"Kenapa ketawa-ketawa?" tanyaku pada Niko yang duduk di depanku, sore ini sepulang sekolah kami pergi ke warung soto yang baru pertama kali buka, lumayanlah, beli satu gratis satu, barang gratisan begini, sayang kalau dilewatkan begitu saja. Pasti besok-besok tidak akan seperti ini, kalau terus-terusan seperti ini tentu akan rugi.
"Gak papa, cuma lucu aja inget pas kamu bilang ke temen-temen kamu kalo aku pacar kamu" oh shit, mukaku rasanya panas, aku benar-benar malu.
"Udah sih, gak usah dibahas lagi, bikin malu aja" ujarku sambil mengalihkan mukaku dan menyedot es tehku yang sudah refill untuk kedua kalinya, gratis tentu saja.
"Sorry, tapi jujur, aku seneng banget kamu ngakuin aku sebagai pacar kamu di depan teman-teman kamu. Makasih ya" ucao Niko, membuat mukaku bertambah merah.
"Biasa aja kali, gak usah pake baper, gitu aja baper. Udah ah, buruan makannya, kamu bilang hari ini harus gantiin mama kamu jaga toko" ujarku, selain sudah tidak ingin membahas hal yang tidak perlu, juga mengingatkan Niko kalau dia harus harus segera pulang. Memang mengherankan, aku pun awalnya tidak terlalu percaya kalau dia model anak yang penurut pada orangtua.
*****
Sudah hampir jam delapan malam, aku baru saja mandi dan berganti pakaian saat tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk dari salah satu teman sekelasku.
"Halo, ada apa? " tanyaku.
"Cil, lo udah tau belum kalau si Nizar habis ikut tawuran sama SMK 1"
"Hah... serius lo?! " tanyaku terkejut. Baiklah, ini bukan pertama kalinya Nizar ikut tawuran. Dulu saat kelas satu dia sudah ikut tawuran, lalu kelas dua semakin menjadi. Baru kelas tiga ini saja dia bertaubat. Tapi kenapa tiba-tiba dia jadi berulah lagi?
"Iya, sekarang dia masih di kantor polisi, emaknya... "
tanpa mendegarkan perkataan temanku aku mematikan sambungan telepon dan bergegas turun sambil memesan ojek online. Masa bodoh sudah hampir jam malam. Dasar Nizar, memangnya tidak bisa membuat hidupku tenang sehari... saja.
Tidak sampai lima menit, ojek pesananku datang.
"Ngebut ya mas, saya buru-buru" ujarku setelah memakai helm dan duduk di belakang ojek.
Tanpa diminta dua kali, mas ojol segera memacu motornya dengan kecepatan sangat tinggi, ini abang gila atau bagaimana?
"Mas, ini kecepatannya berapa sih bang? " seruku, aku marasa nyawaku siap terbang.
"Delapan puluh mb, kurang cepet ya? kalau gitu saya tambah deh"
Gila... tadi delapan puluh km per jam dan sekarang si mas ojol sudah menambah kecepatannya lagi. Ya tuhan... aku belum siap mati...! Catatan dosaku sudah setebal skripsi sedang kebaikanku masih selembar kertas HVS.
Kami berhenti tepat di depan kantor polisi. Kakiku rasanya lemas saat turun dari motor.
"Karena promo jadi gak bayar ya mb" ujar si mas.
"Makasih mas, lain kali kecepatannya seratus delapan puluh ya mas" ujarku.
"Biar cepet sampai ya mbak? " tanya mas ojol. "Biar cepet mati! " timpalku lantas segera meninggalkan tukang ojek yang tampak bingung itu. Aku belum sampai masuk ke kantor polisi saat kulihat Nizar keluar bersama dengan ibunya. Untung saja dia belum pulang atau dia akan dihukum orangtuanya.
"Nizar, lo masih hidup? " seruku sambil berlari ke arah Nizar dan tante Ela. Mereka tampak terkejut dengan kehadiranku.
"Lo ngapain di sini? " tanya Nizar.
"Ya khawatirin lo lah, emang kenapa lagi? Kalo lo sampai mati kan gawat, nanti siapa yang bakal traktir gue? Eh, tante, maaf banget gak nyapa tante dulu, habis saya khawatir banget sama Nizar. Tante jangan marahin Nizar ya, ini gara-gara saya gak jagain Nizar dengan benar... " kataku pura-pura baru sadar dengan keberadaan tante Ela." "Aslinya tante pengen menghukum dia, tapi karena nak Cecile udah sampai repot-repot ke sini dan minta Nizar untuk gak dihukum, tante gak akan hukum Nizar" ujar tante Ela.
"Makasih ya tante..., saya selalu merasa sakit kalau lihat sobat saya dihukum atau kena masalah" kataku.
"Denger Nizar, kalau kamu gak mau buat teman kamu sakit, kamu jangan berulah lagi, mama udah seneng setengah tahun ini kamu gak bertingkah, jangan buat mama pusing lagi" ujar tante Ela.
"Iya ma" jawab Nizar dengan enggan.
"Ini kunci motornya, kamu anterin Cecile pulang sampai kos, mama pulang dulu" kata tante Ela. setelah bersalaman, beliau pergi, tinggal aku dan Nizar.
Kutatap Nizar yang hanya membuang muka dariku, kurang ajar benar anak ini. Tapi berhubung aku orang yang berhati lapang, aku memaafkan kekurangajarannya. Lagi pula.... mungkin dia sedang punya masalah sampai harus melampiaskannya seperti itu.
"Buruan anterin gue pulang" ujarku.
Kami berjalan menuju paekiran dan segera naik motor, Nizar membawanya dengan kevepatan sedang.
"Lo bilang lo udah tobat, ngapain lo ikut tawuran lagi? Belum pernah rasain gue tendang ya selangkangan lo? " ujarku di tengah perjalanan.
"Ya, ya ampun Cil..., namanya juga manusia, tempatnya ngulang kesalahan dan dosa..." ujarnya, tampak dia merasa bersalah. Aku menghela napas.
"Lo ada masalah apa sih? Cerita lah sama gue, kitakan sobatan, gak usah sungkan gini donk.... " ujarku.
"Gak deh, makasih, ini bukan sesuatu yang bisa gue ceritain ke elo" ujar Nizar. Aku menghela napas lagi.
"Ya kalau lo gak bisa cerita ke gue setidaknya lo cerita ke Sadam atau siapa kek... biar lebih plong" ujarku sambil menepuk pundak Nizar, ah... anak ini kasihan sekali. Selanjutnypa hanya keheningan, tidak ada percakapan sama sekali di antara kami.
"Sana lo telepon si Sadam, lo ajak jalan malam ini" ujarku. Setelah sampai di depan kos.
"Idih, ogah banget, ngajak dia jalan? Kesannya jadi kaya ngajak cewek kencan aja" ujar Nizar dengan muka jijik.
"Udah telepon aja dia sekarang, buruan.... " desakku. Dengan tampang terpaksa dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Sadam.
"Halo Sad, lo... Sad? "hening, Nizar hanya diam mendegarkan suara dari seberang, lalu dia menutup teleponnya. Wajahnya terlihat makin suram.
"Kenapa? Kok lo gak omong apa-apa? " tanyaku penasaran.
"Kayanya kita harus jemput Sadam deh kayanya dia main lagi ke club, dan... lo tau lah sekali minum dia kaya apa" astaga naga, tidak bisakah kedua bocah ini berhenti membuatku khawatir?