"Pagi.. semuanya."
Lidia baru saja tiba diruang makan dan menyapa kedua temannya yang sedang berbincang ringan.
Rosa sedang mengoleskan selai cokelat pada roti tawar, sedangkan Arvita sedang menuang air teh yang masih mengepul panas.
"Pagi.. Lid." Sapa Arvita, sedangkan Rosa hanya mejawab dengan sebuah gumam yang tidak jelas karena mulutnya yang penuh dengan roti yang baru saja ia masukkan kedalam mulutnya.
"Apa itu Lid?" Tanya Arvita ketika Lidia meletakkan gulungan kertas yang panjang.
"Ini poster, kemarin aku dapat dari bagian desain. Hari ini mau meeting dengan pihak marketing, kita mau bahas mengenai promosi terbaru." Jawab Lidia dan ikut mengambil beberapa helai lembaran roti.
Lidia langsung memasukkan semua roti kedalam mulutnya, pipinya seketika menjadi mengembul dengan raut mukanya yang aneh dan lucu. "Mmmm..mmmm..."Ucap Lidia tidak jelas.
"Ihh... ngomong apa sih Lidi?" Tanya Rosa bingung.
"Gue duluan ya.." Lidia sudah menelan habis semua makanan yang didalam mulutnya, mengambil segelas susu milik Rosa dan menenggaknya dengan cepat.
"Lidi..!! Bisa kan buat sendiri!!" Rosa mendengus kesal melihat Lidia yang sengaja meminum susu miliknya.
"hehe... Maaf ya... nanti siang gue traktir deh. Udah ah.. gue buru-buru.. bye... teman-temanku yang baik hati dan super cantik." Lidia mengambil gulungan poster miliknya, dan berlalu meninggalkan Rosa dan Arvita.
Arvita menarik kursinya, dan menyeruput gelas tehnya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya sedang memegangi ponsel yang sangat ia perhatikan dengan serius.
Rosa memperhatikan tingkah laku temannya, dan ikut melirik kearah ponsel temannya.
"Loh itu IG punya Angelina Rustam, kan." Ucap Rosa, dan Arvita menoleh kearahnya.
"Lo kenal Ros? Sama tunangan pak Armand?" Arvita meletakkan gelas tehnya.
"Ya... kenal karena dia tunangan pak Armand, dia dari Keluarga Rustam. Yang aku tahu pertunangan mereka itu dilakukan karena kerjasama perusahaan EG group dan Rustam group." Jelas Rosa dan mengambil kembali selembar roti.
"Terus kenapa lo stalker IG dia?" Tanya Rosa lagi.
"Enggak tahu kenapa, cuman perasaan gue bilang... kalau gue harus cari tahu banyak soal dia. Apalagi gara-gara kejadian kemarin." Arvita mengepal kesal karena mengingat pandangan cemooh dari Angelina. Rosa langsung tersedak, dan menepuk dadanya sendiri.
"Ya.. soal bunga Lily itu kan.. Selamat Vit, lo sudah jadi berita hangat kemarin." Rosa menyengir seraya menepuk bahu Arvita.
***
Arvita sudah tiba di kantor lebih awal seperti biasanya, kegiatan rutinnya yaitu merapikan semua laporan yang diperlukan oleh Armand di pagi hari itu.
"Mm.. hasil rapat kemarin, laporan keuangan, departemen Humas, marketing.. " Arvita menatap semua laporan yang sudah ia susun dengan rapi. "Mmm... sudah semua sepertinya." Ucap Arvita.
"Ahh... kopi juga sudah siap." Arvita tersenyum memandangi gelas kopi yang masih mengeluarkan aroma kopi yang sangat kuat.
Pintu ruang kerja Armand tiba-tiba terbuka, dan Armand sudah berada didalam ruangan tersebut. Arvita langsung melirik kearah jam tangannya.
"Pa..pagi pak.. Tumben sekali bapak sudah datang." Arvita menjadi canggung.
"Mm.. memangnya kenapa? Saya tidak boleh datang pagi-pagi?" Tanya Armand lagi.
"Boleh pak, masa saya larang bapak." Arvita menyeringai dengan lebar, berjalan mendekat kearah Armand. "Maaf pak." Arvita semakin mendekat kearah Armand.
Armand tampak bingung dan sedikit memundurkan wajahnya, ketika Arvita semakin mendekat kearahnya. "Ada apa, Arvita?"
Arvita memegangi dasi Armand, dan membenarkan posisi dasi yang terlihat kendur dan tidak sesuai dengan tempatnya. "Dasi bapak tadi sedikit miring, saya hanya berniat untuk membenarkan saja." Ucap Avita menyeringai manis.
"Oh.. terimakasih." Kali ini Armand yang menjadi canggung.
"Sama-sama pak, kalau begitu saya keluar dulu ya pak. Semua laporan sudah saya siapkan diatas meja. Dan jangan lupa dengan meeting kita pak jam sepuluh nanti." Arvita mengingatkan.
***
Arvita dan Armand sudah berada dalam satu mobil, rencananya mereka akan menuju lokasi pertemuan. Hanya saja jalanan yang padat karena adanya penutupan jalan di beberapa jalan utama, membuat mobil yang mereka tumpangi tidak bergerak sama sekali.
Wajah Armand sudah tampak lebih masam, berkali-kali Arvita mendengar bos-nya mengumpat kasar dalam bahasa belanda.
"Pak Armand." Arvita melirik kearah Armand, dan pria itu langsung menolehnya dengan wajah tegang.
"Sepertinya kalau seperti ini terus, kita akan benar-benar terlambat. Bagaimana kalau kita jalan kaki sebentar ke Stasiun terdekat. Naik kereta akan lebih cepat pak." Arvita memberikan usul yang menurutnya adalah sebuah ide yang sangat cemerlang.
Bukan karena Armand sepaham dengan saran sekertarisnya, tapi karena memang tidak ada solusi lain agar ia bisa sampai di Menara Rustam. Pertemuan mereka sangat penting, dan Armand juga tidak ingin ia terlambat untuk datang.
Banyak mata yang memandang ke arah Armand, pria dengan balutan jas yang mahal berada diantara pengguna kereta api. Armand berdiri dekat dengan pintu masuk, ia terus saja memegangi pegangan pintu, dan merasa tidak nyaman dengan banyaknya mata wanita yang terus melirik kearahnya.
Kereta api terhenti sesaat disalah satu stasiun, pintu masuk terbuka lebar dan para penumpang yang masuk lebih banyak jika dibandingkan dengan penumpang yang turun.
Tubuh Armand semakin merapat, dan menatap bingung pada para penumpang yang masih terus memaksakan diri untuk masuk.
"Pak Armand, anda baik-baik saja?" Ucap Arvita yang berada disamping Armand, ia pun ikut terhimpit dengan banyaknya penumpang yang terus masuk.
"Jadi ini ide kamu yang cemerlang itu ya?" Sindir Armand ketus.
"Tenang pak, dua stasiun lagi dan kita akan sampai. Coba kalau kita naik mobil, kita pasti masih belum bergerak sama sekali." Arvita memberikan senyuman lebarnya dengan percaya diri.
"Hhh.." Dengus Armand kesal dan terpaksa.
"Ihh.. kasi jalan dikit dong bu." Seorang wanita berumur empat puluh tahun bertubuh gempal berada tidak jauh diantara Arvita dan Armand. Wanita itu sepertinya kesulitan untuk turun, dan dengan kesal dan sekuat tenaga mendorong orang-orang yang berada disekitarnya.
"Ibu... sabar dong." Seru suara wanita lain yang Arvita tidak tahu berasal dari mana.
"Sabar gimana... Ini saya mau turun gak bisa!!" Suara lantang terdengar dari sang wanita yang masih terus menerobos untuk bisa turun.
Semakin ia mendesak untuk turun, tubuh Arvita pun semakin terhimpit. Padahal Arvita sudah sekuat tenaga untuk tidak terlalu berdekatan dengan Armand. Tapi tenaganya tidak akan cukup kuat menahan arus orang-orang yang terus memberi tekanan pada dirinya.
Arvita kehilangan keseimbangan, dia sudah tidak bisa membayangkan mungkin saja tubuhnya terjatuh dengan kemungkinan terburuk terinjak-injak dengan kerumunan para pengguna kereta.
Armand yang tahu sekertarisnya sudah kehilangan keseimbangan langsung meraih pinggang Arvita, dan satu tangan lainnya mendekap tubuh Arvita. Sekali lagi dorongan yang kuat mereka rasakan, tepat ketika wanita bertubuh gempal itu berhasil turun dan melewati mereka berdua yang berdiri dekat dengan sisi pintu.
Disaat bersamaan Arvita mendongakkan kepalanya, baru kali ini ia melihat wajah Armand yang sangat dekat. Dan... disaat bersamaan juga ketika dorongan kuat itu terjadi, wajah Arvita terkantuk dan keningnya mengengai bibir Armand tanpa tidak sengaja.
"Arvita...?" Ucap Armand pelan, dan langsung memundurkan tubuh Arvita.
"Ahh.. maaf pak.. Tadi itu...gara-gara ibu tadi.." Arvita bingung menjelaskan, dan semakin merona malu ketika semua pengguna kereta semakin memperhatikan kearah mereka.