"Selamat siang, Tante." Seorang wanita muda terlihat sedang menyapa seorang wanita lain yang berumur.
Wanita muda itu bertubuh ideal dengan pinggang ramping dan juga kulit putih bersih yang begitu terlihat merona. Khas kulit putih orang Asia. Tidak lupa dengan dress ketat yang menutupi tubuhnya, memperlihatkan buah dada yang begitu cocok menempel ditubuhnya, menonjol dengan sempurna. Dia adalah Lyra, seorang dokter muda yang menggeluti bidang psikologi manusia dan khusus dalam ruang lingkup hubungan intim. Mungkin begitu, entahlah.
Yang jelas Dokter Lyra adalah seorang dokter konsultasi psikologi untuk Soraya. Sudah lama wanita itu menangani kasus kelainan yang Soraya alami. Namun siapa sangka jika ternyata wanita itu adalah sepupu Liam. Dia adalah anak dari saudara Ellie, lebih tepatnya anak kedua dari adik Ellie, Jena.
"Hai, Sayang! Apa kabar kamu?" sahut Ellie yang kala itu sudah duduk rapi menunggu keponakannya itu datang.
"Baik, Tante." Kedua wanita itu saling mengecup pipi kanan dan kiri secara bergantian lalu duduk mengambil posisinya masing-masing.
Sore itu, kedua wanita tersebut memang sudah membuat janji untuk bertemu di salah satu rumah makan ternama, sambil menikmati suasana senja hari. Dan pertemuan itu selalu terjadi sebulan sekali, sebab Ellie membutuhkan selembar resep obat yang harus dia tebus.
Lithium, obat ini terbilang obat yang cukup keras dengan kegunaan yang lumayan banyak. Namun, biasanya orang-orang menggunakan obat ini untuk mengatasi penyakit mental seperti gangguan bipolar. Untuk penderita depresi kronis juga sangat membutuhkan obat ini.
"Ini, Tante, resepnya. Tante jangan terlalu sering pakainya, kalau gejala muncul aja, baru minumkan." Lyra menyodorkan selembar kertas resep dari klink miliknya.
"Iya ... tante takut kehabisan, karena di rumah hanya tersisa 2 butir aja." Ellie berusaha tersenyum tetapi gagal, yang ada senyuman itu lebih mirip ke ekspresi menyedihkan.
Ya, Ellie memang sedih. Terlalu banyak yang dipikirkan oleh wanita tua itu. Dia selalu mengkhawatirkan anak semata wayangnya yang hingga kini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Ellie sering merasakan sakit kepala yang berlebih, mood-nya cepat sekali berubah, hingga akhirnya Ellie takut jika dia mengidap penyakit bipolar dan berkonsultasi terlebih dahulu pada Lyra.
Namun nyatanya, ketakutan itu tidak terbukti apa-apa, Ellie hanya perlu lebih banyak waktu untuk istirahat dan tidak memikirkan hal-hal aneh yang tidak penting.
Lantas, bagaimana dia akan menyerahkan perusahaan mereka kepada Liam?
***
Soraya dan Liam sudah sama-sama saling melepaskan gairahnya. Kali ini wanita itu terlihat nampak lebih letih dari biasanya. Liam segera paham lalu menarik selimut putih bersih yang ada di ujung ranjang untuk menutupi tubuh Soraya. Wanita itu sudah memejamkan matanya dengan napas yang terdengar sedikit nyaring, dia berusaha kembali menormalkan sistem pernapasannya.
Sedangkan Liam langsung melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya, dari sisa-sisa kenikmatan yang berhasil ia rasakan kembali. Setelah beberapa hari ia lalui dengan begitu hampa.
Tanpa memikirkan apa pun, Liam kembali ke atas ranjang lalu menyelinap masuk ke dalam selimut. Lagi-lagi lelaki itu mendekap erat tubuh lemah Soraya, membawanya masuk ke dalam dada bidangnya, sambil mengelus pundak serta pinggang wanita itu. Bahkan berkali-kali Liam menaburkan kecupan di kening Soraya.
"Maaf untuk ucapanku kemarin, aku nggak bermaksud begitu," ucap Liam memecah keheningan di antara mereka berdua.
Tidak ada sahutan dari Soraya, membuat Liam semakin kecewa. Padahal baru beberapa menit yang lalu, mereka berdua saling berpandangan, saling menikmati dan saling tersenyum bersama, bahkan saling memberi kehangatan, tetapi mengapa kini wanita itu kembali bersikap dingin padanya?
Liam sungguh tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran Soraya. Wanita itu sungguh sulit untuk dipahami saat ini. Apalagi setelah mereka berdua menjadi semakin dekat seperti ini.
"Kamu ... aku beneran nggak bisa ngerti kamu sekarang ini. Dan kayaknya kamu juga udah nggak mau cerita apa pun lagi sama aku," tambah Liam lagi.
Helaan napas Soraya terdengar jelas di telinga Liam, bersamaan saat Soraya menengadahkan kepalanya dan menatap kedua mata sendu lelaki itu. Dia sudah mempersiapkan dirinya sedari tadi untuk memberitahukan apa yang dialaminya pada Liam.
"Ada yang mau aku sampaikan ke kamu. Tapi kamu jangan kaget, karena sulit buat aku ngomong ini ke kamu dan aku nggak mau kamu berpikiran yang macem-macem lagi." Soraya memberi jeda waktu berbicara, sementara Liam terus mendengarkan dan masih mengelus pinggang wanitanya.
"Apa? Bicara aja ...," sahut Liam santai sambil melipatkan tangan satunya ke belakang kepalanya.
Soraya menghela napasnya, lalu menumpukkan kedua tangannya di atas dada lelaki itu sebagai tumpuan untuk menopang dagunya. Bola matanya menatap tajam sang lelaki. Berat baginya untuk berterus-terang tentang apa yang dideritanya. Padahal tidak ada kewajiban bagi Soraya untuk mengatakan hal itu, karena Liam hanya sebatas temannya di ranjang saja, bukan lelaki yang berstatus menjadi miliknya.
Cukup lama Soraya menyiapkan diri untuk mengatakan itu, tetapi dia terlalu banyak berpikir hingga sebuah nada dering dari ponsel Liam memantul dalam ruangan tersebut. Membuat dia kembali menarik diri serta perkataannya.
"Sebentar, aku angkat telepon dulu," pamitnya.
Soraya langsung bergegas kembali menarik selimut, menutupi tubuhnya saat Liam bangkit untuk mengambil ponselnya di saku celana yang tergeletak di atas kursi di sudut kamar itu.
Dengan santai lelaki itu melenggang tanpa mengenakan sehelai benang pun pada tubuhnya. Kedua mata Soraya juga tidak mau luput dari tubuh atletis sang lelaki, tubuh yang membuat hawa nafsunya terpenuhi.
"Hallo? Iya, kenapa?" sahut Liam saat menerima panggilan teleponnya.
Soraya kembali berbaring, meringkuk di bawah selimut kesayangannya sambil memandangi tubuh Liam dari belakang. Lalu perlahan dia memejamkan matanya, hingga akhirnya dia benar-benar tertidur pulas, menghiraukan segalanya.
"Iya, nanti. Aku lagi sibuk, besok aku kirimkan lewat email." Liam beralasan.
Setelah beberapa saat, barulah Liam segera memutuskan sambungan telepon itu. Telepon dari temannya di kantor, Zein, yang menanyakan sebuah dokumen penting untuk perencanaan meeting bersama di awal pekan. Padahal hari ini masih Sabtu dan masih ada Minggu, tetapi lelaki cerewet itu selalu saja mengganggu mood-nya.
Liam kembali meletakkan benda tipis hitam yang ajaib itu ke atas kursi dan tidak lupa untuk menghidupkan mode senyap pada benda tersebut. Untuk apalagi jika bukan untuk ketenangan. Liam ingin waktunya kali ini benar-benar bisa ia nikmati bersama dengan Soraya. Baru kali ini Liam memiliki pemikiran seperti itu.
Dalam pikiran Liam, ia bisa segera memeluk Soraya begitu telepon itu sudah dalam mode senyap, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Liam terkejut melihat Soraya yang sudah terlelap tidur dibalik selimut saat ia sudah kembali mendekati ranjang. Kedua sudut bibir Liam tertarik sempurna, ia tersenyum sumringah melihat wanitanya yang sudah terlelap.
Perlahan Liam kembali melangkah mendekati ranjang dan kembali masuk ke dalam selimut, membuat Soraya sedikit terpekik kaget. Soraya membuka matanya yang kemudian langsung ditarij lagi oleh Liam untuk masuk ke dalam dekapannya.
"Tidurlah, aku tahu kamu lelah. Aku juga mau tidur barang sebentar," ucap Liam berbisik.
"Hanya sebentar?" sahut Soraya dengan suaranya yang sedikit serak. Dia kembali jatuh ke dalam pelukan dada Liam yang kekar dan berotot.
"Sebentar atau lama sama aja, yang penting aku sayang kamu!" Liam berucap tanpa sadar dan mengeratkan dekapannya sambil mengecup kening Soraya.
Bersamaan dengan itu, Soraya terkejut mendengar ucapan Liam barusan. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Soraya sekali lagi.
"Enggak apa-apa, aku ngantuk! Ayo tidur!" perintah Liam.
Sedangkan Soraya semakin membuka matanya lebar-lebar, dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Liam barusan. Baru kali ini dia mendengar Liam berkata semanis itu. Ada sedikit perasaan senang dalam hatinya, perasaan yang tidak dapat dia jelaskan bagaimana detailnya. Yang jelas dalam posisi itu, Soraya dapat melingkarkan tangannya memeluk pinggang Liam dengan telinganya yang tertempel tepat di dada Liam.
Sangat jelas Soraya mendengar ucapan itu, walaupun ada sedikit rasa tidak percaya jika kalimat itu terlontar dari mulut Liam. Wanita itu kembali memejamkan kedua matanya dengan sebuah senyuman yang menghiasi wajahnya.
***
Di sebuah tempat yang lain, terlihat seorang lelaki yang dengan sengaja mendekam di dalam mobil sambil memerhatikan sebuah mini market dari kejauhan. Sudah berjam-jam lelaki itu di sana, menunggu seorang wanita yang sudah membuat janji dengannya.
Lelaki itu adalah Reyhan, ia menunggu Erna dan juga Ceril yang sudah berjanji akan mengambil motor Erna yang kehilangan kuncinya tadi malam. Memang semestinya kedua wanita itu kembali mengambil motornya, hanya saja, mengapa malah membuat janji temu dengan Reyhan? Bukan dengan Roni? Bukankah Erna menitipkan motornya kepada Roni? Lantas, mengapa malah Ceril yang membuat janji temu dengan Reyhan?
Aneh, mereka benar-benar sangat aneh.
Tidak lama kemudian sebuah mobil mendekat lalu berhenti tepat di sebelah mobil Reyhan. Erna keluar dari sisi pintu penumpang lalu melangkah untuk segera masuk ke dalam mini market, sedangkan Ceril yang menyetir keluar setelahnya dari sisi pintu hang satunya lagi. Cepat-cepat Reyhan mematikan mesin mobilnya lalu bergegas keluar untuk menghampiri wanita itu.
"Hai ...," sapa Reyhan. Ceril hanya memberikan senyumannya.
"Habis ini kalian pada mau ke mana?" tanya Reyhan.
Sekilas Ceril menoleh ke arah dalam mini market, memastikan jika Erna masih berada di dalam sana. Kemudian kembali menatap Reyhan dan berkata, "Enggak ada ke mana-mana, kok. Palingan langsung pulang."
"Ke rumah temen kamu itu?"
Ceril menganggukkan kepalanya. "Kenapa?"
"Gimana kalau kita hangout?" tanya Reyhan seolah malu-malu.
"Kita? Erna diajak juga, 'kan?" Ceril memastikan.
"Boleh, kalau dia mau ikut, ajak aja!" Reyhan memberi pilihan, "itu pun kalau dia mau ikut ...."