Babak belur. Definisi yang tepat untuk menggambarkan kondisi wajah seorang anak lelaki kumal berusia delapan tahunan yang kini telah terpojok oleh segerombolan pria dewasa yang mengenakan setelan jas hitam seragam, lengkap dengan topi bundar mereka.
Wajah geram mereka terus saja meneror batin bocah malang tersebut. Namun yang membuat gerombolan pria berjas itu semakin geram adalah ekspresi sang bocah yang telah terpojok itu. Pupil mata kebiruan itu menatap balik gerombolan pria berjas tanpa menunjukkan rasa takut sedikitpun. Walau bocah itu tahu, bagaimanapun dia tidak akan menang melawan mereka.
Bocah lelaki itu menerjang orang terdepan dari gerombolan berjas, memukul perut bagian bawah pria itu bertubi-tubi, dengan harapan ia dapat mengalahkannya. Namun apalah yang bisa dilakukan bocah berumur delapan tahun dengan kepalan tangan yang masih kecil itu. Dengan mudah bocah itu terhempas beberapa meter ke belakang setelah mendapat tendangan telak yang mendarat di dada mungilnya.
Gerombolan pria berjas hitam itu tertawa dengan seringai mereka yang menyebalkan, menertawakan mangsa mereka yang tidak dapat berbuat apa-apa. Namun tawa itu tak berlangsung lama, saat si bocah dengan penuh kegigihan kembali berdiri, menyeka darah segar yang keluar dari mulutnya dengan tangannya dan mencoba menerjang ke gerombolan pria berjas hitam itu untuk kesekian kalinya.
"Menyerah saja, bocah. Kembalikan barang bos kami yang kau curi dan berdo'alah semoga bos kami mau mengampunimu."
Jatuh, berdarah, bangkit, jatuh, berdarah, bangkit.
Kejadian itu terus terulang, hingga sang bocah tidak lagi memiliki kekuatan untuk kembali bangkit. Melihatnya sudah terkapar, seseorang di antara gerombolan pria berjas itu mendekat, berjongkok untuk mensejajarkan posisinya dan menempelkan ujung laras pistol berjenis revolver di kepala si bocah malang itu.
"Seandainya kau mendengarkan perkataan temanku tadi, kau tidak harus menderita sampai seperti ini." ucapnya dengan nada sedikit bersimpati. Pria itupun meletakkan jari telunjuknya pada pelatuk pistol, "Sekarang jawab pertanyaanku, bocah. Apa kau mau mengembalikan arloji emas itu kepadaku dan terus bertahan hidup, atau kau lebih memilih untuk mati dengan tetap memperjuangkan apa yang berhasil kau raih dengan keringat dan darah walaupun itu bukan milikmu?"
Sang bocah yang sudah kehabisan tenaga itu menatap balik mata pria berjas yang menempelkan ujung laras pistol di kepalanya, menghirup oksigen dalam-dalam dan meludahi wajah si pria berjas. Dengan liur bercampur darah yang menempel pada wajahnya, si pria berjas pun tertawa dengan sangat lepas, membuat teman-temannya di belakang memasang ekspresi penuh kebingungan.
Pria berjas itupun menyeka wajahnya yang berlumuran liur bercampur darah itu dan memeluk erat si bocah yang sedari tadi disiksa oleh teman-temannya. Atau dengan kata lain, anak buahnya.
Pria itu berdiri dan berbalik, menatap wajah teman-temannya sambil tersenyum lebar. "Kurasa kita mendapatkan anggota baru."
Pria itu kembali menoleh ke arah si bocah, "Hey bocah? Apa kau punya rumah?"
Bocah itu menggeleng, masih menatap balik si pria berjas hitam dengan rasa ingin kembali melawan.
"Sudah kuduga, kau pasti salah satu anak terlantar dari korban perang saudara yang berkeliaran di sekitar sini. Mulai sekarang, kau akan menjadi anggota termuda kami. Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakannya, tapi kelak, aku yakin, kau akan menjadi mafia yang paling disegani. Aku bisa melihatnya dari sorot matamu."
"Urus dia. Bersihkan lukanya, beri dia makanan. Dan setelah kenyang, ajari dia semua yang perlu dia tahu." ucap pria itu sebelum berjalan meninggalkan si bocah dan teman-temannya. "Oh, dan satu lagi. Sekarang namamu adalah David Stockholm."
Si bocah yang sudah hampir sekarat itu terdiam menatap punggung pria berjas yang berjalan semakin menjauh, dengan tangan kiri yang dimasukkan ke dalam kantung celana kainnya dan tangan kanan yang dengan santai memutar-mutar pistol berjenis revolver. Bocah itu terus menatap kepergian bos para pria berjas itu hingga sebuah hantaman keras dari benda tumpul mendarat di belakang kepalanya, membuatnya terjermbab tak sadarkan diri.
"Sepertinya kita harus beralih profesi menjadi pengasuh bayi untuk beberapa tahun kedepan." ucap seseorang dari gerombolan pria berjas hitam sambil mengangkut si bocah yang sudah tak sadarkan diri itu di punggungnya bak kantung sampah tak berharga.
Seorang lainnya pun menepuk punggung pria itu. "Tenang saja. Selama ini bos tidak pernah salah menilai orang. Lagipula dia adalah Hendrick Brasco, mafia terkejam abad ini."
Dan disitulah perjalanan David Stockholm untuk menjadi mafia yang paling disegani dimulai.
*
*
**Sembilan belas tahun kemudian
*
*
Dengan tatapan yang intens, napas dan detak jantung yang teratur. Di lantai enam sebuah tempat parkir gedung pencakar langit ini David memperhatikan gerak-gerik seseorang yang berada di kamar hotel tepat dua ribu meter dari tempatnya berada melalui teropong bidik sniper-rifle berjenis CheyTac Intervention.408, senapan runduk buatan Amerika yang dapat membidik dengan tepat target dalam radius maksimal dua ribu lima ratus meter.
David menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan, mencoba menjaga detak jantungnya agar tetap tenang.
Targetnya adalah seorang pria gemuk berkepala plontos yang kini sedang bercinta dengan dua orang wanita sekaligus. Sudah sekitar tiga puluh menit David memperhatikan mereka, menunggu saat yang tepat untuk melubangi kepala si pria gemuk tersebut.
David masih berusaha mengatur detak jantungnya. Tentunya sangat sulit menjaga posisi memegang sebuah senjata berbobot empat belas kilogram di ketinggian lantai enam gedung, sambil melihat permainan three-some dari target yang ingin dibunuhnya.
Masih berusaha tetap bersabar sampai getaran ponsel mulai berusaha membuyarkan fokusnya. David berusaha sekuat mungkin mengabaikan ponselnya yang terus bergetar di saku celananya. Hingga akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Si pria gemuk--sang target--meletakkan salah satu wanitanya dengan posisi tubuh bagian depan menempel pada jendela hotel, sedangkan si pria menggaulinya dari belakang ala doggy-style. Dalam posisi itu, David bisa dengan sangat mudah melubangi kepalanya.
Masih asyik dengan posisi bercintanya, si pria gemuk menyipitkan matanya, sebuah refleks yang dilakukannya saat pantulan cahaya kecil dari teropong bidik milik David menyorot tepat ke arah pupil. Dan sedetik kemudian, yang ada hanyalah teriakan dua wanita pekerja seks komersil itu saat si pria gemuk terbaring di lantai dengan kondisi tak bernyawa, karena sebuah lubang jejak lesatan peluru baru saja terbentuk tepat di antara kedua bola matanya.
David menaruh senapannya di lantai dan mengambil ponsel yang masih saja berdering di saku celananya. Setelah menggeser ikon hijau ke atas dengan ibu jarinya, David menempelkan layar ponsel tepat di telinganya.
"Bicaralah." tanya David sambil mengepak senapan runduknya kembali ke dalam koper dengan telaten. "Suruh mereka menunggu. Lima menit lagi aku akan tiba."
David memutuskan sambungan dengan Lucy, sekretaris pribadinya. Setelah menaruh kembali koper berisi senapan buatan Amerika itu di bagasi Aston Martin DB10 seharga tiga juta seratus ribu dollar atau setara empat puluh empat miliar rupiah itu, David menekan tombol start untuk menghidupkan engine lalu menginjak pedal gas secara perlahan meninggalkan area parkir yang terletak di lantai enam itu.
Tidak butuh waktu lama hingga David tiba di depan pintu masuk sebuah gedung pencakar langit dengan logo bertuliskan Stockholm Corp. berukuran besar di bagian depan gedung. Seseorang membukakan pintu mobil David dengan beberapa orang lainnya menunduk empat puluh lima derajat kepadanya.
Suasana di dalam gedung tetap saja sama, semua orang berdiri dan menunduk empat puluh lima derajat kepada David saat ia melintas. Beberapa di antara mereka mengeluh dalam hati karena melewatkan kesempatan berharga memandang wajah adonis milik sang CEO. Lucy yang sudah sedari tadi menunggu David di depan ruang rapat pun membukakan pintu dengan sopan. Wanita berpakaian serba ketat itu menghirup udara sebanyak mungkin saat David berjalan melewatinya, mencoba menyesap aroma kenikmatan bosnya sendiri yang selalu berhasil membangkitkan gairahnya.
Walau sampai sekarang Lucy belum berhasil membuat David mau menyentuh tubuh moleknya. Rumor tak sedap yang beredar di antara para karyawan tentang CEO Stockholm Corp. adalah penyuka sesama jenis seakan tidak memengaruhi pesona sang Dewa Yunani tersebut.
David duduk di kursinya, di hadapan belasan investor yang datang dari berbagai dunia dengan tenang dan sangat profesional, memperlihatkan karisma seorang elite dunia bisnis. Membuat siapapun yang melihatnya tidak akan menyadari bahwa David Stockholm, miliuner muda berwajah adonis yang sangat dipuja oleh kaum hawa adalah seorang mafia yang paling disegani saat ini.