Tiga jam sebelum kejadian itu...
🎶
Aku Beku
Terpaku
Di sudut ruang itu
Melihatmu
Aku Beku
Terpaku
Disudut ruang itu
Melihatmu
Bersamanya
Berdua
Gembira
Tertawa
Sedang aku
Aku Beku
Terpaku
Di sudut ruang itu
🎶
"
Brisiiik!" Umpatku! Kututup kedua kupingku dengan kedua telapak tanganku. Lirik lagu ini benar-benar menyindirku. Aku benar-benar tersudut beku dipojokan ruangan ini. Ditembak peluru-peluru lirik lagu yang kejam itu.
Kulihat Nay sedang bercanda ria dengan temannya. Teman lama katanya. Seorang pria. Sedang aku pacarnya, dibiarkan jadi obat nyamuk dipojokan. Ah sial hariku.
Aku mengintipnya dengan kesal. Lalu dia melihat ku, tepatnya melihat mataku. Dan tersenyum. Ah mak. Kalo dia sudah tersenyum, hilang sudah neraka ku. Aku menunduk, tak mampu menatap matanya. Seakan matanya mengajakku bicara, dan berkata "sabar sayang". Hhh.. kuhela nafasku. Berusaha untuk bersabar.
Kami dalam perjalanan pulang sekarang. Peluk hangatnya di punggungku meredakan kesalku. Malam ini dingin. Jaket merah ku tak mampu membentengi. Namun begitu, punggungku hangat. Ada dia yang menjadi penyebab.
Ku laju lari motor beat ku. Ini sudah malam, aku harus mengantarnya pulang. Memang Nay tinggal sendiri dirumahnya. Dan tidak perlu kena damprat calon mertua jika mengantarnya pulang terlalu malam. Calon mertua? Ah semoga saja..
Tapi tetap saja aku tidak enak. Bagaimanapun dia perempuan.
Motorku ku matikan. Ku pasang standar. Dan ku lepas helm dari kepala Nay. "Masuk dulu Kyu, yuk" Nay menarik tanganku, mengajakku masuk ke dalam rumah sepinya. Bahkan aku belum sempat lepas helm ku.
"Kamu kenapa tadi Kyu? Kamu marah ya?"Nay membuka percakapan setelah setengah jam perjalanan di atas motor kami tanpa bicara. "Ah nggak" dustaku. Aku tidak bisa memandang matanya, karena sama saja aku menyerahkan diri bulat-bulat untuk dihipnotisnya. Aku cuma bisa menunduk dan coba mengalihkan perhatian.
Nay meremas tanganku. Dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku gugup. Matanya memejam. Ah sial. Dia mau menciumku. Nafas hangat nya sudah menerpa wajahku. Bibirku mengering. Aku benar-benar gugup. Aku tarik dan palingkan wajahku, berusaha menghindar dari bibirnya yang hampir menyentuh bibirku. Aku tak punya keberanian untuk menikmatinya.
Nay kecewa. Aku tahu, dia tidak pernah berhasil menyentuh bibirku. Ah sebenarnya, aku yang tak pernah berhasil menyentuhnya. Aku terlalu pencundang. Padahal senjataku mulai mengeras terbawa suasana.
"Na..Nay, Ka..kamu punya pompa kan? Kayaknya ban belakangku kempes" alihku. "Ah, iya ada. Coba cari di gudang belakang" jawabnya masih dengan nafas memburu, mungkin dia sedang berjuang melawan nafsu.
Aku bergegas ke gudangnya, sebenarnya berusaha untuk tidak berlama-lama di dekat Nay. Pura-pura ku masuk gudangnya yang letaknya terpisah cukup jauh dari rumah induknya.
Suasana gelap cukup mencekam. Gudangnya tua dan tidak terawat. Nay hidup sendiri, mana sempat dia merawat gudang ini. Kreek! Bunyi pintu ku buka. Mungkin sudah lama tidak dibuka, makanya bunyinya menyakitkan telinga. Aku meraba dinding mencari saklar. Dan kuhidupkan.
Suasana kini cukup terang. Ternyata ruangan ini tidak terlalu berantakan di dalam. Ada beberapa peralatan berkebun di sudut. Ada Sepeda kecil roda empat. Mungkin ini sepeda Nay dulu. Ada buku-buku tersusun agak rapi di rak dinding kanan.
Aku melangkah ke rak buku itu. Aku selalu tertarik dengan buku. Kulihat ini seperti buku-buku lama. Judul-judulnya dalam bahasa yang tak ku mengerti.
"Ini buku kakeknya Nay kah?" Aku bertanya dalam hati dengan penuh penasaran.
Kuambil satu buku yang paling besar dan berat menurutku. Sampulnya sudah koyak. Kertasnya sudah lapuk. Kutiup debu yang membungkusnya hampir di seluruh bagian. Ku baca judulnya "SANYA". Apa artinya? Ah mungkin ini judul Novel jaman dulu. Lalu kubuka entah halaman berapa. Dan judulnya "zama ƙarami". Apa lagi ini artinya?. Isinya beberapa kalimat rata tengah, yang tentu saja bahasa ini asing di otakku.
zama ƙarami,
kamar yara masu tsarki
"Apa sih ini?" Aku penasaran. Kemudian Aku mengucapkan kalimat itu.
zama ƙarami,
kamar yara masu tsarki
Tiba-tiba, benda-benda di sekitarku menjadi besar. "Tidaaaaaakkk"