Arvita langsung saja berdiri dengan sigap ketika Armand sudah cukup dekat dengannya, ia sudah memasang wajah cerianya. Kedua tangannya bertumpu pada bagian perutnya. Terlihat layaknya putri keraton yang menghadap rajanya.
"Selamat pagi Pak Armand."
Sapa Arvita dengan intonasi suara yang jelas, ceria dan menyenangkan. Arvita masih terdiam bagaikan patung. Hanya kepala dan sepasang matanya yang bergerak mengikuti kemana Armand berjalan.
Armand langsung saja masuk kedalam ruangannya, tanpa membalas sapaan Arvita atau memang dia tidak melihat Arvita? Mata Arvita masih tertumpu pada pintu ruang kerjanya yang sudah tertutup dengan rapat.
Arvita terus memajukan kepalanya, terhenti karena pelipisnya terkantuk dengan batasan penyekat meja kerjanya. "Aauuwww..." Keluh Arvita pelan karena rasa sakit, ia menyentuh dan menggosok-gosok pelipisnya dengan pelan.
Arvita kembali duduk, "Aneh sekali.." pikirnya. "Apa dia seperti itu? Tidak pernah berubah?"
Arvita berusaha untuk tidak telalu terbawa perasaan dengan sikap atasannya yang tidak mempedulikannya, ia mengambil salah satu map biru dan mulai mengerjakan kembali laporan yang belum terselesaikan.
"beeppp...."
Telepon kantor disampingnya berbunyi, Arvita sedikit terperanjat melihat tombol dengan lampu kecil berwarna hijau yang terus berkedip. Arvita pun menekan tombol tersebut.
"Arvita speaking." Ucapnya.
"Arvita, tolong keruangan saya." Suara Armand membuatnya matanya melebar, "Ya pak Armand." Jawab Arvita cepat dan singkat.
Arvita langsung meninggalkan areanya, berjalan cepat menuju ruang kerja Armand. Arvita membuka pintu ruang kerja dengan hati-hati. Mungkin orang yang melihatnya, akan menganggap bahwa dirinya sedang mengendap-ngendap mencurigakan.
Armand yang duduk, dan menatap laporan yang ada di meja kerjanya. Membalik-balikkan dengan cepat, Arvita tidak yakin apa mungkin Armand akan membaca semua laporan itu?
"Mana laporan dari pihak accounting?" Tanya Armand tiba-tiba, dan masih saja ia belum melihat Arvita yang berdiri didepannya.
"Ahh itu kan tadi pak Hidayat yang bilang kalau dia yang akan minta sendiri.." batin Arvita.
Armand menghentakan pulpennya, dan mulai mengangkat wajahnya. Menatap Arvita dengan pandangan dingin dan datar.
"Di-ma-na, la-po-ran-nya??"
"Baik pak, segera saya ambilkan." Ucap Arvita langsung membalikkan badannya, dan berjalan keluar ruangan.
Setelah berjalan kesana dan kesini mencari Hidayat, menanyakan pada Rosa dan Lidia. Akhirnya dengan penuh perjuangan Arvita bisa mendapatkan laporan yang dibutuhkan oleh atasannya.
Arvita meletakkan dengan hati-hati diatas meja Armand, "Pak Armand, ini laporannya."
Armand mengambil laporan tersebut, dan kembali membaca dengan teliti.
Arvita masih beridiri terpaku memandanginya. Armand yang sadar, melirik ke arahnya. Tidak ada senyuman yang terlihat, wajahnya selalu terlihat masam.
Arvita kembali tersenyum melihat wajah Arman sudah mendongak, karena belum ada ucapan yang keluar dari Armand.
Tiba-tiba suasana menjadi sangat dingin, seperti ada udara es yang tertiup ke arahnya. Arvita bergidik memegangi tengkuk lehernya, Dan Armand masih saja terdiam memandanginya, tubuhnya ia tegakkan dan bersender pada kursi kerjanya yang besar.
Armand memang tidak berkata apapun, tapi seperti mengatakan. "Apa lagi yang kamu tunggu?
"Kalau bapak butuh hal lain, bapak bisa panggil saya." Ucap Arvita masih memaksakan senyumannya. Perlahan ia membalikkan badannya dan meninggalkan Armand yang masih belum mengucapkan apapun kepadanya.
"Terimakasih Arvita, kerja kamu hari ini bagus sekali." Ucap Arvita dengan kesal, duduk dengan tangannya yang ia lipat dengan erat. Matanya menatap ke arah pintu kerja Armand yang tertutup.
"Sabar...sabar....Inget Arvita...Lo masih butuh pekerjaan ini. Ingat Sri Rohimah Binti Mulyadi mengancam akan nikahin lo kalau lo kehilangan pekerjaan ini."
Tiba-tiba wajah Samudra terlintas dipikirannya, Arvita pun mesam mesem tidak jelas. "Ahh... kalau Mas Samudra sih ganteng, baik lagi. Siapa yang gak mau..."
"Arvita... sadar...sadar..." Ia menepuk pipinya sendiri.
Arvita menarik nafasnya dengan panjang, mencari oksigen untuk memenuhi paru-parunya yang sesak dengan suasana yang canggung tadi.
Tangannya berputar-putar dihadapannya, mencoba mengatur kembali suasana hatinya saat itu.
Pantas saja Armand mendapat sebutan Hulk. Si monster Hijau yang terkenal itu memang selalu memasang wajah seram dan masam dalam situasi apapun. Memang cocok dengan karakter Armand yang mirip dengan si monster hijau.
Arvita menyangka bahwa ia bisa mengatasi bos barunya, kenyataannya.
"beepp..."
"Arvita tolong kamu bantu serahkan laporan ini kepada Hidayat."Ucap Armand ketika Arvita baru saja melangkah masuk ke dalam ruangannya. "Baik pak."
"beepp..."
"Arvita dimana kopi saya?"
"beepp..."
"Arvita siapkan materi rapat untuk besok, dan hubungi setiap departemen agar hadir tepat waktu besok!!".
"beepp..."
"Selesaikan laporan kunjugan kerja saya sebelum jam makan siang?"
"beepp..."
"Summary...summary.. saya mau summary kegiatan bulan kemarin dari bagian Humas?"
"beepp..."
"Diamana jadwal saya hari ini, dan berapa kali lagi saya harus terus memanggil kamu untuk datang?"
"beepp..."
"beepp..."
"beepp..."
"beepp..."
"beepp..."
"beepp..."
Arvita sedang menikmati makan siangnya, matanya masih melamun karena suara panggilan Armand masih saja membayangi pikirannya saat ini. "Ahhh..... " Keluh Arvita dengan helaan nafas yang lemah.
Arvita menatap makan siangnya, sepiring nasi dengan ayam goreng dan segelas es jeruk.
"Hhhh.... " sepertinya ini helaan nafasnya untuk kesekian sekalinya. Setidaknya ia bisa menikmati waktu makan siangnya dengan tenang tanpa ada gangguan.
Baru saja satu suap masuk kedalam mulutnya, Lidia dan Rosa sudah datang menghampirinya. "Hahh?? Marmud dan nenek galah?" ucap Arvita teramat pelan, melihat kedua wanita itu semakin mendekatinya..
"Vita.. Sendirian aja? Kita temenin ya?" Ucap Rosa sudah meletakkan nampan makanannya dengan percaya diri, tidak perlu menunggu jawaban darinya sama sekali.
"Gimana hari pertama kamu kerja sama Hulk?" Tanya Lidia, ia pun ikut meletakkan nampan makanannya tanpa ada perasaan bersalah.
"Helloouuw... Are you OK?" Rosa yang sadar Arvita hanya terdiam menatap mereka berdua.
"Marmud... geser dong.. sempit nih." Ucap Lidia menggeser nampan makanan milik Rosa.
"Lidi..!! Apaan sih!! Tangan lo yang kelebaran, tempatnya kan masih luas!!" Balas Rosa kesal.
"Marmud.. bawel banget!! Bisa kan geser dikit! Geser gak!! Kalau gak..."
"Kalau GAK APA??" Tantang Rosa.
"Marmud kaya lo, disentil juga langsung mental." Jawab Lidia.
"Ohhh... nenek galah, lidi, coba aja kalau berani."
Arvita memandang kedua orang tersebut dengan pasrah, mereka masih saja bertengkar. Bahkan ia tidak bisa menikmati makan siangnya dengan tenang.
Arvita mengambil tisu yang berada di mejanya, membuat bentuk bulatan dari tisu tersebut dan menutup telinganya dengan bulatan tisu yang baru saja dia buat.