EKSPERIMEN (SUDAH TERBIT DLM BENTUK E-BOOK & TERBIT DI KUBACA)

🇮🇩winchan
  • 3
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 57.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - BAB 1 (MEDSOS)

Sabtu, 12 Agustus 2017

Upload new profile at medsos (FB, twitter, IG, whatever u name it lah) DONE.

Adara duduk di hadapan layar laptopnya sambil tersenyum. Dia baru selesai mandi. Rambutnya yang masih basah keramas, dibungkus dengan handuk kecil berwarna merah tua. Adara mengenakan baju tank top putih dan celana hot pants bahan jeans. Kakinya ditekuk di atas dudukan kursi. Dia meraih stik kecil, alat manikurnya, lalu mengikir kuku sambil bernyanyi-nyanyi kecil.

Nama Adara berasal dari bahasa Arab yang berarti 'cantik'. Sesuai namanya, parasnya memang cantik. Wajahnya oval, mata besar, alis lengkungnya terlihat elegan bahkan tanpa harus dirapikan di salon. Bulu matanya lentik dan bibirnya mungil kemerahan. Dan bukan hanya itu. Tubuhnya juga seksi. Ralat : SANGAT seksi.

PUK! PUK! PUK! Mata Adara melirik ke notifikasi FB yang sedang terbuka di layar laptopnya. Lima notif sekaligus. Dan terlihat tanda orang-orang masih mengetik komentar.

Fitri Nurmayanti :

OH MY GOD... DARA!!! WHAT HAPPENED??? Baca Line pliss??

Pras Yoga :

@o@ Astaghfirullah. Baru mau salat, malah liat yang beginian. Wudhu lagi deh.

Putra Pratama : Salah lu, bro. Udah tau mau salat malah FB-an dulu :D

Widya Sriwedhari :

Ya Allah .... cantik. Jilbabnya tapi ke mana, sayang?

NgemenkaPaGuwe :

Duh cAkeP pAk3 biNgit5 mb. Ken4lan doNks eaa ...

Gilang Ramadhan :

33:59 baca ya neng. Tetiba pusing pala Om liat kelakuan anak zaman now.

Adara tersenyum geli. Komentarnya mulai dari yang religius sampai yang alay. Dia sudah memperhitungkan ini. Dan sudah siap dengan apapun reaksi mereka.

TRING! TRING! TRING! Adara mengamati ponselnya di atas meja yang terus berbunyi, tanda ada banyak pesan yang masuk. Dia meletakkan alat manikurnya di samping laptop dan meraih ponsel.

Line : tujuh pesan baru, WA : sebelas pesan baru. Lima pesan berasal dari Zulaikha, kakak perempuan Adara satu-satunya.

Zulaikha :

Dek, FB mu di-hack orang ya?

Eh ... tapi fotonya persis kamu lho. Dari mana dia dapet foto kamu gak pakai hijab??

Duh lama banget. Jawab knp, Dek ?

Mbak ke sana deh. Skrg.

Jgn ke mana-mana.

Adara tersenyum. Dia juga sudah siap untuk yang satu ini. Ini yang paling berat, tapi dia sudah ambil keputusan, dan dia tidak akan mundur.

Adara mengeringkan rambutnya, menjemur handuk, lalu sibuk membalas satu persatu pesan di ponselnya. Ternyata Zulaikha mencoba menghubunginya barusan saat dia ke balkon belakang untuk menjemur handuk. Biarlah. Toh sebentar lagi juga ketemu, pikirnya.

Sementara itu notifikasi FB terus bertambah.

Aini Pratiwi :

Sayang banget. Padahal cantikan pas berhijab lho say.

MimiChayankAbank :

Kelen tuch ribUt binGit5 sich. Bi4rin aJah kelees. Org m4u tutUp kek, bUk4 kek.. suK4-sUka.

Armando del Castillo :

Beginilah kalian. Sekalinya ada muslim yg mengambil keputusan untuk membuka hijabnya, kalian bully. Padahal mungkin mereka mengambil keputusan berat itu setelah mengalami pergolakan batin yang panjang.

--> Doddy Prapantja : Beginilah sesama muslim. Kalau yg satu melanggar syariat, yg lainnya wajib mengingatkan. Mengingatkan, bukan bully bang. Kl udh ngingatkan masi cuek, itu udh urusan ybs dgn Allah Swt. Salam dari istri saya buat Rosalinda.

Notifikasi terus bertambah hingga nyaris mencapai 90-an. Yang masuk ke inbox ada 12. Rata-rata teman-teman pengajiannya dulu, waktu dia masih rutin datang. Sejak ibunya meninggal tahun lalu, dia mulai jarang hadir ke pengajian. Bahkan setiap Zulaikha mengajaknya, dia sering beralasan sibuk ini itu.

Pesan yang masuk ke inbox isinya serupa. Intinya mengingatkan Adara tentang hukum wajibnya berhijab. Mereka mengutip ayat al-Qur'an, Hadits dll. Dan umumnya kalimatnya diakhiri dengan 'semoga Allah memberimu hidayah.'

Adara tersenyum meledek. Berisik sekali mereka. Dia tidak akan membalas satupun komentar dan pesan di medsos. Yang bertanya lewat ponsel pun hanya orang-orang tertentu saja yang masih bersedia dibalasnya.

TING TONG! TING TONG!

Wow ... cepat sekali.

Adara berdiri, keluar dari kamarnya dan setengah berlari membuka pintu apartemennya. Pintu terbuka dan kakaknya Zulaikha berdiri persis di hadapannya. Gamisnya berwarna coklat tua dan hijab syar'i-nya panjang berwarna krem muda. Ada bros berbentuk bunga tersemat di dadanya. Nafasnya tidak teratur, menandakan dia berangkat dengan terburu-buru. Wajahnya terlihat cantik seperti biasa, bahkan tanpa make up sekalipun, dia tetap cantik. Mereka berdua sama-sama mirip dengan almarhumah Ibu mereka.

"Assalamualaikum."

"Wa alaikum salam, Mbak. Masuk, Mbak." Adara membuka pintu lebar-lebar. Zulaikha segera menutup kembali pintu itu karena khawatir ada orang lalu lalang di koridor dan melihat Adara yang sedang mengenakan baju mini yang ketat.

"Wah, rekor. Mbak cuma perlu dua puluh menit untuk sampai di sini? Duduk, Mbak. Mau minum teh hijau?" Adara hafal kakaknya paling suka teh hijau.

Zulaikha terlihat gelisah, tapi lalu dia duduk di sofa. "Enggak usah. Aku enggak bisa lama-lama, Dara. Ameera tadi kutitip sama guru ngajinya di masjid." Ameera adalah anak perempuan kakak yang sudah mulai masuk usia pre-school.

"Oh iya. Ada apa, Mbak?" Adara bertanya sambil tersenyum. Padahal dia tahu persis apa yang ingin dibahas Zulaikha. Dia ikut duduk di samping kakaknya.

Zulaikha mengeluarkan ponselnya dari tas mungil. Dia menghadapkan layar ponsel ke arah Dara. Memperlihatkan foto perempuan berbaju atasan abu-abu, celana pendek abu-abu, sedang menoleh ke belakang. Rambut bergelombang terurai, dengan tatapan yang menggoda, dan bibir yang dipulas lipstik berwarna merah terang. "Foto siapa ini?"

Dara diam sejenak. "Fotoku."

"Siapa yang upload?"

"Aku."

Zulaikha sudah menduganya, tapi dia masih berharap akan mendengar jawaban 'akun FB ku di-hack, Mbak.' atau 'Enggak sengaja ke-posting' atau alasan apa saja. Apa saja, selain ini.

Zulaikha merasa tubuhnya lemas. Perlahan tangannya turun ke atas permukaan sofa. "Kenapa?" Suaranya terdengar bergetar.

Adara melihat ekspresi kakaknya yang nampak terpukul. Inilah kenapa, bagian ini adalah yang terberat. Zulaikha adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa. Ibu dan Bapaknya sudah tidak ada.

"Aku sejak awal pakai jilbab karena Ibu memintaku. Ibu sering sakit-sakitan. Aku enggak tega kalau menolak bujukannya."

"Kamu sudah berhijab hampir lima tahun, Dara. Dan semua kajian-kajian yang kamu datangi, semuanya sudah menjelaskan kenapa kamu sebaiknya memakainya."

Bola mata Adara memutar ke samping. Dia sedang menebak, apakah kakaknya akan menceramahinya seperti orang-orang yang mengiriminya pesan di medsos?

Tapi Zulaikha mengenali bahasa tubuh Adara. "Oh, enggak, enggak. Jangan salah. Mbak enggak akan menceramahi kamu dengan mengutip ayat Al-Qur'an atau Hadits. Kamu sudah tahu dasar-dasar hukumnya. Walaupun kamu nggak sekolah di pesantren seperti mbak, kamu sudah tahu."

"Yang Mbak ingin tanyakan ke kamu itu, ... " Kalimatnya terputus. Tangannya buru-buru menutup bagian wajah, dan bersamaan dengan itu, air matanya jatuh butir demi butir. Zulaikha memejamkan mata dan menundukkan kepala. Pundaknya bergetar.

"Oh ... Mbak, please jangan begini." Adara menyentuh punggung kakaknya. Dia tidak tahan melihat kakaknya menangis. Apalagi gara-gara ulahnya.

Zulaikha menarik nafas panjang. "Maaf. Mbak bayangin kalo Ibu lihat kamu kayak gini sekarang." Zulaikha terkesiap, teringat dia tidak boleh membuang waktu. Matanya agak merah, tapi dia harus melanjutkan pembicaraan ini. Ini lebih penting ketimbang perasaannya. "Kenapa sekarang? Kenapa? Kemarin kita baru saja memperingati setahun meninggalnya Ibu."

"Justru itu. Aku nggak mau melakukannya persis di hari setahun peringatan meninggalnya Ibu. Jadi kumundurkan sehari."

Sehari, dua hari, tiga hari, tak ada beda. Adara tetap akan melakukan ini sepertinya.

Zulaikha menatap perempuan di hadapannya, bercampur antara rasa percaya dan tak percaya. Bagaimanapun, ini nyata. Adara akhirnya memutuskan membuka hijabnya.

Memang Adara sejak dulu terlihat 'berbeda' ketimbang Ibu dan dirinya. Dia memang punya kecenderungan ingin terbebas dari semua nilai-nilai. Saat Zulaikha dulu memutuskan mengenakan hijab sejak masuk Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dengan kesadaran sendiri, Adara menolak masuk ke Madrasah. Dia akhirnya masuk ke sekolah umum. Dan menjelang kelulusan SMA, dia baru menutup auratnya dengan hijab. Saat itu Ibu sudah mulai sakit-sakitan. Ternyata Ibu didiagnosa menderita tumor ganas. Zulaikha sudah menebak sebenarnya, kalau Adara merasa terpaksa menutup auratnya saat itu, untuk menyenangkan hati Ibu yang sedang sakit. Tapi melihat reaksi Ibunya yang sangat bahagia, Zulaikha tidak pernah membahas itu di hadapan Ibunya. Selama empat tahun Zulaikha berusaha mendekatkan Adara dengan Majelis Ilmu, berharap adiknya akhirnya paham kenapa sebaiknya dia menutup auratnya. Dengan harapan, dia akan merasa bersyukur telah menutup auratnya, walaupun awalnya dengan keterpaksaan. Tapi ternyata itu tidak terjadi.

Zulaikha menghembuskan nafas. "Baiklah. Tapi izinkan Mbak menasehatimu satu kali ini saja. Mbak adalah satu-satunya keluargamu yang tersisa. Dan sebelum Ibu meninggal, Ibu menitipkan kamu pada mbak. Jadi, mengingatkanmu adalah kewajiban mbak. Kalau Mbak enggak melakukannya, bagaimana nanti pertanggungjawaban Mbak di akhirat?"

Adara mengangguk pelan.

"Melihat keputusanmu hari ini, itu artinya kamu nggak percaya dengan penjelasan guru-guru ngaji kita selama ini, mengenai pentingnya menutup aurat. Betul begitu?"

Adara kembali mengangguk. "Ya. Aku masih berpikir, hijab itu hanya persoalan fisik saja. Cuma masalah kasat mata atau tidak. Kemurnian hati seseorang itu letaknya di dalam. Aku pikir, guru-guru itu hanya menyampaikan hal itu karena tercantum secara tekstual."

"Oke, kamu nggak percaya dengan guru-guru ngajimu. Lalu gimana dengan Allah dan Rasul-Nya? Apa kamu juga nggak percaya? Mbak nggak perlu menguliahimu dengan menyebut ayat-ayat atau hadits, kamu sudah tahu itu semua."

Adara terdiam sejenak. "Aku pikir, ini hanya masalah kesalahan dalam penafsiran."

"Begitu? Lalu tafsir yang mana yang kamu ikuti, Dek? Mahzab yang mana? Keempat mahzab semuanya meyakini kewajiban perempuan yang sudah baligh untuk menutup aurat."

Adara menatap lurus ke mata kakaknya. "Apa Mbak sedang berusaha memojokkanku? Apa kita akan memasuki area debat kusir tak berkesudahan?"

Zulaika menggenggam lengan Adara. "Bukan, bukan, Dara! Mbak sedang berusaha memahami jalan pikiranmu. Supaya Mbak tahu saran apa yang sebaiknya mbak berikan untuk kamu!"

Zulaika mengelus rambut Adara. "Mbak sayang sama kamu Dara. Maaf kalau kamu mendapat kesan Mbak memojokkanmu, tapi Mbak sama sekali enggak ada maksud untuk itu. Mbak cuma mau bantu kamu. Tolong dijawab pertanyaan Mbak tadi, Dara."

Adara terdiam lama.

Zulaikha menggeser posisi duduknya dan dia bicara di dekat telinga Adara sambil berbisik. "Kalau kamu enggak bisa menjawabnya, kamu harus waspada, Dara. Coba kamu tanyakan hatimu sendiri, egomu kah yang membuatmu sampai pada keputusan ini?"

"Aku merasa lebih bisa menjadi diriku sendiri, ketika aku melepas hijabku. Aku merasa nyaman seperti ini. Apa itu salah?"

"Dara, mengambil keputusan yang benar terkadang diiringi dengan rasa tidak nyaman. Kalau seorang anak kecil minta diizinkan naik ke wahana yang berbahaya, orang tua yang sayang pada anaknya pasti akan menolak permintaan anaknya. Sang anak akan berpikir kenapa dia tidak diberi kebebasan sebebas-bebasnya, sesuai dengan keinginannya. Itu karena, orang tuanya lebih paham mana yang baik untuk anaknya dan mana yang bisa membahayakan anaknya."

Adara menyipitkan matanya pertanda bingung. "Mbak, jangan membuat perbandingan yang tidak setara. Aku bukan anak kecil lagi, Mbak."

"Bukan. Mbak bukan sedang membicarakan kamu dan Mbak, tapi antara kamu dan Penciptamu. Allah Tahu, dan kita tidak tahu. Kalau seandainya saat ini kamu masih belum paham, enggak bisakah kamu setidaknya percaya bahwa Penciptamu enggak akan menyesatkan kamu? Bahwa penciptamu sangat sayang padamu. Dia ingin kamu mendapatkan kebaikan dari menutup aurat. Lelaki yang bukan muhrammu akan lebih menghargai kamu."

Adara diam.

"Dara, seandainya ... seandainya di akhirat nanti, ternyata pendapatmu yang benar, lalu apa ruginya perempuan-perempuan yang sejak akil baligh hingga akhir hidupnya menutup auratnya? Mereka enggak rugi sama sekali! Tapi gimana kalau seandainya tafsir sebagian besar ulama yang benar? Siapa yang akan merugi di akhirat nanti?"

"Maaf, aku enggak akan merubah keputusanku, Mbak."

Zulaikha menghela nafas sambil menyatukan jemarinya di tulang hidung. Wajahnya terlihat lelah. "Baiklah. Setidaknya Mbak sudah berusaha. Allah menjadi saksi kita hari ini." Dia mengatakannya sambil menegakkan jari telunjuk ke atas.

Zulaikha kembali mengamati foto Adara yang barusan diunggahnya. "Oh ... ya ampun, Dara, kamu bukan anak kecil lagi. Kalau kamu masih ngotot akan membuka hijabmu, baiklah. Itu menjadi urusanmu dengan Allah. Tapi ... foto ini ... kenapa kamu harus memakai baju seminim ini? Terus, siapa pula yang ambil foto ini? Mbak enggak pernah lihat foto kamu yang kayak begini."

Adara tersenyum. "Aduh ... Mbak kurang gaul sih. Zaman now gini, sudah biasa yang namanya pencitraan pake foto yang instagrammable. Yang ambil foto ini temenku yang jago fotografi. Itu aku foto di studionya."

Zulaikha mengernyitkan dahi. "Temenmu? Cewek? Cowok?"

"Cowok."

Zulaikha menggumamkan sesuatu dengan pelan. Adara mendengarnya samar, istigfar sepertinya.

"Dara, saran mbak, pakailah baju yang masuk kategori 'sopan.' Kamu harus sadar bentuk tubuh, dong! Lihat tubuh kita, Dara! Dari keluarga Ibu, anak-anak perempuannya biasanya punya bentuk tubuh yang ... " Zulaikha nampak kesulitan mencari kata yang pas.

Adara tersenyum geli. "Seksi? Yaelah mbak. Mau ngomong 'seksi' aja susah banget."

"Ya kamu ngertilah pasti maksud Mbak. Pintar-pintarlah menjaga dirimu dari pria-pria hidung belang."

"Oh, kalo jaga diri, aku akan bisa menjaga diriku dengan baik. Jangan khawatir, Mbak. Tapi, aku punya alasan kenapa aku seperti ini sekarang."

Zulaikha nampak heran. "Apa alasannya?"

"Aku sedang melakukan eksperimen dengan hidupku."

Mata Zulaikha melotot. "EKSPERIMEN ???" Adara hanya tersenyum mengangguk.

"Apa kamu menjadikan hidupmu dan agamamu, sebagai bagian dari eksperimen?? Untuk apa? Untuk jadi bahan lelucon??" Zulaikha berusaha tidak 'meledak' karena emosi. Darahnya sudah naik ke kepala, dan dia bisa merasakan mukanya panas.

Adara melotot kaget melihat kakaknya berteriak. "Aku enggak bercanda. Aku serius."

Dahi Zulaikha berkerut. Dia tak menyangka adiknya segila ini. Telapak tangannya ditempelkan ke kening Adara. Suhunya terasa normal.

Adara melepas sentuhan tangan kakaknya. "Aduh apaan sih, Mbak?"

"Dara, ayo ikut mbak ke pak Ustadz Somad. Beliau biasa ngusir jin pakai metode ruqyah."

Adara berdiri dengan kesal. "MBAK! AKU INI MASIH NORMAL!!"

Zulaikha ikut berdiri. Dia merasa sudah tak ada lagi yang bisa disampaikannya di sini. Dia memandangi adik satu-satunya yang sangat disayanginya. Matanya tak sanggup menahan air mata yang menggenang.

"Kalau kamu sudah selesai dengan eksperimenmu, kapan saja kamu bisa kembali pada mbak. Mbak akan menerimamu seperti apapun keadaanmu. Assalamualaikum."

Zulaikha bergegas ke arah pintu dan tak lama terdengar suara pintu ditutup. BLAM!

Adara berdiri terdiam di ruang tamu yang mendadak terasa begitu sepi setelah kepergian kakaknya.

Dia menjawab salam yang terlambat. "Wa alaikum salam."

***