Chereads / WEDDING DRAMA / Chapter 4 - Lelaki Asing Di Sampingku(II)

Chapter 4 - Lelaki Asing Di Sampingku(II)

Pandora Bar, Jakarta Selatan

Tempat ini terlihat berbeda di pagi hari. Tanpa lilin-lilin dan tanpa lampu temaran yang mempercantik bar ini di kala malam. Namun sebaliknya, Pandora Bar terlihat cozy dan menenangkan dengan sentuhan cahaya matahari.

Ketika Farina tiba di tempat itu, dia melihat Ranggita di salah satu meja. Sudah duduk nyaman dan asik menyesap kopi hangat. Di mejanya ada seporsi crepe dengan olesan cokelat. Tampak lezat. Kalau saja Farina dalam keadaan baik-baik saja, dia pasti sudah menginginkan makanan itu lebih dari apa pun. Tapi bagi Farina yakin dia tidak bisa memasukkan apa pun ke dalam mulutnya. Dia terlalu mual untuk mengunyah apa pun.

"Gi...." Farina berlari menghampiri Ranggita. Tidak tahan lagi untuk menumpahkan kesedihannya. Namun tak ada suara yang muncul dari tenggorokannya. Seluruh tubuhnya begitu kering.

Melihat kedatangan Farina yang tampak tidak karuan, Ranggita hanya menatap sekilas.

"Kopi?" Ia mengangkat cangkir, terlihat hanya berbasa-basi. Lalu ia meneguk sendiri kopinya, menikmati sekali. "Bagaimana semalam? Menyenangkan?" Tawa Ranggita berderai, terdengar ganjil.

Farina sampai memandang heran.

"Duduklah dulu," Ranggita mengarahkan dagunya ke arah kursi di hadapannya. Farina duduk, sesuai arahannya. "Kamu kelihatan kacau banget. Pesan minuman gih...."

Benar Farina menyetujui dalam hati. Dia bahkan tidak pernah sekacau ini.

Ranggita meraih tas hobo hitamnya dan merogoh sesuatu dari sana. Farina sekilas melihat Ranggita menarik keluar tempat make up. Baginya lebih penting untuk memulas bedak dan lipstik daripada harus memberi perhatian kepada Farina.

"Terima kasih ya untuk semalam."

"Hah?" Farina mengernyit memandangi Ranggita. Dahinya berkerut. "A_apa maksudnya, Gi?" Farina benar-benar tidak paham. Dari semula ingin menceritakan peristiwa yang dialaminya semalam, ia malah jadi mencermati ekspresi Ranggita yang janggal.

"Terima kasih atas jerih payahmu," Ranggita mencondongkan tubuh ke depan, mendekati Farina. Dia memelankan suaranya, "Karena sudah menemani Dexter semalam."

"A_apa?" Farina merasa ingin muntah saking mualnya. Dia merasa seperti tersesat. Dia bukan berada di dunianya. Bukan menjadi dirinya. "De_Dexter? Siapa? Semalam?"

Ranggita menaikkan sebelah alisnya, tampak heran sepintas. "Kamu nggak tahu kalau yang bersamamu semalam itu bukan Masaji?"

"Ya, aku tahu. Aku_" Farina merasa tercekat. "Kenapa kamu bisa tahu itu? Aku bahkan belum bercerita apa-apa, tapi_"

"Aku yang mengatur semuanya, Rin," ujar Ranggita dalam-dalam. Suaranya seperti lorong misteri bagi Farina.

Lorong misteri menuju gerbang suatu tempat yang gelap gulita. Tak ada penerangan apa pun, bahkan setitik cahaya kunang-kunang pun tidak ada. Seperti isi kepala Farina sekarang. Kosong. Gelap. Kebingungan.

"Apa maksudmu, Gi?"

Ranggita menarik napas. "Yang tidur bersamamu semalam adalah Dexter. Kekasihku."

"Apa?" Farina menyeruakkan bisikan lirih. "Kekasihmu? Tapi_ kenapa? Untuk apa? Dan kenapa kamu melakukan semua ini, Gi?! Kamu menjebakku?! Untuk apa?! Demi Tuhan, Gi_"

"Tenang, Rin, tenang," Ranggita berusaha meraih lengan Farina di depannya.

"Bagaimana aku bisa tenang?!" Napas Farina menggebu. "Jadi kamu bersekongkol dengan Sutan? Kamu yang menyuruhnya memberi obat di minumanku?!"

"Dengar penjelasanku dulu, Rin."

Farina menggeleng .Dia benar-benar mual. Pusing. Jadi malapetaka yang dialaminya ini ulah Ranggita? Ulah temannya sendiri_ yang dia pikir begitu perhatian padanya? Ya Tuhan! Farina tidak sanggup menampung informasi apa-apa lagi sekarang. Semua omong kosong ini seakan menghantamnya persis di tengah kepalanya. Bagaikan besi puluhan ton yang meremukkan tubuhnya dalam seperkian sekon.

"Sejak beberapa minggu lalu, Dexter dan aku sudah merencanakan untuk staycation di Magnum Hotel. Kami berencana bermalam bersama di presidential suite," Ranggita berujar cepat, "Tapi ternyata, seminggu menjelang hari H, aku baru tahu kalau aku nggak akan bisa menemaninya di malam yang kami sepakati."

Farina diam tanpa ekspresi. Pandangannya hampa, menatap sudut bar tanpa gairah. Suara Ranggita terdengar seperti dengung kumbang yang semakin membuat kepalanya pening, tapi tidak bisa dia hentikan begitu saja.

"Aku ada show penting di bali. Sangat penting buat karier modeling-ku, Rin. Tapi aku nggak bisa membatalkan semuanya begitu saja_Dexter paling benci cancelation. Jadi aku harus memberinya kompensasi, untuk mencegahnya marah padaku. Bahaya banget kalau dia marah, tahu...."

Mata Farina menatap Ranggita nanar. "Kompensasi? Dan aku kamu jadikan kompensasi itu? Gila kamu, Gi!"

Ranggita menelan ludah. Lalu dia memaksakan sebuah senyuman. "Maafkan aku, Rin, aku_aku mendapat ide itu ketika kamu bercerita tentang rencanamu bermalam dengan Masaji. Dan akhirnya aku_"

"Dari sekian banyak teman-teman kamu, yang sesama model, artis, atau apa pun, yang lebih masuk akal untuk kamu jadikan kompensasi buat pacar kamu, kenapa kamu pilih aku, Gi?!" Suara Farina meninggi, memotong Ranggita sengit. "Kenapa kamu pilih aku untuk kamu hancurkan?!"

"Hancurkan?" Ranggita menepuk dahinya, seolah mendengar sesuatu yang konyol dari mulut Farina. "Apanya yang aku hancurkan, Rin? Justru aku memberi kesempatan padamu untuk memiliki pengalaman seks pertama yang lebih sensasional, ketimbang hal mainstream seperti bercinta dengan pacar long term_mu sendiri. Basi." Kemudian Ranggita mendengus kecil, menatap Farina seakan-akan temannya itu adalah anak kecil yang sangat naif. "Ini hanya soal seks, Rin. Bukan hidup dan mati. Ini nggak menyangkut nyawa keluargamu, nggak membahayakan pekerjaan dan rezekimu. Jangan berlebihan, Farina."

"Berlebihan? Aku berlebihan?!" Farina merasa ingin sekali menarik rambut Ranggita saking kesalnya. Ranggita sudah merusak hidupnya dan sekarang perempuan itu menuduh Farina yang bereaksi berlebihan? Ranggita benar-benar gila!

"Ya, lihat saja. Kamu marah-marah, dan kalau dilihat dari mata sembabmu, pasti kamu habis menangis gila-gilaan," Ranggita mengangkat bahu dengan cuek. "Sia-sia, Rin! Nggak perlu menangis. Zaman sekarang, orang sudah biasa melakukan one night stand. Banyak juga orang muda ibukota yang punya freinds bebefif dan sejenisnya. Jadi nggak perlu bersikap sesensitif ini mengenai kejadian semalam."

"Otakmu sudah rusak!"

"Otakmu yang mandeg, nggak bisa fleksibel mengikuti perkembangan zaman," Ranggita menangkis Farina santai sambil menyesap kopinya. "Ini bukan pertama kalinya aku menghadiahi Dexter seorang perempuan yang bukan diriku. Aku nggak keberatan dia tidur dengan wanita mana pun, selama hatinya adalah milikku. Begitu juga sebaliknya."

"Kalian sinting! Kamu sinting! Dan aku bukan hadiah, Gi! Aku bukan barang yang seenaknya kamu hadiahkan ke orang lain! Brengsek!"

"Jangan lebay, Rin," Ranggita menggeleng, seolah dia mengasihani pola pikir Farina yang baginya terbelakang. "Biasa saja, lah. Toh kamu nggak perlu ketemu lagi dengan Dexter kalu kamu malu atau nggak suka. Dia juga pasti sudah lupa wajahmu."

"Kamu benar-benar nggak paham apa yang sudah kamu lakukan, Gi."

Ranggita menarik napas. "Aku paham banget, Rin. Makanya aku dan dexter sepakat untuk meberikanmu imbalan berupa cek. Sudah kamu terima, kan?"

"Aku nggak butuh uang kalian! Uang panas, uang haram!" Semprot Farina geram. "Jangankan menerima cek itu, menyentuhnya saja aku tidak sudi!"

"Jadi kamu maunya apa?" Ranggita akhirnya bicara sementara Farina masih bergelut dengan deru napasnya sendiri yang kian kencang.

"Aku mau segalanya nggak pernah terjadi!" Farina memekik. "Aku mau diriku yang kemarin, hidupku yang kemarin!"

"Farina_"

"Aku nggak mau tidur dengan pacarmu! Aku nggak mau membohongi Masaji! Aku nggak mau menjadi perempuan kotor seperti ini, demi Tuhan, Ranggita!" Farina bergetar. Lalu tangisnya pecah. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, sementara bahunya berguncang hebat.

Ranggita hanya mematung memandang Farina yang tenggelam dalam tangis perih. Wajahnya datar. "Well," gumannya parau, "aku nggak menyangka reaksimu sejauh ini. Bagiku, ini soal seks. Hari ini kamu tidur dengan siapa, besok kamu berhak melupakannya. Semudah itu kok. Sesederhana itu."

Farina menggeleng lemah. Dia ingin sekali membantah perkataan Ranggita yang seenak jidat itu, namun dia tak kuasa.

"Dan aku bersama Dexter sudah menawarkan imbalan bagus untukmu, Rin, tapi kami yang menolak cek itu." Perempuan itu menatap Farina tanpa rasa bersalah. "Aku nggak tahu lagi harus bagaimana sekarang."

Tidak ada jawaban dari Farina. Perempuan itu masih ditelan tangis.

"Mungkin kamu butuh waktu sendirian," Ranggita beringsut dari duduknya. "Kabari aku nanti, kalau kamu mau bicara denganku. Aku duluan, ada fashion show di Menteng." Dia lalu berdiri dan pergi melenggang dengan gaya anggunnya seperti biasa. Seperti tak ada yang terjadi.

Dari luar tampak sedan mewah mendekat, dan berhenti. Dari dalamnya muncul sosok lelaki, yang masih sangat diingat Farina. Lelaki yang telah menodainya. Dan Ranggita malah melambaikan tangan dengan mesra ke arah lelaki itu, dan berjalan ke luar mendekatinya.

Farina sampai menelan tangisnya, tak bergeser seinci pun. Tubuhnya masih bergetar sementara dia sesenggukan. Semuanya sudah terjadi, pikirnya. Tidak bisa. Keinginannya untuk kembali pada Farina yang kemarin tidak bisa terwujud. Mungkin dia harus memberi tahu Masaji semuanya....

Dengan tangan yang masih gemetar, Farina mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi nomor Masaji. Jemarinya bergetar tak karuan ketika Farina men-dial nomor.

Satu detik... . Dua detik....

Nada sambung berbunyi. Farina merasa bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Napasnya tak beraturan. Pikirannya semakin amburadul.

Apa yang harus dikatakannya pada Masaji? Apa lebih baik dia bertanya dulu pada lelaki itu, mengapa Masaji tidak mencarinya sejak semalam? Mengapa Masaji tidak menghubungi Farina sama sekali untuk mengantarnya ke bandara? Apakah Masaji sudah hendak terbang?

"Ya," Suara singkat Masaji di seberang mematikan segala pergerakan sel di dalam tubuh Farina. Bukan, bukan karena Farina baru menyadari betapa dia merindukan Masaji. Bukan pula karena Farina baru menyadari betapa dia berharap bisa merasakan dekapan lelaki itu di saat hidupnya hancur seperti sekarang ini. Namun karena suara Masaji sungguh berbeda dari biasanya.

Suara lelaki itu terdengar dingin hari ini.

"Masaji," Farina memanggilnya dengan suara tersendat, "Sayang.... Kamu_

"Ada apa?" Masaji menyela datar.

Farina terkesiap kecil. Masaji tidak pernah berbicara dengannya seperti ini. Masaji tidak pernah sedatar itu, sedingin ini. Masaji tidak pernah menyela Farina.

"Kamu di mana? Kenapa_" Farina tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tetapi dia menarik napas untuk memberanikan diri, dan melanjutkannya terbata, "Kenapa kamu nggak menghubungiku semalam? Ada apa?"

"Ada apa?" Masaji mendengus, "Bukannya seharusnya aku yang bertanya sepertiitu?"

"Maksudmu?"

"Farina," Masaji terdengar menarik napas lalu membuangnya berat, "Kamu janjian denganku di hotel itu, tapi begitu aku tiba di sana, aku malah melihatmu bergandengan dan bermesraan dengan pria lain menuju lift."

"Apa?! Farina bahkan tidak bisa bersuara. Sekelilingnya kini terasa berputar-putar seolah dia menderita vertigo parah.

"Apa kamu merasa masih layak untuk aku hubungi?" Masaji malah balik bertanya. Suaranya parau, terdengar jelas bahwa dia sangat tersakiti. "Aku punya bukti-bukti. Aku memotret semua pengkhianatanmu dengan ponselku. Tapi aku tidak perlu mengikutimu sampai ke dalam kamar, lalu menyaksikan semua yang kamu lakukan dengan lelaki itu!"

"Masaji, aku_" Kalimat Farina terputus. Apa yang harus di katakannya? Masaji benar, Farina tidak pantas berharap dihubungi lagi oleh Masaji. Sungguh sial, Masaji ternyata melihatnya bersama Dexter semalam. Masaji pasti sudah mengetahui semuanya. Dia bukan orang bodoh. Lalu sekarang apa? Apa yang harus Farina katakan?

"Sudah jelas kamu mengkhianati aku, Rin," sambung Masaji. "Kamu tidur dengan pria itu, kan?" Masaji bertanya. "Aku duduk di lobi hotel itu lebih dari dua jam untuk menunggumu keluar, tapi sepertinya kalian punya malam spesial yang sangat panjang." Suaranya seperti tikaman pisau di telinga Farina.

Farina terdiam. Dalam ingatannya kini berlompatan potongan-potongan adegan cinta yang dilakoninya semalam. Ciuman mesranya yang panjang dengan pria itu hingga Farina nyaris kehabisan napas. Cumbuan bibir lembut pria itu di segala bagian tubuh Farina. Desahan manis Farina yang menciptakan harmoni tersendiri dengan erangan si pria kala diri mereka bersatu.

Ya Tuhan, Farina membekap mulutnya sendiri. Dia sungguh pantas masuk neraka sekarang juga.

"Ya, kan? Kamu tudur dengannya kan?" Masaji mendengus penuh kekecewaan. "Kamu bahkan nggak sanggup menjawab."

Farina masih diam. Tidak mampu mengatakan yang sebenarnya.

"Aku nggak tahu kenapa kamu membohongiku sedemikian rupa, Rin," Masaji berkata dengan nada rendah. "Aku masih mencintai kamu_ perasaanku nggak berubah sedikit pun. Tapi yang jelas, aku nggak bisa menerima apa yang telah kamu perbuat padaku. Aku kecewa padamu, Rin. Ku rasa kita nggak bisa bersama lagi."

"Masaji, aku mohon dengarkan_"

"Selamat tinggal, Farina."

Tidak, Farina memohon dalam hati. Tidak! Dia tidak bisa kehilangan Masaji dalam kondisi luar biasa terpuruk seperti ini. Tidak bisa! Astaga. Tapi sungguh tidak mungkin untuk menahan Masaji tetap si sisinya setelah apa yang Farina perbuat semalam.

"Masaji!"

"Farina," suara di seberang berganti menjadi suara seorang wanita, "ini tante Johana."

Napas Farina berhenti. Tante Johana_ Ibu Masaji. Celaka. Tante Johana pasti mengetahui semuanya! Ya ampun, keadaanku tidak bisa lebih buruk lagi daripada saat ini, Farina memekik miris dalam benaknya.

"Dengarkan Tante, Farina," Tante Johana melanjutkan, "jauhi Masaji. Jangan pernah menghubungi dia lagi. Jangan ganggu kuliahnya, jangan ganggu kehidupannya lagi."

Terdengar Tante Johana berdehem menjernihkan suaranya, agar dia bisa mengucapkan sejelas-jelasnya kalimat selanjutnya untuk Farina, "Hubungan kalian berakhir sampai di sini. Titik.

KLIK. Sebelum Farina bisa mengucapkan apa pun, hubungan telepon sudah berakhir. Benar-benar berakhir.

Seperti halnya kehidupan Farina.

Benar-benar berakhir.

Bersambung....