Chapter 6 - Perundungan

"Besok aku sudah kuliah." jawab Nabila sekenanya.

"Loh, kok cepat sekali? Apa tak salah? Kamu baru saja menikah dan langsung kuliah besok." kata Adam menyayangkan tindakan Nabila.

"Iya Kek,"

"Kalian harusnya berbulan madu dulu baru melanjutkan kegiatan kalian masing-masing." Nasehat Adam.

"Justru itu Kakek, keadaan Leo membuatku mengurungkan niatku. Biarkan saja ya Kakek, sekarang kita fokus dulu sama psikiologis Leo." Adam sungguh tak bisa berkata apa-apa.

Karena gembira dia langsung melayangkan wacana tanpa menyadari bagaimana keadaan Leo sekarang. Ada perasaan malu di dalam hatinya.

"Ah iya juga, maafkan Kakek. Kakek terlalu bahagia saking tak sadar dengan Leo."

"Tak apa-apa Kakek, kami sangat mengerti."

🌟🌟🌟🌟

Esok harinya, Nabila bersiap-siap pergi ke kampus sedang Leo ... yang dilakukan pagi itu hanya memandang sang istri yang bersiap. "Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Nabila heran melihat guritan pandangan ganjil dari sang suami.

"Apa kau yakin mau pergi? Apa mereka tahu kalau kau--"

"Iya. Mereka tahu kalau aku cacat tapi tak ada salahnya menjadi cacat, bukan? Kenapa harus ragu dan kau bukankah kau seharusnya pergi bekerja?" Lagi-lagi keraguan berada di mata Leo.

"Jangan sedih begitu, pergilah kalau kau masih belum merasa nyaman pakai topeng saja." Leo mengerjapkan matanya. kenapa dia tak kepikiran ya?

Segera saja dia mandi dan bersiap-siap menuju kantor. Wangi parfum maskulin Leo menyeruak di ruangan yang sama dengan Nabila. Wanita itu menoleh dan tersenyum manis melihat penampilan rapi sang suami.

"Nah begini dong jadi ganteng." celetuk Nabila sambil ikut merapikan jas yang dipakai oleh Leo yang sebenarnya tak kusut lagi.

Leo menatap dirinya ke cermin dan melihat pada wajah sebelahnya yang rusak. "Tak seluruhnya." gumam Leo lemah.

Nabila melihat raut wajah kesedihan yang ditampakkan oleh Leo dan lantas mengarahkan wajah sang suami agar menatapnya. "Jangan begitu, ayo pakai topengmu kita akan pergi bersama-sama."

Leo patuh dan ikut saja ketika Nabila menggandeng tangannya untuk turun sarapan. Setelahnya baru mereka pergi bersama-sama dengan mobil yang sama. Karena Leo masih trauma maka mereka diantar oleh supir pribadi.

"Kenapa pasang wajah tak enak? Kau gugup ya?" Leo mengangguk.

"Aku takut. Apakah mereka bisa menerima penampilanku yang seperti ini?"

"Jangan berpikiran hal yang aneh. Tenangkan dirimu dan percayalah semuanya akan baik-baik saja." Akhirnya mobil berhenti tepat di depan kampus Nabila.

Wanita itu keluar setelah menenangkan Leo. Dia terus melangkah maju masuk ke gerbang kampus. Pada mulanya baik-baik saja tapi semakin lama kaki palsunya bergoyang. Langkahnya sedikit tertahan dan buru-buru menuju tempat duduk terdekat tetapi kaki palsu Nabila semakin goyah.

Nabila terjatuh ke tanah. Kaki palsunya terlepas dari bagian lutut. Segera saja Nabila memosisikan dirinya duduk dan berusaha menggapai kaki palsunya. Dia juga meminta bantuan dari orang-orang di sekitarnya tetapi mereka hanya melewati Nabila tanpa menoleh sedikit pun.

Untuk sesaat Nabila termenung, melihat reaksi orang yang adalah teman-teman sebayanya tak menolongnya. Hati Nabila layaknya dihujam seribu pisau karena hal itu. Tiba-tiba saja tubuh Nabila terangkat.

Ditolehnya pada orang yang menolong dirinya. Dia adalah ketua dari ekstrakulikuler MAPALA, Marco. "Apa kau mau jatuh?" tatapan menusuk dan pertanyaan itu membuat Nabila tersadar lalu melingkarkan kedua lengannya di sekitar leher Marco.

Pria itu membawa Nabila ke tempat yang bagus untuk duduk lalu mengambil kakinya. "Belilah kaki baru yang ini sudah rusak." kata Marco ketus.

"Iya terima kasih." Nabila memakai kaki palsu lagi dan kali ini dia memastikan bahwa kakinya itu tak akan terlepas. "Kenapa kau masih berdiri di situ?" tanya Nabila pada Marco yang masih berdiam diri.

"Terserah akulah. Cepatlah masuk nanti kelas akan dimulai." Nabila patuh dan berjalan cepat masuk ke bangunan kampus sedang Marco mengikutinya dari belakang.

Tatapannya terus terpusat pada Nabila sampai di kelas Nabila dan berjalan ke kelas sendiri tanpa peduli dengan ucapan seorang gadis yang ceplas-ceplos padanya padahal agak lama si gadis bersamanya dan mengobrol tanpa ada sahutan dari Marco.

Karena kesal si gadis lantas masuk ke kelas Nabila. Di juga menggebrak meja Nabila yang sedang asyik membaca buku. "Jessica, ada apa?" tanya Nabila ketika dirinya mendongak menatap si gadis yang tengah marah itu.

"Aku sudah bilang jauhi Marco kenapa kau keras kepala sih?" Nabila mengerutkan dahi.

"Jauhi Marco? Untuk apa?"

"Ya karena aku suka sama dia. Ketika kau ada itu, Marco selalu memperhatikanmu. Aku sampai heran sendiri, apa sih kelebihan kamu sampai-sampai dia suka lihat kau yang cacat ini, wajahmu tak cantik pula...." ujar Jessica sambil melirik tak suka pada Nabila yang sekarang hatinya terluka.

Nabila tahu akan kekurangan dirinya yang sama sekali tak sempurna tapi dia juga punya harga diri. Harga diri yang selalu terluka karena ejekan dari teman kuliahnya, tapi dia memilih untuk membalasnya dengan senyuman sama seperti yang dia lakukan kini.

"Ya aku tahu, aku akan mencoba untuk menjauhinya."

"Nah gitu dong, awas ya aku lihat kau sampai bersama dengan dia lagi." Jessica pergi meninggalkan Nabila yang tersenyum hambar. Kehidupannya selalu seperti ini, dia dipandangan sebelah mata dan tak dipedulikan meski Nabila meminta tolong.

Apakah selamanya akan seperti ini?

🌟🌟🌟🌟

Mobil Leo berhenti tepat di depan terminal yang mana adalah tempat Nabila menunggu. "Apa kau sudah menunggu lama?" Nabila menggeleng ketika dirinya masuk.

"Oh iya Nabila, aku senang sekali karena ternyata orang-orang tak mencemoohku karena penampilanku. Mereka bilang aku tampan memakai topeng ini," Nabila tersenyum. Ada kemajuan pada Leo.

"Itu bagus."