Chereads / Wanita dititik Terendah / Chapter 4 - Penyerahan diri

Chapter 4 - Penyerahan diri

"This world always gives many choices. don't be rash, because your choices determine 'who you are' in the future!!"

-Wanita dititik Terendah-

"Huff... Akhirnya sampai juga dirumah," ucap Achiera dan langsung berbaring di kasur.

Di saat Achiera menikmati waktu istirahat di rumah sewanya, sebuah panggilan masuk dari ponselnya datang. Dengan kesal dia mengangkat, tanpa melihat siapa yang menghubunginya.

Sebelum Achiera sempat berkata apa pun, penelpon itu langsung berbicara dengan paniknya.

"Kak, Steven kecelakaan dan sekarang sangat kristis, dia harus di operasi, tetapi akan membutuhkan banyak biaya dan kata dokter jika kita tidak melangsungkan operasi itu secepat mungkin, Steven bisa meninggal. Sekarang nenek juga sedang sakit, dia shock berat," jelas Ferisha, adik wanita Achiera.

Setelah mendengar itu Achiera terdiam terpaku tanpa suara, dia merasa dunianya hancur tak tersisa.

"Kak, apa kakak mendengarkanku?" tanya Ferisha, karena tak kunjung mendapat jawaban dari kakaknya.

"Hallo kak, apakah kakak masih di sana?" ulang Ferisha memanggil Achiera.

Dengan gemetar Achiera menjawab, "Ah, iya. Kakak mendengarmu, sebenarnya apa yang terjadi?"

"Tadi ada segerombolan orang datang mengusir kami dari rumah. Ternyata rumah yang selama ini yang sudah kita tempati berdiri di atas tanah seorang pengusaha," Ferisha menjelaskan. 

Mendengar itu, Achiera cukup terkejut. "Apa? Bagaimana mungkin? Itu rumah satu-satunya peninggalan papa dan mama! Bagaimana bisa itu berubah menjadi tanah mereka?"

"Semua bukti mengatakan itu tanah mereka. Sementara tentang bangunan rumah kita, pihak mereka akan memberikan kompensasi,"-Ferisha menangis-"dan mereka mengusir kita. Di perjalanan nenek pingsan, Steven pergi membeli air mineral, tetapi tiba-tiba saja ada sebuah mobil yang menabraknya, lalu kabur. Dan terjadilah seperti sekarang ini," jelas Ferisha tak ingin lagi membendung air matanya.

"Keluarga Steven...!" panggil dokter yang menangani Steven.

"Ya dokter, saya kakaknya. Bagaimana kondisi adik saya?" tanya Ferisha.

"Kita tidak bisa menundanya lagi, kita harus segera melakukan operasi karna kondisinya sangat kristis. Dia kehilangan banyak darahnya, hasil CT scan mengatakan ada penggumpalan darah diotaknya. Jika kita terlambat sedikit saja, dia bisa tidak tertolong," jelas dokter.

Di seberang sana, Achiera mendengar semua penjelasan dokter. Ia merasa sangat hancur, dengan buru-buru dia meraih tasnya lalu pergi. Dia pergi ke arah kantor tempat dia bekerja.

Malam telah menunjukkan dirinya begitu dia sampai di sana.

Apakah dia masih di sini? batin Achiera.

"Menurut berita yang kudengar, ini adalah tempat parkir khusus Presdir dan itu mungkin mobilnya. Iyaaa... Dia masih di sini, aku akan menunggu sampai dia keluar," ucap Achiera dengan penuh semangat.

Apa pun akan kulakukan demi adikku, sekalipun ini salah, jeritnya dalam hati.

Lama Achiera menunggu, hingga dia ketiduran di tembok basement, tepat di samping mobil Hans. Jam menunjukkan pukul 11.15 Pm, Hans baru keluar dari kantornya.

"Boss, itu ada seorang gadis pingsan!" ucap Liu, supir Hans begitu melihat Achiera.

"Biarkan saja, tidak ada yang memintanya untuk tidur di sana," jawab Hans cuek.

"Tapi boss, dia meringkuk seperti kedinginan. Apa tidak sebaiknya, kita bawa ke rumah sakit?" tanya Liu.

"Aku tidak pernah mengizinkan ada yang naik ke mobilku. Kalau kau ingin menolongnya, jangan memakai mobilku," tegas Hans memperingati.

Namun, semakin mereka mendekat, wajah itu semakin familiar. Dan memang benar, begitu sampai Hans langsung mengenali orang tersebut, spontan ia memanggil Liu.

"Liu... cepat buka pintu mobil!" teriak Hans langsung menggendong Achiera.

"Boss, kita ke mana?" tanya Liu.

"Ke apartemen pribadiku!"

Dengan cepat Liu langsung mengingatkan bossnya.

"Tapi boss... Bukankah itu rumah yang tidak pernah didatangi oleh wanita mana pun sebelumnya, karena itu merupakan rumah boss dengan-"

Belum sempat Liu menyelesaikan perkataanya, langsung dipotong Hans.

"Jangan banyak tanya, atau aku pecat kau.!!" ancam Hans.

Hans menelpon seseorang, sebelum orang itu sempat menjawab, Hans sudah merebut percakapan.

"Datang ke apartemen sekarang dan bawa alat medismu!"

{"Apartemen? Gak salah tuh?}

"Apa kau tuli sehingga kau mengulang perkataan?" tanya Hans langsung mematikan ponselnya.

*tut* Phone call ended.

"Kau tidak boleh mati dengan mudahnya, siluman pengacau! Tidak ada yang boleh menyiksamu selain aku. Jadi, aku harap kau baik-baik saja." Hans memperingati Achiera yang sedang pingsan itu.

Sesampainya di apartemen yang dimaksud, Hans langsung membopong dan meletakkan Achiera ke kamar utama di rumah itu. Entah didorong oleh apa, tetapi melihat gadis itu lemah dan pucat, dia sangat peduli.

Tidak lama Dexter (dokter juga sahabat Hans) pun sampai.

"Siapa yang sakit?" tanya Dexter begitu melihat Hans.

"Dia ada di dalam, periksa dia dengan teliti!"

Tidak lama kemudian, Dexter selesai memeriksa kondisi Achiera.

Dengan cepat Hans langsung bertanya, "Dia kenapa? Apa yang salah dengannya? Apa ada hal yang serius terjadi?"

Tidak langsung menjawab Hans, Dexter malah mencibir, 

"Sudah lama setelah Hazel pergi, aku tidak pernah melihatmu begitu peduli dgn seorang wanita, siapa dia? Apakah dia akan menjadi pengganti Hazel?"

"Sudah lama bagiku, Hazel tiada. Dan wanita itu tidak akan menjadi pengganti siapa pun, dia tidak pantas!" tegas Hans. "Aku bukan khawatir, hanya saja, aku belum selesai menuntaskan masalahku dengannya. Dan dia belum kuizinkan untuk mati!"

"Tidak khawatir tetapi menyuruhku untuk datang cepat dan membawanya ke rumah khususmu!" goda Dexter lagi.

"Jangan asal bicara, sekarang bagaimana keadaannya?" tanya Hans mengakhiri tebakan Dexter.

"Jangan khawatir, dia baik-baik saja. Hanya saja dia sepertinya terlalu lelah dan perutnya kosong dan juga dehidrasi," jelas Dexter. "Begitu dia sadar, beri dia makan dan meminum obat ini. Dia akan segera pulih."

"Okay, sekarang kau sudah boleh pulang!" Hans mengusir Dexter.

"Ya aku tau, ujung-ujungnys kau akan mengusirku! Aku permisi dulu, ada apa-apa telepon aku."

Dexter pun berlalu pergi.

Tidak lama setelah Dexter pergi, Achiera sadar.

"Tempat ini? Aku ada di mana?" guman Achiera pada dirinya sendiri.

"Sudah bangun?" tanya Hans yang sedari tadi duduk di sofa, ujunh tempat tidur tersebut. Hans menutup laptopnya.

"P-presdir," ucap Achiera terbata-bata.

"Jangan banyak bicara, makan nasi itu baru bicara," ujar Hans sambil menunjukkan nasi yang ada di atas nakas, samping ranjang size king itu.

"Tidak, tidak, tidak... Saya tidak mau makan. Ada hal penting yang harus saya bicara dengan Anda tuan," jawab Achiera.

"Jika kau tidak makan, jangan harap kau boleh berbicara denganku," ancam Hans, dan langsung membuka laptonya kembali.

Dengan patuh, Achiera mengambil nasi tersebut dan segera menyelesaikannya. Setelah itu, Achiera memberanikan diri duduk di bawah sofa, mendekati Hans.

"Itu-" Achiera menghentikan ucapannya sesaat.

"Sa-saya bersedia menjadi wanita anda, tuan presdir," lanjutnya, setelah mengumpulkan keberanian.

"Apakah tawaran anda masih berlaku Presdir?"tanya Achiera.

"Hei, baru tadi siang kau menolakku mentah-mentah dan sekarang hanya berlalu beberapa jam, kau sudah menyerahkan dirimu?" kata Hans dengan sombong.

"Maaf, aku sudah tidak tertarik lagi!" lanjutnya.

Achiera tidak menyerah, ia langsung menarik tangan Hans dan memeluknya kemudian langsung mencium bibir Hans.

Achiera tidak ahli dalam berciuman, sehingga dia menunggu Hans untuk membalas ciumannya sambil sesekali melakukan seperti yang dilakukan Hans tadi padanya.

Dengan ketidakahlian Achiera, itu justru membuat Hans tidak tahan untuk berlama diam, dia tidak kuasa dan membalas ciuman Achiera. Dilumat bibir peach Achiera. Perlahan lidahnya masuk ke dalam mulut Achiera dan memainkan lidah Achiera didalam.

Ciuman itu sangat panas dan membuat Achiera tidak bisa bernapas.

Seakan tidak ada tanda-tanda ingin berhenti, Hans malah menarik tangan Achiera lalu melingkarkan ke atas punggungnya, kemudian mengangkat Achiera duduk di pangkuannya, lebih dekat menempel di dada bidangnya. Mereka pun larut dalam ciuman yang panas itu.