Chereads / WEDDING DRAMA / Chapter 3 - Lelaki Asing di sampingku

Chapter 3 - Lelaki Asing di sampingku

Bukannya mengguncang tubuh lelaki itu dan meneriakinya sebagai pemerkosa atau apa, Farina justru berjingkat penuh hati-hati menuruni tempat tidur. Dia tidak ingin lelaki itu terbangun dan memergokinya dalam keadaan tanpa busana.

Farina buru-buru memunguti pakaiannya di lantai begitu ujung kakinya menyentuh karpet. Dia berlari kecil tanpa suara menuju kamar mandi untuk mengenakan semua pakaiannya.

Dengan tangan bergetar, Farina menutup pintu kamar mandi rapat-rapat. Dia bersandar sejenak di balik pintu, menghirup udara dalam-dalam seraya memejamkan matanya yang basah. Dia berusaha menenangkan dirinya, mengumpulkan kesadarannya secara penuh dan berpikir apa yang lebih baik dia lakukan sekarang.

Farina tak sadar tubuhnya merosot perlahan di balik pintu. Dia terduduk lemah di lantai kamar mandi. Punggungnya menempel pada pintu, sementara kepalanya menghadap ke atas, menatap lampu kamar mandi yang terlihat berpendar-pendar dengan bengis di penglihatan Farina yang buram karena air mata. Dia mendekap pakaiannya erat-erat di dada, seakan gumpalan kain itu memberinya ketenangan batin dan kejelasan yang dia butuhkan saat ini.

Pantas saja, Farina menyadari lirih, aroma parfum ya dihirupnya semalam dari tubuh lelaki itu sama sekali bukan wangi Masaji! Dan setelan jas itu _ demi Tuhan! Sejak kapan Masaji pakai jas ke kantor? Seharusnya Farina bisa berpikir jernih semalam. Sudah jelas orang itu bukan kekasihnya!

Bagaimana mungkin ini terjadi? Tidak....

Tidak mungkin.....

Isakan Farina merajalela. Kini wajahnya tertunduk. Dia membekap dirinya dengan pakaiannya untuk meredam suara tangis yang menjadi-jadi.

Dalam pikirannya beterbangan segala impian Farina yang kian musnah. Malam yang indah bersama Masaji. Malam yang seharusnya indah. Malam yang seharusnya bersama Masaji.

Tetapi justru dia menghabiskan malam bergairah itu dengan lelaki asing yang tidak dia kenal. Dia membiarkan tangan lelaki itu menjamahnya. Dia membiarkan lelaki itu memilikinya semalam suntuk dan berkuasa penuh atas dirinya.

Air mata Farina bercucuran semakin deras. Dia bergidik kencang. Jijik. Farina merasa begitu jijik pada dirinya sendiri. Dia bahkan tidak layak lagi untuk menemui Masaji. Dia sudah kotor, hina, dan berkhianat. Farina bahkan tidak layak lagi untuk dirinya sendiri.

Gaun merah muda yang digunakannya untuk membekap wajahnya kini sudah belepotan air mata. Namun hal itu tidak menghentikan tangis Farina. Farina melirik shower tak jauh dari dirinya. Percuma, pikirnya. Membasuh diri dengan berliter-liter air seperti adegan pasca-pemerkosaan di film-film tidak akan menghapus siapa dirinya. Memandikan dirinya dengan menggosok kencang-kencang hingga kulitnya terkelupas pun tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.

Farina Alya Pramesti tetaplah perempuan kotor. Dia tetaplah perempuan tidak punya harga diri yang tidur dengan lelaki tak dikenal. Dia tetaplah perempuan yang sudah mengkhianati kekasihnya dan membiarkan lelaki asing merenggut kegadisannya.

Ya Tuhan, jerit Farina dalam hati. Kalau saja ada yang bisa dia lakukan untuk meniadakan segala peristiwa semalam, dia akan melakukannya. Dia bersedia melakukan apa saja asalkan dia kembali seperti sediakala. Farina yang biasanya. Farina milik Masaji. Farina yang masih suci dan murni.

Cukup, Farina menegur dirinya. Semua sudah terlanjur, sudah terjadi. Dia tidak boleh membiarkan berjam-jam lewat begitu saja hanya dengan duduk di lantai dingin kamar mandi sambil menangis.

Dia harus segera mengenakan pakaiannya dan pergi dari hotel terkutuk ini sebelum lelaki misterius itu bangun. Dia harus segera pergi meninggalkan mimpi buruk ini dan kembali pada kehidupannya yang entah masih ada atau tidak.

Farina bangkit dan tergesa memakai pakaian dalam dan gaunnya. Gaun itu tidak cantik lagi. Farina tidak cantik lagi dalam gaun itu. Yang ada kini hanya perempuan muda bermata sembab yang wajahnya menunjukkan proses keras pada kehidupan dalam ketidakberdayaan. Menyedihkan.

Takut-takut, Farina menatap dirinya di cermin kamar mandi. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, dia membenci dirinya sendiri. Menatap wajahnya sendiri membuatnya tercekat. Seakan ada orang yang mencekiknya.

Perempuan bodoh, batinnya mengutuk diri sendiri. Perempuan bodoh!

Farina buru-buru balik badan dan berjinjit keluar dari kamar mandi. Dia harus kabur tanpa membuat lelaki brengsek itu terbangun. Pelan, Farina menarik pintu kamar mandi, membukanya sedikit. Yang penting tubuhnya bisa menyelinap keluar.

Di ambang pintu, ia melihat rupanya lelaki itu sudah terbangun, dan sedang duduk bersandar bertelanjang dada di ranjang. Seperti sudah menunggu-nunggu Farina. Lelaki itu menatap Farina dalam-dalam. Sialan.

Baru Farina menyadari betapa rupawannya lelaki itu. Tapi seberapa gantengnya lelaki itu, ia sudah merenggut kehormatanku! Seharusnya ia di hukum, digebuki, dikeroyok, atau apa saja. Yang penting bisa membalaskan kebencian Farina terhadap lelaki itu.

Farina langsung membuang muka. Perasaannya campur aduk. Antara ingin melabrak, murka, tapi sekaligus juga malu, pilu. Ia bisa merasakan parasnya panas dan memarah, pasti karena menahan marah sekaligus air mata.

Lelaki ini telah merenggut satu-satunya harta miliknya yang paling berharga sebagai perempuan. Harta yang ingin ia persembahkan kepada kekasih yang di cintainya.

Dengan hati teriris, Farina merapatkan bajunya, tidak ingin lelaki itu dapat melihat lagi satu mili pun dari tubuhnya.

"Mengapa? " Farina meradang.

"Mengapa kamu tega melakukannya pada saya? "

Bukannya menjawab, lelaki itu malah mengambil buku dari tas kerja yang berada di meja di samping ranjang. Ia tampak terburu-buru menulis lembar kosong, lalu menyobek secarik kertas yang di tulisnya, mengulurkannya ke arah Farina. Ternyata selembar cek yang ditulis dengan angka belakang 0 yang berderet-deret.

"Anggap sebagai gantinya," kata lelaki itu.

Ingin rasanya Farina menampar lelaki itu. Tanpa menyentuh sedikit pun kertas itu, Farina membalas tatapan lelaki itu dengan emosi.

"Brengsek! Laki-laki bejat!" semprot Farina geram. "Kamu sudah merenggut kehormatan saya, tidak akan pernah sebanding harganya dengan nilai uang yang kamu tawarkan! " Farina menyambar tasnya, dan berlari meninggalkan kamar itu.

Lelaki itu sama sekali tidak mirip Masaji.

Kenapa Farina bisa berpikir bahwa semalam dia bercinta dengan Masaji? Kenapa Farina merasa bahwa dia melihat Masaji_bahwa dia bersama Masaji?

Jangan-jangan... Farina berada dalam pengaruh obat semalam?

Obat apa? Aku tidak mengkonsumsi obat apa pun, Farina menghalau pikirannya sendiri sementara dia berjalan ke arah pintu keluar. Farina memakai sepatunya dan sepelan mungkin membuka pintu kamar.

Tidak ada obat yang aku minum, Farina masih berusaha menguak segalanya.

Sungguh tidak masuk akal bila dia yang dalam keadaan sadar akan salah mengenali lelaki itu sebagai Masaji. Farina jelas sudah hafal wajah Masaji. Kebersamaan mereka selama delapan tahun tidak akan berbohong, bukan?

Ada yang tidak beres, Farina membatin sementara dia melangkah di koridor hotel depan kamarnya. Dia harus mencari lift, segera turun dan meninggalkan tempat ini.

Ada yang tidak beres, Farina mengulang terus dalam hati. Batinnya tidak bisa tenang.

Begitu pintu lift yang membawanya turun perlahan terbuka, pandangan Farina terpusat pada kafe hotel tak jauh darinya. Kafe yang semalam dikunjunginya. Kafe tempat dia menyesap nikmatnya minuman_ tunggu! Minuman itu....

Jantung Farina berdegup cepat. Detaknya begitu kencang seakan sanggup menghancurkan si jantung itu sendiri. Farina mengatur napasnya yang mendadak memburu ganas. Minuman itu! Ya, minuman itu....

Farina ingat bagaimana pandangannya suram dan tubuhnya terasa panas tidak lama begitu dia menenggak minuman itu. Apakah ada sesuatu yang terlarang yang diracik ke dalam minumannya semalam? Apakah ada sekelompok yang sengaja menjebaknya? Sengaja meracuni dengan obat tertentu, membuatnya terangsang dan mabuk kepayang hingga tidak mengenali siapa lelaki yang menidurinya? Tidak _ lebih parah lagi, Farina bahkan merasa bahwa lelaki itu adalah pacarnya sendiri. Obat itu_ apa pun namanya_ telah membuatnya berhalusinasi, sedikit banyak.

Pasti, Farina membatin, yakin. Pasti ada yang sengaja melakukan semua ini padanya. Tapi siapa? Jantung Farina sudah merosot hingga ke perutnya. Dia merasa sepasang kakinya begitu lemah, melangkah tidak stabil ditopang sepatu hak tingginya yang malah memperburuk keadaan. Napas Farina semakin menggebu.

Aku harus mencari jawabannya, Farina mengedarkan pandang sembari mendekati kafe itu. Sutan. Ya, aku harus menemukan bartender itu. Dia yang membuat minuman untuk Farina. Sudah pasti dia melakukan perintah dari seseorang untuk meracuni Farina dengan obat tertentu. Dengan langkah tergesa, Farina mendekati pintu masuk kafe. Seorang petugas membukakan pintu untuknya.

"Selamat pagi, Mbak," Sapa petugas itu ramah, senyum murni sekali. Seakan pagi ini adalah hari baru yang sangat cerah baginya. Ya tentu saja, pagi ini adalah hari baru yang menyenangkan bagi semua orang. Kecuali Farina.

"Sutan," sahut Farina di sela deru napasnya yang menggebu tak beraturan.

"Sutan, saya cari Sutan, Mas." Kalau tidak mengendalikan dirinya, Farina sudah hampir mencekeram kerah kemeja petugas itu.

"Maaf, Mbak," petugas menjawab sopan, "Sutan sudah pulang, dia sedang tidak bertugas hari ini."

"Tidak bisa," Farina menggeleng cepat, rasanya dia nyaris menangis. "Saya harus ketemu sutan!"

"Mohon maaf, Mbak, sutan tidak ada disini," petugas itu masih tampak begitu sabar. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Carikan Sutan, " Farina mendekati petugas itu dengan wajah memelas, "tolong cari Sutan mas? Tolong saya, ini penting, Mas! Penting sakali! "

"Mbak_ maaf, Mbak harus tenang_

"Saya tidak bisa tenang! " Farina membentak, di luar kendalinya. "Ada kejahatan disini, Mas! Di hotel ini! Dan saya perlu bicara dengan Sutan! "

Petugas itu menahan lengan Farina yang mulai memberontak tak kenal kondisi dan situasi. Farina mulai histeris. Enak saja! Sutan sudah pulang, dia bilang?! Manusia itu tidak bisa pulang dan tidur seenaknya seolah tidak terjadi apa-apa! Ada peristiwa besar disini dan dia sudah pasti terlibat! Sutan harus bertanggung jawab. Dia hanya bertemu Farina sekarang juga dan memberi tahunya siapa orang di balik semua ini. Dan siapa lelaki yang tidur di kamarnya itu!

"Maaf, Mbak, bila Mbak punya urusan dengan Sutan di luar profesinya sebagai karyawan hotel ini, silakan Mbak selesaikan di tempat lain. Saya_"

"Tidak, Mas! Ini berkaitan dengan hotel ini! Minuman saya_Sutan sudah meracuni minuman saya semalam!" Farina berseteru. Dan tidak dia sangka, seruannya barusan membuat beberapa orang yang sedang sarapan di sana pun menoleh.

Si petugas langsung sigap mengamankan Farina ke luar kafe. "Tolong, Mbak, jangan bikin kegaduhan di sini. Banyak tamu kami yang _"

"Saya tidak peduli pada tamu anda!" Farina melepaskan diri dari petugas itu.

"Saya mau bertemu Sutan sekarang. Dia sudah meracuni saya!"

"Mbak, tolong jangan mengatakan apa pun yang belum ada buktinya. Perkataan Mbak. Bisa sangat mengganggu reputasi hotel kami, dan mengganggu tamu-tamu kami yang lain. Mbak bisa dituntut.

"Mas_" Farina kehabisan kata-kata. Bibirnya bergetar.

Dia sangat malu harus mengaku diperkosa ataupun hal lain yang menyangkut masalah seksual disini. Lagipula, siapa pun akan menertawainya bila mendengar bahwa ia bercinta semalam suntuk dengan seorang laki-laki yang dia kira kekasihnya padahal bukan. Bahkan jelas-jelas tak ada paksaan sama sekali dalam hubungan seks mereka semalam. Farina melakukan semuanya dengan senang hati, karena dia mengira pasangannya adalah Masaji. Dan tidak ada seorang yang akan mempercayai ceritanya. Farina hanya akan di kira wanita gila.

Kini Farina serba salah. Dia menggigit bibirnya dengan gugup, lalu menatap lekat petugas di hadapannya. Nadanya kini dalam, intens. "Saya harus bertemu dan bicara dengan Sutan. Saya tidak bohong, Mas. Ada yang salah dengan minuman saya semalam. Saya_"

"Ada apa ini, Mas?" Seorang pemuda berusia 30-an dengan perawakan gagah muncul dari dalam kafe, menghampiri pria petugas. Sepertinya dia adalah manajer kafe ini. "Saya mendengar Mas ini bicara aneh-aneh mengenai kafe kita?"

"Ya, Pak Ferry," petugas itu mengangguk.

Si manajer yang di sebut Ferry itu menghadap Farina dengan pandangan tak kenal gentar. "Mbak, maaf sebesar-besarnya bila ada pelayanan kami yang tidak memuaskan. Tapi bila Mbak berkata-kata tanpa bukti, kami bisa memperkarakan Mbak. Saran saya, Mbak segera pulang sebelum kami terpaksa memanggil security untuk mengantar Mbak ke pintu keluar hot."

Ucapan Ferry membuat segala gerakan Farina terhenti. Begini rupanya. Begini cara mereka memperlakukan orang yang berdiri di posisi menentang mereka, hanya karena Farina ingin mencari kebenaran. Farina menahan isak tangisnya yang sudah hendak membuncah. Dia terpaksa mengangguk dan melangkah mundur, menjauhi Ferry dan petugas yang sama sekali tidak membantunya itu.

Farina berjalan lunglai di lobi hotel. Dia bermaksud untuk segera memanggil taksi di depan hotel, sambil berusaha menghubungi Ranggita. Nada sambung, tapi tidak di angkat. Berkali-kali Farina mencoba lagi, sama saja. Ranggita tetap tidak menerima.

Tolong angkat teleponnya, Ranggita, desah Farina sedih. Aku tidak tahu ke mana harus mengadu. Tolong aku.

Hampir putus asa Farina mencoba menghubungi Ranggita, mungkin puluhan kali, sampai akhirnya terdengar suara Ranggita di seberang sana.

"Halo..." Suara Ranggita terdengar datar.

"Ranggita!" pekik Farina menumpahkan kesedihannya. "Tolong aku! Aku baru saja diperko...."

"Ada apa Rin?" Ranggita memotong, santa saja menanggapi Farina yang panik. "Aku baru saja mendarat di bandara. Masih ribet mengurus bagasi."

Seberapa sibuknya sampai kamu tidak mau menolong sahabatmu sendiri? Batin Farina gusar. Sampai tidak punya waktu untuk mendengarkan pengaduanku?

"Kamu bisa temui aku sekarang, kan, Gi? Please.... aku butuh pertolonganmu."

"Nggak bisa ditunda?" Ranggita terdengar cuek.

"Ada hal penting yang harus kuceritakan ke kamu. Aku tidak tahu ke mana lagi harus cerita."

"Sebentar saja, ya?" sahut Ranggita tidak tergugah. "Aku harus nemui kamu di mana? Bagaimana kalau di Pandora? Aku coba mampir. karena habis itu aku harus segera ke venue untuk gladi resik."

KLIK. Sambungan ditutup Ranggita.

Mengapa Ranggita seolah berubah begini? Pikir Farina bingung. Seperti bukan sahabatnya.

Namun Farina tidak sempat lagi memperhatikannya. Sesuatu dalam perkataan Ranggita tadi justru menghantam kepala Farina, seperti batu raksasa tak kasat mata. Bandara.

Tentu saja, Masaji harusnya berada di bandara sekarang. Lelaki itu akan segera terbang. Kenapa tidak ada kabar dari Masaji sama sekali di ponsel Farina?

Farina memeriksa ponselnya lagi. Tidak ada panggilan tak terjawab dari Masaji. Tidak ada pesan. Ada apa ini? Kenapa lelaki itu tidak mencarinya? Harusnya Masaji merasa ada yang janggal ketika Farina tidak bermalam dengannya, seperti yang mereka janjikan. Harusnya Masaji merasa aneh Farina tidak ikut mengantarnya ke bandara, seperti yang telah mereka sepakati. Ada apa ini? Kenapa justru Masaji menghilang begitu saja dari kehidupannya?

Atau... malah lebih baik begitu?

Farina tidak bisa membayangkan bila dia harus mengakui semua perbuatannya pada Masaji. Bahwa dia telah memberikan kesuciannya untuk lelaki lain yang bahkan tak dikenalnya. Masaji tidak akan sudi bertemu dengannya lagi.

Namun tidak mungkin mereka tidak akan bertemu lagi kan? Masaji adalah cinta sejati Farina. Farina akan berusaha mempertahankan hubungannya dengan Masaji, apa pun yang terjadi.

Tapi bila keadaannya seperti ini, memangnya apa yang bisa Farina lakukan?

Farina merasa pening. Kepalanya berdenyut-denyut, membuatnya sakit. Dia tidak sanggup lagi memikirkan semua ini. Dia tidak tahu lagi, apa yang sedang dia alami. Semuanya terasa tak nyata. Seperti mimpi. Mimpi yang sangat buruk.

Mungkin Ranggita punya jalan keluar yang lebih baik. Farina harus bertemu dengan Ranggit sekarang. Ia segera melambai, memanggil taxi.

Bersambung.....