Castle Caffe, Jakarta Pusat.
Ketukan heels yang menggaung samar terdengar di lobby gedung perkantoran milik Adhyasta Group. Segarnya aroma kopi menyentil indra penciuman pemilik sepatu berhak tinggi tersebut. Langkah anggunnya membawa kaki beralaskan Louboutin itu ke sebuah kafe yang berada di lantai satu. Kafe bernuansa homming tapi elegan dengan dominasi warna hitam dan gold. Suasana kafe lumayan ramai, mungkin karena ini sudah mendekati waktu makan siang. Banyak pegawai dari Adhyasta maupun perusahaan sekitar yang menjamu mulutnya dengan pahitnya coffee. Bersenda gurau dengan teman sekantor, ngopi bersama kekasih atau bahkan meeting dengan klien. Kafe ini menyediakan tempat serbaguna yang bisa di gunakan untuk kondisi apapun.
Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang mempunyai janji temu dengannya di tempat ini. Setelah mencari dan ternyata tidak membuahkan hasil, ia memutuskan untuk menelfon orang itu. Nada sambung terdengar dua kali sebelum kemudian terdengar suara bas orang yang ditelfonnya.
"Kau dimana? Aku sudah di cafรฉ," celoteh perempuan itu memilih sebuah meja dekat dengan pintu masuk. Tujuannya supaya ia bisa dengan mudah mengamati orang-orang yang lalu lalang di kafe ini.
"Lift. Suara denting lift dapat didengar oleh perempuan itu.
"Cepatlah! Aku tidak mau menunggumu sendirian seperti orang bodoh," ujar perempuan itu dingin.
"Kau terlihat cantik dengan gaun warna hitam itu, jadi jangan mengumpat dan membuat noda pada penampilanmu yang menganggumkan.
Perempuan itu menaikkan alisnya ke atas, merasa bingung dengan ucapan pria di ujung telfon. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, perempuan itu menemukan pria yang menatapnya dengan tajam, berdiri di balik jendela cafe menghadap ke arahnya. Pria tampan dengan setelan armani warna marun, rambutnya tertata rapi dengan sentuhan minyak rambut, sepatu pantofelnya mengkilat akibat polesan semir sepatu, penampilannya terlihat necis dan berkelas.
Perempuan itu menatap datar pria yang berdiri di hadapannya dengan dinding kaca sebagai pembatas di antara mereka. "Apa aku harus mengucapkan terimakasih atas pujianmu barusan?" ucapnya sarkas.
Pria itu tersenyum miring. "Aku merasa tersanjung kalau kata itu keluar dari mulut calon istriku," balas pria itu tak kalah sarkas.