dan memelukku sangat erat. Mama tiri Abang sepupu ku itu seperti dilanda dilema besar.
Aku berdiri kaku. Ada apa? Benakku seperti siap menanyakan 1001 macam banyak hal.
"Calon istri Abangmu..." Bibi terisak pelan, beliau hamir pingsan, untungnya Abangku sigap menahan tubuhku dan Bibi.
"Bang... Kenapa tampang kalian kusut semua?" tanyaku berbisik setengah panik.
Abang berdecak sebal. Setelah meletakan tubuh Bibi di sofa panjang. Dia menyeretku menuju toilet umum yang nggak jauh dari tempat acara. Aku hanya diam melihat punggungnya yang naik turun itu. Dia... Terlihat kacau.
"Lo, mau main-main sama gue?" tanya Bang Azland datar. Matanya tepat masuk ke dalam mataku.
Main, apaan? "Maksud Abang?"
Bang Azland mencengkeram rambutnya kasar. "Dia nggak bilang sama lo?"
Ini orang ngomong apa sih?
Aku ke mode serius. "Jangan berbetele-tele deh, Bang. Ini kenapa lo jadi kesel gini sih?" aku ikut kesal.
Dia menatapku. Lalu menghembuskan nafas berat. "Temen lo kabur."
Deg...
Aku nyaris gila mendengar ini. Jadi ini masalahnya?
Ini bukan masalah kecil, lalu bagaimana mengatasinya?
"Bang..." panggilku pelan. "Lo nggak bercandakan?"
Bang Azland menatapku tajam. Detik berikutnya dia menutup wajahnya. Menangis? Nggak mungkin, Bang Azland itu kuat dan tegar.
"Gue nggak nyangka bisa ditipu gini. Gue pikir dia wanita baik, kalau aja gue nggak pernah ketemu dia, kalau aja gua nggak maksa minta nomor dia, kalau..."
Kalau dan kalau yang dikatakannya nggak akan merubah situasi apapun.
"Stop, Bang..." aku menarik tubuh tegap tingginya masuk ke dalam rangkulanku. Mengusap punggungnya penuh sayang.
"Gue harus gimana?" tanyanya membuatku mau tak mau ikut merasakan kesedihannya. "Acara ini nggak mungkin kan dibatalin? Gila aja coba, apasih yang ada di pikiran dia itu, sampai kabur begini?" dia terus menggumam kata-kata sebal, kecewa dan menyesal.
"Ini salah gue, Je... Andai gue denger waktu Papa bilang dia bukan wanita yang ..." aku membungkam mulutnya dengan telapak tanganku.
Memberanikan diri menangkup wajahnya dan menatap dalam matanya. "Ini nggak sepenuhnya salah lo, Abang... Gue juga turut andil dalam hubungan kalian. Gue akan tebus kesalahan gue. Sumpah, gue nggak bermaksud bikin urusan ini jadi runyam."
Aku berpikir keras. Bagaimana menyelamatkan acara pernikahan ini? Keluarga dari mempelai wanita nggak punya lagi anak perempuan buat gantiin posisi mempelai wanita.
Mengganti...
Mengganti...
Mengganti...
Aha, aku punya ide.
"Bang... Gimana kalau lo nikah sama gue?" ini gila. Tanpa pikir pendek, aku mengatakan hal gila itu.