"Heidi, jangan terlalu lelah," ibuku menyuruhku berhenti saat aku sedang mencuci pakaian.
"Tidak ibu, apa lagi yang bisa aku lakukan selain ini?" tanyaku balik. Ibu terdengar menghela napas pelan.
"Belajar dengan baik, sayangku."
"Aku sudah belajar dengan baik, Bu," jawabku. Ibu menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu sudah pintar, kamu sudah baik, kamu patuh pada orang tua, kamu hanya perlu belajar satu hal, Heidi."
"Apa itu? Apa aku harus memanjat pohon?" tanyaku ambigu. Ibu malah terkekeh lalu mengusap pelan pucuk kepalaku.
"Bermainlah, berbahagialah semesti anak seusiamu. Bertemanlah dengan mereka," jelas ibu membuatku menggertakkan gigiku. Rahangku mengeras.
"Ibu, aku baik-baik saja tanpa mereka. Aku sudah cukup merasakan kebahagiaan hanya dengan adanya ayah dan ibu. Aku tidak perlu mereka, dan mereka tidak perlu aku."
Aku menatap tegas ke arah ibu yang menatapku sendu. Sialan, matanya berkaca-kaca karenaku. Kamu berengsek Heidi!
"Kamu masih 12 tahun, Heidi."
Setelah mengatakan itu, ibu pun pergi dari hadapanku. Aku menunduk.
"Ibu, aku tak mau mendengar nama kalian dijelekkan," ucapku membuat langkah ibu terhenti. Namun setelah itu ibu kembali melanjutkan langkahnya.
Beginilah, orang lain hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, mendengar apa yang ingin mereka dengar, mengucapkan apa yang ingin mereka ucapkan.
Tanpa tahu, bahwa perlakuannya membunuh hati seseorang. Hatiku, aku tak lagi punya simpati pada orang-orang yang seenaknya mencaci maki aku, ibu, dan ayah.
Apa salah ke dua orangtuaku hingga mereka dijejali kalimat kotor hanya karena adanya aku di luar pernikahan?
Bukankah yang terpenting adalah aku? Bukankah tak apa bila ibu mengandung di luar nikah? Bahkan ibu dan ayah membesarkanku sepenuh hati mereka. Orang-orang tidak tahu apa-apa.
"Jangan salahkan ibu bila kamu tak bisa mampu hidup sendiri."
"Ibu!"