Wajah Emi penuh dengan kekhawatiran, karena anak pendek berambut coklat itu sudah siap untuk jatuh, Kobayashi tak menghiraukan kata-kata Emi, matanya sudah mati untuk bisa melihat dunia dengan baik lagi. Kobayashi sudah siap untuk mati, tubuhnya jatuh seirama dengan hembusan angin.
•
•
Emi tertegun, ia masih belum menerima keadaan dirinya, mengulang waktu? jangan bercanda! Pikirnya, tapi dari dalam dirinya, ia juga ingin bersama dengan teman-temannya lagi, menikmati hari dengan suka dan duka bersama teman-temannya. Emi mengerutkan alisnya, "Urgghhh!! " ia kesal, kenapa tak orang lain saja yang mengalaminya dan bukan dirinya, ia melempar bantalnya ke pojok ruangan 6×7 meter itu. Yah, mau bagaimana lagi, hal ini tak akan berhenti sampai ia berhasil menyelamatkan teman-temannya. Emi membuang nafasnya.
•
•
Emi terus menggenggam tangan Kobayashi, tangannya sudah bercucuran darah, karena terlalu lama menahan Kobayashi, dinding lancip itu menggores kulitnya, memperparah luka Emi, "U.. ucap.. kan... tolong, ber.. berte.. riaklah.." Emi sudah tak kuat lagi, "Lepaskan aku, apa untungnya kau menyelamatkan ku? Aku juga sudah ingin mati. " Kobayashi menyipitkan matanya, "Sombong.. se.. *cough*.. kali.. dirimu, yakin sekali.. *cough* dirimu.. a.. kan mas.. masuk.. surga. " Emi tersenyum sinis, "Aku tak peduli. " Kobayashi menjawabnya dengan enteng, "Tapi aku.. ingin menyelamatkan teman-temanku.. dan bersama-sama dengan mereka lagi.. " Tetesan air mata jatuh di wajah Kobayashi, matanya menatap Emi, wajah itu tersenyum dengan sangat lembut sambil meneteskan air mata, senyuman itu mengingatkan Kobayashi pada ibunya, rasanya ibunya sedang memeluk dirinya, hangat sekali.
Kobayashi menangis, namun.. ayahnya muncul dalam ingatannya, matanya kembali mati, "Kubilang, lepaskan aku. " raut muka Kobayashi menunjukkan rasa jijik.
"Emi! " seorang guru berlari ke arah Emi, ia juga berteriak meminta tolong, Emi serasa melihat malaikat, kulit guru itu sangat putih dan terlihat sangat halus, badannya memiliki proporsi yang bagus, "Emi! Jangan melamun! Ibu akan membantumu! " Emi tersadarkan, "Maaf! " *cough* batuk Emi keras sekali dan mengeluarkan darah, matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya juga mulai mati rasa.
•
•
Hari itu hujan deras, dan Emi lupa untuk membawa payung, dia terpaksa menunggu di luar gerbang sekolah. Suhu dingin itu menusuk tulang Emi, membuatnya gemetaran. Dari kejauhan, tampak seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahunan berjalan menghampiri Emi, dian membawa payung, Emi tersenyum bahagia, itu adalah Yui, paman Emi. "Paman!! " Emi melambaikan tangannya, lelaki itu mulai berlari. "Lama sekali, aku sampai gemetaran lho! " Emi menunjukkan kekesalannya, "Maaf, maaf, tadi aku harus menjemput Ishikawa, lagipula juga sudah untung aku masih ingat padamu. " Yui juga menunjukkan kekesalannya, "Hari ini akan ku buatkan paman makanan enak!! " Emi mengepalkan tangannya dan mengacungkannya ke atas, "Sadar diri, bodoh, masakanmu dibawah rata-rata, " Yui melirik pada Emi. "Yang penting makan! " Emi terlihat sangat bahagia, "Terserahlah, hari ini aku yang traktir. " Yui membuka dompetnya, hari itu dinginnya hujan muali tergeser oleh hangatnya Ramen.
•
•
"Eh? " Emi menyadari dirinya sudah tak berada di lantai 3 lagi, tapi di UKS, dia tak bangun dari tempat tidurnya, ia melirik ke sisi kanan, dan melihat Yui sedang tidur di kursi, "Paman, paman.. Paman!! " Emi berteriak, Yui sontak terbangun, "Ahh.. sialan, kau mengagetkan ku saja, " Yui memakai kacamata nya, "Kobayashi dimana? " Emi bertanya pada Yui, "Dia ada di sisi kirimu bodoh," "!!! "
"Ah! Kobayashi! " Emi sangat kaget, Kobayashi meliriknya dengan sinis, "Ah.. " Emi tersenyum, "Maaf ya. " Emi menatap Kobayashi, ia memberikan kehangatan dalam senyumannya.