Sudah berhari-hari berlalu, semenjak Soraya menyatakan isi hatinya kepada Liam. Mereka berdua sudah tidak lagi saling bertemu atau saling menghubungi. Tidak melalui pesan singkat ataupun telepon. Keduanya seolah sibuk dengan pekerjaan keseharian masing-masing.
Soraya mengkhawatirkan Liam, tetapi enggan untuk menghubungi lebih dulu. Dia terlalu malu untuk menyapa lelaki itu, walaupun hanya lewat benda elektronik dalam tasnya. Dia juga mengabaikan panggilan dari Reyhan yang selalu muncul tiba-tiba. Padahal dalam hatinya, dia berharap panggilan telepon itu dari Liam yang dia rindukan.
Begitu pula dengan Liam yang selalu ragu untuk maju memiliki Soraya. Di satu sisi, walaupun dia sudah mengetahui jika Soraya menyayanginya, tetap saja dia tidak bisa memilikinya, karena Soraya memiliki kekasih. Begitu pun dengan dirinya yang juga memiliki seorang kekasih. Tidak mungkin rasanya jika tiba-tiba saja Liam meminta putus dari Ceril.
"Ya, ada tamu di depan," ucap salah seorang rekan kerja Soraya yang muncul dari balik dinding kubikel mejanya.
Dengan bingung Soraya mengiyakan pemberitahuan itu dan segera berdiri, melangkah menuju lobby kantornya. Tidak ada pemikiran lain yang ada dalam otaknha selain memikirkan pekerjaannya yang makin hari, semakin menumpuk. Atasannya benar-benar tega memberikan banyak pekerjaan untuknya.
Sesampainya di lobby kantor, betapa terkejutnya Soraya begitu mendapati sosok Reyhan sedang berdiri menunggunya. Hingga akhirnya kedua mata mereka saling bertabrakan.
"Kamu lama banget, sih?" protes Reyhan, sesaat setelah Soraya sudah mendekatinya.
Soraya menyuruh lelaki itu untuk segera duduk, tetapi Reyhan menolak. "Enggak, aku cuma sebentar. Aku ke sini mau pinjem duit. Ada gotiao nggak? Aku mau servis mobil. Udah lama itu nggak perawatan." Reyhan beralasan.
Soraya tersentak, secapat kilat dia menyembunyikan keterkejutannya itu. Berusaha bersikap biasa saja. Ini bukan kali pertama lelaki itu meminjam uang padanya. Dan sudah berkali-kali pula Soraya mengirimkan uang ke rekeningnya, tanpa ada gantinya.
"Gotiao? Lima juta? Aku nggak punya kalau segitu banyaknya. Kamu pikir, aku di sini hidup enak?" Soraya kesal.
"Buat servis mobil, kok! Bukan buat hura-hura." Reyhan bersikeras.
Soraya menghela napas panjang. Dia sudah mulai jengah dengan sikap kekasihnya itu. Tidak ada perubahan. Sekilas bayangan sosok Liam tiba-tiba saja muncul, mengingatkan Soraya akan keinginannya beberapa hari yang lalu untuk memutuskan hubungan dengan Reyhan.
"Apa kamu nggak malu? Selalu pinjam uang sama aku buat kebutuhan kamu? Kenapa kamu nggak kerja aja, cari uang buat kamu hidup? Gimana mau ngehidupin aku? Sedangkan ngehidupin diri kamu sendiri aja, nggak bisa." Soraya mulai realistis.
Reyhan mengernyitkan alisnya, bingung mendengar ucapan Soraya itu. "Ngehidupin kamu?" Kemudian Reyhan tertawa lepas. Kini giliran Soraya yang kebingungan melihat tingkah Reyhan.
"Kamu jangan ngaco! Siapa juga yang mau ngehidupin kamu? Hah! Kamu pikir aku mau nikahin kamu yang miskin? Kalau masih kerja di perusahaan orang jangan belagu!" cemooh Reyhan.
Seketika itu pula, Soraya merasa dirinya direndahkan. Dia memang wanita miskin yang masih bekerja, mencari uang di perusahaan orang lain. Tapi bukan berarti Reyhan berhak berkata demikian.
"Kalau kamu nggak punya niatan sedikit pun buat menata masa depan bareng aku, mestinya kamu kasih tahu aku! Biar aku bisa cari yang lain, dan nggak buang-buang waktu terikat sama kamu!" Amarah Soraya akhirnya meledak. Dengan tatapan singa yang siap menerkam mangsanya, Soraya benar-benar diselimuti amarah.
Tiba-tiba Reyhan mencengkeram lengan Soraya, merasa tidak terima dengan ucapan wanita yang sering memberinya uang itu. "Oh, jadi kamu ngerasa sia-sia udah pacaran sama aku? Kamu pikir, aku nggak ngerasain hal yang sama? Cih!" Reyhan semakin meremehkan wanita itu.
"Jangan kamu pikir, karena kamu kerja dan punya uang, trus kamu bisa seenaknya ngatain orang lain. Kamu lupa? Kalau bukan aku yang masukin kamu kerja di sini dulu, kamu nggak bakalan bisa seperti sekarang!" Reyhan mulai mengungkit masa lalunya, masa di mana dia masih melakukan pendekatan dengan Soraya.
Sekilas masa-masa itu kembali muncul ...
"Kamu coba masukin surat lamaran kerja di kantor temen aku deh! Katanya dia lagi butuh banyak karyawan baru," tawar Reyhan.
Dengan semangat Soraya mengiyakan tawaran itu, sebab dia ingin sekali merasakan bekerja di sebuah kantor besar. Dia bosan menjalani hidupnya sebagai sales freelance.
Mulai dari sales rokok, minuman, kosmetik, hingga sales kartu kredit sudah pernah dia lakukan. Bekerja dari matahari belum terbit, hingga matahari tidak terlihat terbenamnya. Semua waktu dia habiskan di luar dari kamar apartemen.
Soraya ingin sekali merasakan bekerja di dalam ruangan. Dengan jadwal waktu yang teratur. Dan yang paling penting, dia bisa memiliki banyak waktu untuk istirahat ataupun hangout di akhir pekan dengan Reyhan.
"Iya, aku mau. Besok aku kirim surat lamarannya," sahut Soraya sangat bersemangat.
Reyhan tersenyum. "Nanti aku kasih tahu temen aku, biar kamu bisa langsung lolos," kata Reyhan memberikan harapan pada kekasihnya.
Tidak perlu menunggu lama, seminggu setelah surat lamaran kerja Soraya diterima oleh perusahaan teman Reyhan itu, dia dihubungi oleh pihak perusahaan. Diminta untuk segera berhadir. Soraya gembira. Dia benar-benar merasa senang.
"Ok, kalau begitu mulai besok kamu sudah bisa langsung bekerja di sini. Saya tunggu jam delapan pagi," ucap seorang lelaki yang mengurusi penerimaan karyawan baru.
Soraya melompat kegirangan, spontan. Berkat Reyhan, dia dapat bekerja di perusahaan itu hingga sekarang. Dan itu sungguh membuat Reyhan murka untuk saat ini. Wanita di depannya itu seolah mengejek hidupnya yang kini berbanding terbalik.
Apalagi setelah kinerja Soraya yang semakin membaik, dia selalu mendapatkan promosi di setiap tahunnya. Yang menyebabkan posisinya saat ini cukup penting di perusahaan. Bukankah itu hal yang luar biasa?
"Jaga omongan kamu itu! Jangan jadi kacang lupa kulitnya!" hardik Reyhan, sambil semakin mengencangkan cengkeramannya. Soraya mengaduh kesakitan.
Tiba-tiba tangan seorang lelaki muncul. Menarik kerah kemeja yang Reyhan kenakan dengan kasar. "Jangan kasar sama wanita!" ucapnya tegas, tetapi santai.
Soraya langsung menoleh, mencari wajah pemilik suara tegas yang membantunya kali ini. Dan siapa sangka, ternyata pemilik suara dan tangan kuat itu adalah ayahnya Liam, Rudie.
"Om Rudie?" pekik Soraya.
Sekejap cengkeraman tangan Reyhan merosot, melepaskan lengan Soraya yang tadinya terasa sakit. Nyali Reyhan ciut begitu melihat seorang lelaki berumur yang membela kekasihnya. Namun, Reyhan tidak tahu siapa Rudie, sehingga mengira jika kekasihnya itu seperti wanita nakal di luaran sana, yang menjadi simpanan lelaki hidung belang.
"Oh ... jadi gini sekarang kelakuan kamu? Pantesan kamu punya banyak uang! Jam tangan mahal, sepatu branded. Kamu udah jadi simpanan laki orang?" seru Reyhan, membuat suasana semakin gaduh.
Mendengar bualan itu, Soraya langsung melayangkan tamparan telapak tangannya tepat, mendarat di pipi kiri Reyhan. Plaak!!!
Rudie tidak tinggal diam, melihat teman anaknya diperlakukan seperti itu, dia langsung menarik Soraya untuk mundur. Takut jika lelaki gila tersebut membalas menyerang Soraya. Lalu dengan sigap, dia mengusir Reyhan dengan meminta bantuan pada satpam perusahaan.