Segalanya tak menjamin bahwa aku akan lebih baik dari pada sebelumnya. Bahkan matahari sekalipun sepertinya mengabaikan ku. Salahku, aku malah muncul di kehidupan dua orang tersayang ku, ibu dan ayah. Kalau saja, benih cinta ayahku itu bukanlah aku. Mungkin, ibu dan ayah tak akan sesakit ini menanggung segalanya. Jangan pikirkan hidupku, karena aku hanya memikirkan hidup orangtuaku.
Aku hanya hidup untuk membahagiakan mereka berdua, menebus kesalahanku karena telah muncul seenaknya, menjadi malapetaka bagi ke duanya.
Tak peduli apa yang akan terjadi, aku akan hidup keras untuk membahagiakan ke dua orang tuaku. Bahkan bila aku harus mati dengan mata terbuka, aku rela. Itu semua tak bisa dibandingkan dengan rasa sakitku saat melihat air mata ibuku mengalir, melihat tubuh ringkih ayahku dari arah belakang.
Aku tahu hinaan-hinaan itu. Hinaan yang bahkan bukan sekedar kalimat, namun pisau bagi hati orang tuaku.
Biarlah aku menjadi manusia berhati beku, yang penting sudah kulakukan yang harus kulakukan.