Chereads / Love or Lust / Chapter 8 - Menuruti Permintaan

Chapter 8 - Menuruti Permintaan

Terik cahaya matahari yang kemerahan terselip masuk menyinari meja kerja Soraya. Seharusnya sudah dari sejam yang lalu waktu bekerjanya berakhir, tetapi wanita itu malah memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya, yang sebenarnya bisa saja dia kerjakan besok harinya.

Wanita itu memang tidak suka menunda-nunda pekerjaan, apalagi jika masih bisa dia kerjakan secepatnya.

"Ya, kamu nggak pulang apa?" celetuk Mia, salah satu rekan kerjanya.

"Bentar lagi. Kamu kalau mau pulang duluan, nggak apa-apa. Pulang aja duluan, lagian udah sore juga." Soraya menyahutinya, tetapi tanpa menoleh pada Mia. Kedua mata Soraya masih terfokus pada layar komputer di hadapannya.

"Ya udah, kalo gitu aku duluan ya? Ntar aku kasih tahu sama sekuriti, kalau kamu masih di sini."

"Iya, makasih. Hati-hati di jalan." Soraya melambaikan tangan sambil sekilas menoleh pada wanita itu. "Bye!!"

Blam!

Suara pintu ruangan tertutup lalu sayup-sayup terdengar suara langkah kaki Mia yang kemudian menghilang. Kembali hening. Soraya terus melanjutkan pekerjaan, bertatapan dengan layar datar sebuah komputer yang menampilkan beberapa lembar kertas putih digital di dalam sana. Membuat sebuah laporan dari hasil kegiatan yang telah diadakan beberapa waktu yang lalu.

Drrrt drrrt drrrt!

Sebuah benda tipis yang tadinya Soraya letakan di atas tumpukan beberapa dokumen bergetar. Segera Soraya meraih dan memeriksa ponselnya, sebuah pesan singkat dari aplikasi penyedia pesan gratis, Watsap. Pesan dari Liam.

Baru saja Soraya selesai membaca pesan itu yang mengatakan jika lelaki itu akan segera menjemputnya, sebab ia ingin membawa Soraya ke rumahnya. Bertemu dengan Ellie, bundanya Liam. Jempol wanita itu begitu lihai menari di atas keyboard touch screen ponselnya, membalas pesan sang lelaki.

Soraya menolak ajakan Liam, karena sebentar lagi Reyhan akan datang untuk menjemputnya. Mengantarkan pulang ke apartemen. Namun tiba-tiba Liam menghubunginya. Cepat-cepat Soraya menerima panggilan telepon itu.

"Enggak bisa! Sebentar lagi Reyhan mau jemput aku. Tadi dia bilang udah di jalan. Lagian kenapa mendadak sih?" protes Soraya, keningnya sudah memunculkan beberapa kerutan di sana.

"Aku lupa bilang tadi pagi, trus di kantor banyak kerjaan juga."

"Kapan tante Ellie bilang gitu?" selidik Soraya.

"Tadi malam."

"Kenapa enggak langsung tanya chat tadi malam?"

"Come on, Ya! Aku lupa ... 'kan kamu tahu kalau aku mupeng tadi malam, mana keburu bunda minta jemput. Trus tadi pagi juga aku mu—"

Soraya langsung memotong pembicaraan Liam. "Aist, banyak alesan. Pokoknya nggak bisa. Titik." Soraya langsung memutuskan sambungan telepon itu secara sepihak, membuat Liam terkejut di seberang telepon sana.

Bergegas Soraya merapikan meja kerjanya, agar besok dia kembali bekerja dengan semangat saat melihat mejanya yang bersih. Memasukan beberapa benda yang memang seharusnya dia bawa pulang, termasuk ponselnya tadi. Kemudian dengan segera meninggalkan ruangan itu lalu menuruni tangga perlahan, takut jika langkah kakinya terselip.

Dari kejauhan kedua mata Soraya menangkap sosok lelakinya yang sedang berbincang dengan sekuriti gedung ini. Terlihat sangat serius hingga Reyhan tidak menyadari kehadiran Soraya di sampingnya.

Soraya langsung menyelipkan tangan kanannya pada lengan Reyhan dan menyapa lelaki itu. "Hei ...." Soraya tersenyum.

"Sudah selesai?" tanya Reyhan dengan gerakan refleks menoleh pada wanita yang memeluk lengannya. Wanita itu mengangguk.

Kemudian mereka berdua segera berpamitan dengan sekuriti itu lalu segera masuk ke dalam mobil Reyhan, dengan lelaki itu yang membukakan pintu untuk Soraya. Lalu segera menyusul masuk ke dalam mobil melalui pintu satunya lagi. Reyhan segera menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas setelah sebelumnya membunyikan klakson sebagai tanda permisi pada bapak tua berseragam satpam itu.

***

Liam merasa begitu marah. Mungkin karena teman wanitanya itu menolak untuk pergi ke rumahnya, padahal Ellie sendiri yang meminta anaknya itu untuk mengajak Soraya makan malam bersama dengan mereka, saat dalam perjalanan menuju pulang kemarin malam.

"Besok setelah kerja, ajak Aya ke rumah. Kita makan malam sama-sama. Biar bunda masakin ayam kaloke kesukaan dia." Kalimat ini bukan terdengar sebagai sebuah pertanyaan bagi Liam, tetapi terdengar seperti sebuah perintah.

"Bunda, 'kan sudah Liam kasih tahu, kalau Aya tuh sibuk, Bun. Kenapa enggak Ceril aja sih yang diundang makan malam?"

"Bunda maunya Aya, bukan pacar kamu yang sosialita itu. Aya lebih sederhana dan apa adanya, bukan acting."

"Acting apa maksud Bunda?"

"Udahlah, pokoknya bunda maunya Aya. Lagian kamu nggak perlu khawatir, kata kamu Aya cuman teman kamu aja, 'kan?"

"Iya sih, tapi 'kan ...."

Ellie melirik anak semata wayangnya yang terlihat banyak alasan itu dengan tatapan penuh menghakimi. Liam yang sesekali menoleh merasa keder dipandangi seperti itu. Lebih memilih untuk kembali diam dan menuruti permintaan bundanya.

Apalagi saat siang tadi, Ellie menghubunginya, mengingatkan Liam akan dinner dengan Soraya. Permintaan itu sedikit membuat kacau pikiran dan perasaan Liam. Sebab permintaan makan bersama itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi hampir di setiap bulannya. Bahkan dalam sebulan bisa terjadi 5–8 kali.