Bang Azland mengadah, menatapku dalam membuatku gelagapan sendiri. "Egh, anu, itu, cari ide yang lebih wa—"
"Ide bagus. Gue setuju." katanya yakin, lebih tepatnya memberi jawaban yang takkalah gila. Dia mengelap wajahnya dan menatapku penuh harap. "Ayo, Je!"
Bang Azland menarik tanganku kembali menuju ke tempat acara. Kalian tahu, Ayahku langsung memelotot kaget saat aku dan Bang Azland dengan semangat empat lima memberi tahu ide gila itu.
Bahkan keluarga kami dan keluarga wanita yang meninggalkan acara ini menatap tak percaya, 'gila kalian!' Begitulah tatapan mereka pada kami berdua.
"Tenang saja, paman saya akan menjaga Jeya seperti menjaga benda milik saya sendiri." Bang Azlan terus berceloteh yakin, akan menjagalah, menyayangilah, memberi nafkahlah, padahal Ayah belum memberi respon dan jawaban apapun.
"Az, diam dulu. Pamanmu masih memikirkannya. Jangan menjajikan kalau nanti kamu nggak bisa melaksanakan." tegas Paman Iyan, Papa Bang Azland.
Bang Azland mengeratkan genggaman tangannya. Dia menunduk. Menunggu keputusan besar yang akan diambil Ayahku. Lama suasana hening, sampai akhirnya Ayah memanggilku.
"Apa kamu mau, menikah sama Abangmu itu?"
Aku menelan ludah. Memaksakan senyum, mengangguk cepat. "Iya, Jeya. Mau."
"Kalau kau, setuju tidak?" tanya Ayah pada Kakak kandungnya, paman Iyan.
"Mau bagaimana lagi? Lagian anaknya sama-sama mau." Paman Iyan mentapku dan Bang Azland bergantian. Lalu kembali menatap Ayah. "Ayolah tunggu apalagi. Tamu juga sudah lama menungu."
Ayah mengangguk, menatap sekeliling dan menghembuskan nafas pasrah. Dia tersenyum tipis, menepuk pundak Bang Azland. "Paman percaya sama kamu. Ayo kita mulai."
Suasana semakin ramai. Hingar bingar, bisik-bisik para tamu undangan makin menjadi, 'ada apa, kenapa, mengapa acara belum mulai?' pertanyaan itu terus bercokol dibibir. Hingga bunyi dengungan mic membungkam mulut mereka.
Setelah dimake over dadakan. Pasangan yang mereka nanti akhirnya menampakan diri. Tamu undangan menghembuskan nafas lega, acara akan segera dimulai. Beda dengan mereka, Bang Azland dan aku sangat gugup. Apalagi saat Bang Azland menjabat tangan Ayah.
Ayah berdeham. "Baiklah... Bismillahirrohmanirrohim. Saya nikahkan dan kawinkan, Mohammad Azland Griondhuwaishi bin Iyan, dengan putri kandung saya, Jeahana Nasrul Poetri binti Harul, dengan mas kawin lima gram, uang lima ratus rupiah, dan seperangkat alat solat dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Jeahana Nasrul Poetri binti Harul dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Hening...
"Para saksi?"
"Saaah!"
"Sah..."
"Alhamdulillah..."
Rapalan do'a-do'a memenuhi setiap sudut rumah.
Aku gelagapan saat diminta mencium tangan Bang Azland. Biarpun tak memiliki perasaan lebih dari seorang kakak-adik tetap saja malu masih menggerayangi.
Kilatan blitz beberapa kali menyambar saat bibirku mendarat di punggung tangan Bang Azland. Begitu pula saat dia mengecup keningku, blitz yang sama juga takkalah berkilau-kilau mengabadikan momen itu. Khatam sudah masa kesendirianku.
Selamat menempuh hidup baru...