Darren menahan lengan Helena yang hendak mencari Arkha di salah satu kamar dilantai dua, keduanya mendapat tugas mencari di dalam semua kamar yang ada diatas. Dengan wajah yang masih sembab, dan genangan air di pelupuk matanya, Helena menolehkan wajahnya kebelakang, melihat Darren dengan sendu.
"Aku minta maaf"
Helena membuang muka tanpa membalas, meskipun permintaan maaf Darren tulus dan ini juga bukan sepenuhnya salah Darren. Tetap saja Helena belum bisa memaafkan Darren apalagi sebelum Arkha ketemu, sebab saat ini, demi Tuhan Helena begitu khawatir dengan keberadaan anaknya. "Helena, aku menyesal, tolong maafkan aku" katanya lagi, saat tak mendapat respon apapun, Helena segera menarik lengan yang ditahan suaminya sesudah ia menghela nafas pelan.
"Aku tidak bisa berpikir apapun Darren, sampai Arkha ketemu. Aku tidak ingin membuang waktu untuk menanggapimu" setelahnya Helena kembali memutar tubuhnya meninggalkan Darren yang tampak kacau untuk melanjutkan pencarian.
Di sisi lain, bagian selatan rumah, halaman paling depan Daniel dan Brian tengah disibukan dengan urusannya sendiri.
"Bang~~~ gimana nih gakbisa..." Brian mendengus melihat tingkah Daniel, tangannya berkacak pinggang menatap tajam adiknya, kenapa ya tiap kali Daniel bertingkah, meski sudah tau tingkahnya selalu absurd tetap saja rasanya Brian jengkel? Terkadang malah dia yang berulah, Brian yang malu.
"Lagian sih kan sudah abang kasih tau, gak usah! Masih saja ngeyel"
"Iyakan namanya juga usaha, hargain dong bang, abang ngomong gitu bikin hati Daniel terluka aja"
"Bodo amat niel bodo! Kamu tuh ya bertingkah liat waktu dong, ini lagi genting. Ponakan kamu hilang, malah nangkring di pohon kaya monyet" katanya melihat Daniel yang tengah nangkring diatas pohon seraya memeluk batang pohon itu. Jadi awal dia diatas sana adalah ulah Daniel sendiri, yang beberapa menit lalu ngotot ingin manjat pohon biar bisa lihat Arkha dari atas sana, katanya cara ini efektif buat lihat sehalaman yang luasnya minta ampun itu. Benar sih efektif, tapi Daniel oon! Otaknya hanya digunakan setengah, setengahnya lagi tidak digunakan untuk mikir kalau dia tidak bisa turun. Alhasil, sekarang merengek minta diturunkan sebab katanya dia takut pda ketinggan pohon itu.
"Bang sembarangan ngatain monyet! Ini tuh efektif ya bang, tuh lihat jadi keliatan semuanya kita gak perlu muter2 udah keliatan Arkha enggak ada disini"
"Memang efektif Daniel! Abang akuin cara kamu bagus, tapi gabagus kalau ujung-ujungnya nyusahin orang juga! Udahlah disitu aja jadi penunggu pohon situ juga gapapa, abang ikhlas, semua ikhlas, rumah damai!"
"Abang ih yang kamu lakukan itu jahat bang! Bang turunin~~"
"Gimana caranya?"
"Coba tangannya diangkat mengadah keatas, nanti Daniel loncat kepelukan abang. Eaaaa"
"Ogah, geblek! Yang ada abang ketiban. Mana enggak ada tangga lagi Niel disini!" Brian memindai sekeliling area, halaman ini benar-benar hanya taman saja, tidak ada tangga apapun. "Di gudang halaman belakang bang!"
"Ya ampun jauh banget itu, benar-benar dah. Juara banget nyusahin orangnya!" Brian semakin naik pitam menghadapi Daniel, kepalangnya seketika pening, tapi melihat Daniel yang memelas dengan rengekan tiada henti bikin ia jadi gak tega juga, maka akhirnya dia ngalah buat ambilin tangga di halaman belakang, membuat Daniel tersenyum sumringah.
"Bang harus ikhlas bang! Jangan lama-lama ya, takut jiwaku hilang arah nanti jadi monyet beneran"
"Baguslah kalau gitu"
"Elah kaga bang bercanda! Gitu aja diseriusin! " Brian tak menanggapi, kakinya mulai melangkah pergi meninggakan Daniel diatas pohon sendirian dengan risau. "Bang seriusan!!! Jangan lama-lama"
"iya bawel!"
🍀🍀🍀
Situasi sebelum mencari Arkha,
Pintu kamar itu terbuka secara perlahan, ruangan temaram dengan pencahayaan lampu tidur terlihat saat Arkha mulai masuk kedalam. Anak itu menutup pintu dibelakangnya dengan pelan, seolah tahu bahwa pergerakan kecilnya akan membangunkan pamannya yang tengah terlelap diranjang besar di hadapannya, tapi sayang sekali usahanya sia-sia sebab tak lama ia mendengar suara husky dari depan sana.
"Jihan, kaukah itu?" Tanya dengan suara serak, terdengar jelas bahwa ia baru saja bangun tidur.
"Jihan?" Panggilnya lagi saat ia tidak mendapatkan respon apapun. "Bu-bukan uncle Al, ini Arkha.." kini Aldrian terduduk dengan kesadaran penuh, ia melihat bocah kecil dihadapannya sembari menunduk, merasa heran akan kehadirannya, Al kembali bertanya. "Arkha? Kenapa kesini?"
"Maaf Arkha mengganggu uncle.."
"Tidak.. bukan begitu, kemari mendekat" tangan Al melambai-lambai mengisyaratkan agar Arkha mendekat, lalu segera Arkha menghampiri pamannya dan duduk disampingnya, wajahnya memerah dengan mata sembab karena menangis. "Ada apa? Tanya Al, ia mengusap kepala Arkha dengan pelan, jangan heran kenapa mereka bisa dekat, Aldrian ini meskipun sifatnya cuek dan dingin, ia tidak akan begitu kepada anak-anak oleh sebab itu banyak keponakannya yang menyukai Al, ia akan jadi sosok paman berhati malaikat untuk semua keponakannya, suka memberi permen, memberikan hadiah, baju baru, sepatu pokoknya kalau kata mereka paman Al baik sekali... apalagi kalau sedang bersama, senyum paman Al itu tergolong langka sebenarnya, tapi kalau sudah berduaan saja dengan anak-anak, senyumnya akan terlihat terus, sudah begitu senyumannya manis sekali, anak-anak suka dengan senyum Aldrian terlebih kalau disayang-sayang seperti ini, kan jadi semakin suka dan sayang dengan paman Al.
"Kesal dengan ayah"
"Ayah kenapa? Marah-marah dengan Arkha?"
Arkha sontak menggeleng dengan cepat, ayah Darren tidak pernah marah dengan anaknya, jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan maka ayah Darren akan mengunci ruangan berisikan ayah Darren dan anaknya didalamnya, setelahnya Darren akan menginterogasi anaknya, menceramahi agar tidak nakal lagi, dan setelahnya hanya diberi hukuman ringan. Tapi kali ini bukan itu, melainkan ayah Darren yang suka membatalkan janji, Arkha jadi kesal sebab ayah Darren terlalu sering melakukannya. Maka mengalirlah cerita Arkha sembari terisak perihal ayah Darren yang selalu ingkar janji, sementara itu Aldrian diam mendengarkan..
"Arkha sayang dengan ayah Darren?" Tanya Aldrian setelah Arkha menyelesaikan ceritanya. Mendapat pertanyaan seperti itu, Arkha mengangguk gemas membuat Aldrian tersenyum. "Kamu tahu ayah kerja untuk siapa?" Masih bertahan pada kediamannya ia lantas menggeleng kepalanya. "Ayah kerja untuk Arkha, ibu, Arya dan dede Alea. Semua pakaian yang Arkha pakai ayah yang beli-kan?" Arkha mengangguk "Mainan Arkha yang beli ayah, sekolah Arkha yang bayar ayah, jajan Arkha yang kasih ayah. Arkha gak maukan Arkha gak sekolah dan tidak punya mainan?" Arkha semakin menundukan wajahnya "iya.. gakmau.. hiks"
Aldrian mengangkat tubuh Arkha ke pangkuannya lalu membawanya kedalam pelukannya, tangannya yang besar menepuk-nepuk punggung Arkha pelan, tapi perlakuannya justru membuat Arkha semakin terisak "Sudah jangan menangis lagi, lelaki harus kuat. Ayah juga sebenarnya ingin main dengan Arkha, tapi banyak orang yang ingin diselamatkan ayah"
"Di-diselamatkan?"
"Iya diselamatkan. Ayah Arkhakan pahlawan" Kening Arkha mengerut semakin tak mengerti "Ayah dokter bukan pahlawan.. Uncle"
"Arkha... dokter pahlawan juga, kalau ada yang sakit siapa yang sembuhkan? Ayah Darren itu yang berdiri paling depan saat melawan monster virus dan monster bakteri loh. Monster itu kecil, tapi mematikan. Coba kamu bayangin kalau kamu melawan monster mematikan tapi gak kelihatan. Susahkan lawannya? Tapi ayah kamu hebat, setiap hari melawan monster itu tanpa takut. Padahal sudah hebat sekali seperti itu ingin mendapat pujian dari Arkha tapi kasihan saat pulang kamu malah marah sama ayah kamu yang sehabis perang dengan monster"
Jelas Aldrian mati-matian mencari perumpamaan, sebenarnya ia tidak tahu Arkha akan mengerti perkataannya atau tidak, tapi yasudahlah ia sudah berusaha.
"Mau minta maaf sama ayah"
"Eh?"
"Arkha mau minta maaf sama ayah, temani Arkha uncle" Aldrian tersenyum lalu mengangguk.
"Sebentar ya, uncle cuci muka dulu"
"Ughhh pantasan Arkha mencium bau tidak sedap." Katanya sembari menutup hidung, tapi setelahnya ia justru berteriak karena Aldrian membekap Arkha dibawah ketiaknya membuat anak itu meronta-ronta minta dilepaskan. "Hahaha Ahhh Uncle bau!!! Lepaskan"
"Rasakan! Siapa suruh bilang Uncle bau!!"
🍀🍀🍀
Aldrian mengerutkan keningnya, memandang kekacauan didepannya, kakak iparnya Helena yang menangis di pelukan Darren dan yang lain sibuk menenangkan. Nenek yang tampak serius melakukan panggilan dengan sekretarisnya. Lalu kemudian istrinya Jihan yang ternganga menatapnya terkejut.
"Al kok gitu sih!!!!" Teriak Jihan membuat semua orang menoleh pada orang yang ditunjuknya. Mereka sontak membelalak melihat Aldrian tengah menggenggam tangan anak yang sedari tadi mereka cari. "Aku gakmau punya suami penculik. Huhuhu" Aldrian mengernyit bingung, kenapa Jihan? Sawan? Namun belum sempat rasa penasarannya terjawab, Helena sudah berlari mendekat dan memeluk Arkha, disusul keluarga lainnya yang menghampiri. Isak tangisnya pecah, juga Arkha yang ikut menangis. Kemudian Brian menjelaskan apa yang sedang terjadi hari ini begitupun sebaliknya kenapa Aldrian bersama dengan Arkha.
"Duh lega, kamu bukan penculik Al" Kata Jihan lalu mendapatkan toyoran dari suaminya. "Untungnya apa maemunah"
"Ih Jihan enak aja maemunah"
Biarkanlah pasangan itu ramai berdua, kembali pada Darren yang kini berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Arkha. Ia menangkup kedua pipi anaknya, memandang lamat wajah kecil puteranya, matanya ikut berkaca-kaca mana kala menatap iris Arkha. Kelegaan jelas terlihat diwajahnya kendati bibirnya tak berucap apapun kemudian memeluk Arkha erat.
"Ayah minta maaf sayang" mendengar ayahnya mengucap maaf, Arkha menjadi semakin kencang tangisannya.
"A-arkha juga minta maaf ayah. A-ayah sekarang bo-boleh kok bekerja"
Lalu hari itu berakhir dengan haru yang luar biasa, dan setelahnya Darren menghabiskan satu harinya hanya untuk istri dan anak tercintanya, sedangkan yang lain kembali beraktifitas seperti semula.
🍀🍀🍀
"BANG BRIAN!!!!!!!!! Huhuhuhuhuu ku menangissssss.... ABANG!!!!!! Buset dah ah kenapa gak balik balik bang!!!!!!!!! Ini juga kenapa sepi sih disini huaaaa!!!"
🍀🍀🍀
"Hana tunggu!" Brian menahan lengan Hana sebelum masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa?" Hana mengernyit bingung
"Kok aku kaya lupa sesuatu ya? Apa ya Han?" Kerutan di dahi Hana semakin banyak lantaran tidak tahu apa yang dimaksud suaminya. "Loh mana aku tahu Bri... kamu mecahin barang lagi?"
"Enggak kok sumpah!!"
"Jangan bohong!" Mata Hana menyipit lantaran tak percaya.
"Sumpah Han enggak! Hari ini aman. Tangan aku baik kok hari ini" Mendengar itu Hana mendesah lega, ia sudah cemas sejak tadi kalau Brian menghancurkan sesuatu lagi, tapi untunglah kalau itu tidak benar. "Ya sudah kalau begitu aman, yaudah masuk yuk" Hana menarik lengan suaminya kedalam kamar, meski begitu hatinya masih tidak tenang. Tapi apa ya? Brian benar-benar tidak ingat apapun. Jadi akhirnya ia hanya menghendikan bahunya dan mengikuti jejak istirinya.
🍀🍀🍀
Haloooo cerita ini didedikasikan untuk dokter yang sudah banyak mengorbankan dirinya melawan covid-19 ini. Huhuhuhu aku terharu mereka berjuang merawat orang2 yang sakit, padahal mereka sendiri dalam bahaya. Jadi buat mengurangi penyebaran Covid-19 ini dan buat menjaga rekan medis please buat kalian yang bisa dirumah untuk #stayathome. Jaga jarak, jaga kebersihan semoga kalian sehat selalu. 💜💜💜💜 hati2 juga sepertinya musim dbd juga :(
Aku gak ngecek lagi, semoga tidak banyak typo