SMA SINAR HARAPAN
Ara mengangkat kepala, menatap lekat papan nama yang ada di atas gerbang. Kemudian ia menarik napas, memantapkan hati, dan mendekati pos satpam yang berada persis di sebelah gerbang tersebut.
"Cintaaaaa iniiii! Membunuhkuuu!" Seorang satpam bertubuh cungkring bernyanyi keras di depan pos. Karena posisinya yang duduk membelakangi gerbang, Ara yang berjalan pelan—lebih mirip mengendap-endap—tidak disadarinya.
"Permisi." Suara Ara yang terlalu irit, atau boleh dibilang 'terlalu lembut' supaya tidak sakit hati, membuat satpam itu tidak mendengar panggilan Ara. Satpam itu malah bernyanyi semakin keras. Ia berdiri dan menggunakan walkie talkie-nya sebagai pengganti mike.
"Pak." Akhirnya Ara tepuk pundak Pak Satpam itu pelan. Seketika Pak Satpam itu terloncat kaget, lalu menoleh cepat.
Demi ikan-ikan yang berenang bebas di laut!
Si satpam itu melongo, mengamati cewek cantik di depan mata dari kepala-kaki-balik lagi ke kepala. Ara yang diperhatikan seperti itu jadi merasa canggung. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinga, semakin memperjelas pipi putih mulus yang sedikit merona karena cahaya matahari.
Setelah lewat beberapa detik, akhirnya si satpam membuka suara. "Ini beneran Keira? Keira Permatasinta yang artis itu?"
Tubuh Ara seketika menegang.
Meski Ara sering nyanyi sebagai Ira, tetapi jika di atas panggung—tidak peduli ribuan penggemar meneriaki nama Keira di hadapannya—ia tidak perlu menyahut. Yang perlu ia lakukan hanya tersenyum, dalam artian tidak mengakui sepenuhnya identitas yang diteriaki di depan wajah itu.
Namun, sekarang ia tidak bisa mengelak. Inilah tahap pertama dalam proses membuang jati diri sebagai Arana. Berlindung sebagai bayangan Ira sepenuhnya.
"I-iya, saya, Pak," jawabnya gugup. Ditendangnya jauh-jauh rasa sedih yang berani-beraninya menyusup ke hati.
Satpam itu menoleh ke kanan dan kiri. "Kameranya di mana? Ini saya lagi dikerjain, atau gimana, ya?"
"Ah, nggak, Pak. Nggak ada kamera, saya murid baru di sekolah ini."
"Murid baru di sekolah ini?" Satpam itu terpana. Beberapa saat ia hanya terpaku diam. Ara pun menggerakkan tangan di depan wajah pria cungkring itu. "Pak?"
"Ah, i-iya. Maaf, maaf. Hadeuh, nggak nyangka Keira yang asli bisa sekolah di sini. Selama belasan tahun kerja, akhirnya saya ngerasa beruntung jadi satpam!" Satpam itu nyengir. "Kalo murid baru, berarti mau ke kantor kepala sekolah, kan? Mari, saya antar," tawarnya, lalu dibalas anggukan sopan dan ucapan terima kasih oleh Ara.
Selama perjalanan menuju kantor kepala sekolah, satpam itu tidak berhenti mengoceh. Memperkenalkan lingkungan SMA Sinar Harapan layaknya seorang tour guide dalam acara pariwisata.
"Nah, kalo dari sini luruuuuuus ke situ, nanti bakal sampe ke kantin," jelas si satpam penuh semangat membara, meskipun cewek di belakang selalu memberi respon yang sama. Sekedar 'Oh', 'Hmm', bahkan sesekali cuman mengangguk yang jelas-jelas tidak mungkin dilihat si satpam yang berjalan di depan, kecuali tuh satpam punya mata ketiga di belakang kepala.
Tur dadakan si satpam akhirnya tiba di lapangan basket. Di kejauhan, Ara menangkap sosok tiga cowok berseragam SMA Sinar Harapan, sedang asik duduk di pinggir lapangan meski ia yakin saat ini jam pelajaran.
Kedua mata Ara terpaku pada mereka yang sebenarnya tidak pantas disebut siswa, karena kalau dilihat dari cara mereka berpakaian, orang-orang bisa mengira tiga cowok itu preman jalanan yang lagi nyamar jadi anak SMA!
Terutama cowok yang duduk di tengah. Kemeja cowok itu tidak dimasukkan ke celana, kerahnya berantakan dengan dua kancing teratas tidak dikancing. Ara bisa melihat kaus hitam di balik kemeja, wristband hitam di tangan kiri, serta kalung rantai yang semakin menambah kesan berandal cowok itu.
Penampilan cowok itu mengusik Ara, sangat!
Tiba-tiba cowok itu menoleh, bertubruk pandang dengan Ara. Darah cewek itu serasa mendesir cepat. Jantungnya berpacu. Mata setajam elang itu menghunus Ara, terkesan dingin. Dari jarak jauh sekalipun, Ara dapat merasakan tekanan kuat dari tatapan beriris hitam kelam itu.
Cepat-cepat Ara melarikan pandangan. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinga, kebiasaan yang ia lakukan saat merasa gugup. Kemudian, Ara mempercepat langkah untuk memperpendek jarak dengan si satpam yang ternyata sudah cukup jauh.
***
"Di sini ruangan Pak Trisna." Satpam itu menunduk sopan. Tangan kanannya terulur ke depan, menunjuk pintu cokelat di hadapan Ara. "Masuk aja, Non Keira. Tapi, jangan lupa ketuk dulu, baru buka pintunya."
Ara tersenyum sopan. Ia mengetuk pintu cokelat itu tiga kali, lalu memegang kenop pintu. Ia menatap ragu si satpam. Baru ia tarik kenop pintu itu begitu si satpam mengangguk cepat nyaris tanpa henti. "Permisi."
"Selamat datang!"
Seorang pria tua, mungkin berumur sekitar enam puluhan. Mengenakan kemeja biru serta kaca mata tebal yang membingkai wajah keriput pria itu. Ia merentangkan tangan, berdiri di tengah ruangan sambil memasang senyum merekah. "Kamu pasti Keira, kan? Ayo, silakan masuk!"
Ara menunduk sopan. Ia maju dua langkah, terpaku diam di depan pintu hingga membuat Pak Trisna tertawa renyah. "Mari, duduk."
Sekali lagi, Ara mengangguk. Kemudian cewek itu duduk dengan perlahan, rikuh, dan hati-hati, seolah-olah sofa cokelat tua di ruangan itu serapuh gelembung sabun.
"Tunggu sebentar, saya siapkan minum. Kamu mau minum apa Keira?" Pak Trisna membuka kulkas dengan semangat, menimbang-nimbang minuman terbaik yang mendiami kulkas kecil tersebut.
"Nggak usah, Pak," tolak Ara halus.
"Ah, nggak apa-apa. Kamu kan, murid spesial di sekolah ini." Pak Trisna tertawa, kemudian mengeluarkan tiga kaleng minuman dan meletakkannya di meja depan Ara.
"Saya sangat senang dengan kehadiran kamu Keira," ucapnya sambil mengambil tempat duduk berhadapan dengan Ara. "Artis muda berbakat seperti kamu masuk ke sekolah ini. Pastinya nama baik sekolah ini akan semakin melambung!"
Ara merasa tidak nyaman dengan ucapan Pak Trisna. Akhirnya, ia hanya tersenyum kaku.
Masih dengan wajah berseri dan semangat membara, Pak Trisna kembali berkata, "kamu mau masuk kelas mana, Keira? Bilang saja pada saya. Nanti tinggal saya atur."
"Bukannya kelas ditentukan dengan hasil tes masuk kemarin, Pak?"
"Memang! Tapi khusus kamu, bisa pilih kelas manapun yang kamu mau karena kamu spesial!" ucap Pak Trisna sambil kembali tertawa keras. "Kenapa kaleng minumannya cuman dibiarin aja? Ayo, diminum!"
Lagi. Setiap kata sanjungan yang keluar dari mulut Pak Trisna, membuat Ara tidak nyaman. Cewek itu kembali memaksa senyum. Tangannya mengulur, tetapi menggantung di udara saat menyadari sesuatu. "Pak, minuman ini... ada alkoholnya."
Sekali lagi, Pak Trisna tertawa. Entah memang dia lagi euforia, atau malah menertawakan Ara yang menurutnya pura-pura alim. "Ini jadi rahasia kita aja. Saya udah bilang, kan? Kamu murid spesial. Seandainya kamu ngelakuin kesalahan pun, kamu nggak akan dihukum. Kamu belom pernah coba minum bir? Coba diminum, rasanya enak!" Pak Trisna menyambar satu kaleng, membukanya, lalu menyodorkan ke Ara.
Ara mencengkram rok sekolahnya tidak nyaman. "Pak...."
"Nggak apa-apa, Keira. Nggak perlu takut. Nggak akan ada yang marahin kamu. Bahkan, sebenarnya kamu nggak perlu pusing soal nilai. Selama kamu sekolah di sini, saya pastikan kamu akan selalu jadi nomor satu."
Ara menatap pria tua di hadapannya kecewa. Seperti inikah kepala sekolah SMA Sinar Harapan? Detik berikutnya, cewek itu menggeleng cepat. Lantang. Sama sekali tidak ada keraguan di wajah cewek itu. "Maaf, Pak. Saya nggak bisa terima minumannya."
"Kenapa?"
Wajah Pak Trisna mendadak keruh. Cewek itu meringkuk takut, sadar ia sudah mengecewakan pria di hadapannya. "Soalnya... saya belum dua puluh satu tahun."
Pak Trisna menautkan kedua alis.
Lagi Ara berkata, "juga... soal perlakuan istimewa saya, tolong dicabut, Pak. Tolong perlakukan saya sama seperti siswa lain di sekolah ini." Ara menyatukan tangannya di depan mulut, posisi memohon.
Cewek itu menunduk dalam. Pak Trisna pasti marah karena dengan angkuhnya, ia menolak tawaran emas yang menggoda itu. Serasa hebat dia!
Memberanikan diri, Ara mengangkat kepala perlahan... dan ia terpana!
Yang ada di depannya kini bukan lagi pria tua penuh cengiran, seperti kesan pecicilan. Namun pria tegas penuh wibawa, menjunjung rasa tanggung jawab yang tinggi. Setiap guratan di wajah pria tua itu, mempertegas banyaknya pengalaman yang ia miliki.
Wajah Pak Trisna berubah serius. Ia meletakkan kaleng bir itu kembali ke meja, lalu menegakkan punggung. "Bagus!" Ia mengangguk tegas. "Bagus! Keteguhan hati kamu itu yang saya tunggu."
Ara melongo heran.
Pak Trisna membetulkan posisi kaca mata tebalnya. "Saya udah dengar alasan kamu sekolah di sini. Jadi seorang pengajar itu bukan hal yang mudah, apalagi murid pertama kamu ini lebih tua dari kamu. Kalo tekad dan iman kamu nggak kuat, bisa-bisa justru kamu yang terjerumus." Pak Trisna memajukan tubuhnya. Kemudian, berucap pelan dan dalam. Penuh penekanan. "Kalo tadi kamu ambil bir yang ada di tangan saya... atau menerima tawaran sebagai murid spesial, saya tegaskan kamu harus mundur!"
Ara berkedip beberapa kali. Kemudian ia tersentak, mulutnya terbuka. "O-oh! Jadi, tadi Bapak lagi nguji saya?" Ara menyelipkan rambut ke belakang telinga. Ia berdehem pelan. "Saya paham maksud Bapak. Tapi, saya kan, hanya perlu bantu teman yang namanya Rega belajar. Saya nggak nyangka harus diuji seperti ini."
"Kamu udah pernah bertemu Rega?"
Ara menggeleng pelan.
Pak Trisna bangkit berdiri, berjalan menuju lemari cokelat di pojok ruangan dan mengeluarkan beberapa kertas. "Ini transkrip nilai Rega selama dua tahun dia di kelas XII."
Ara menerima kertas yang diulurkan padanya. Seketika kedua matanya melebar, menatap tidak percaya deretan angka 0 di semua mata pelajaran. "Gimana mungkin? Nol?" Saking terkejutnya, isi hati Ara sampai keluar. "Sekalipun dia ngerjain semua ujian asal-asalan, harusnya masih ada nilai kan, Pak? 20? 30?"
"Gimana bisa ada nilai di rapor itu kalo Rega nggak pernah hadir saat ujian?"
"Kenapa dia nggak hadir? Ada masalah di keluarganya?"
"Kamu liat aja laporan yang ada di halaman sebaliknya."
Ara membalik halamannya perlahan. Seketika ia kembali melongo. Presentase absensi kurang dari sepuluh persen, jumlah pengumpulan tugas nol persen, nilai sikap nol besar.
Namun ada satu yang terisi penuh, laporan catatan ruang BK! Berisi tentang rentetan dosa yang telah dilakukan Rega di sekolah termasuk merokok, membentak guru, kabur di tengah pelajaran, dan yang terakhir... bikin bonyok anak orang!
Tiba-tiba kepala Ara berdenyut hebat. Sambil menghela napas, tubuh lemasnya luruh ke sandaran sofa. Oh My God, orang yang mesti dia bantu seorang siswa, apa jawara terminal?