"Sial...sial..."
Umpat Arvita berkali-kali pada dirinya sendiri. Melirik kearah jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dan dia masih belum meninggalkan rumahnya.
Rohimah memperhatikan putrinya yang terlihat panik dan terlalu membuat keributan di pagi hari, berlarian kesana kemari dengan handuk yang masih ia kenakan di atas kepalanya.
"Vita, kamu enggak sarapan dulu?" Tanya Rohimah, ketika melihat putrinya sudah lengkap mengenakan pakaian kerjanya.
"Enggak nyak, Vita udah kesiangan nih, jadwal interviewnya jam sepuluh. Kenapa enyak gak bangunin sih.."?? Protes Arvita seraya memakai sepatu kerja hitamnya.
"Bangunin kok, kamunya aja yang enggak denger." Jawab Rohimah singkat.
"Masa sih? Tumben biasanya enyak guyur Vita kalau susah bangun." Arvita memandangi ibunya dengan curiga, "Enyak gak sengaja kan biarin Vita kesiangan ..??"
"Apa... sengaja? Enggak kok.. Udah ah enyak mau belanja ke pasar dulu." Rohimah pun memalingkan wajahnya, karena tebakan putrinya adalah benar. Rohimah ingin sekali putrinya hari itu bisa membatalkan jadwal wawancaranya, demi mewujudkan rencana sore hari nanti.
Stasiun kereta hari itu sangat padat, setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing. Termaksud dengan dirinya, Arvita masih menunggu di area peron.
Kereta tujuannya masih belum tiba, sedangkan dia hanya memiliki waktu setidaknya tiga puluh menit untuk bisa segera sampai.
"Apakah mungkin?"
Itu yang menjadi pertanyaan dalam benaknya. Apakah mungkin dia akan tiba sebelum waktunya, Arvita berkali-kali melirik jam tangannya. Berdecak dengan kesal, karena kereta mengalami sedikit keterlambatan.
Suara wanita terdengar dari alat pengeras suara, petugas informasi tersebut memberitahukan bahwa kedatangan kereta akan segera tiba. Serta menghimbau para pengguna kereta, agar berdiri dan menunggu di batas aman peron.
Arvita memandangi kereta yang baru saja tiba, ia berdiri tepat di depan pintu kereta. Dan terparahnya, dia barus saja sadar bahwa dia berada di area khusus kereta wanita.
Dibelakangnya sudah banyak ibu-ibu yang membawa anak, para pekerja wanita, dan para manula yang ikut menunggu. Tidak.menunggu waktu lama, pintu otomatis tersebut tiba-tiba terbuka, dan dengan cepat rombongan orang bergerumul keluar dari dalam kereta tersebut.
Arvita seperti kehilangan arah, ketika dia terombang-ambing diantara banyaknya yang penumpang yang ingin turun dan para penumpang yang berebut untuk naik.
Arvita berputar-putar didepan pintu masuk cukup lama, setelah ia juga merasa cukup dengan kepalanya yang sudah dibuat pusing. Dan akhirnya ia tersadar bahwa tinggal dirinya saja yang belum masuk.
Semua pasang mata memandangi dirinya, ada yang tersenyum aneh, ada juga yang merasa iba. Arvita mendelik bingung, bahkan pintu masuk pun sudah penuh dengan orang-orang yang sudah memadati kereta khusus wanita tersebut.
Arvita melangkahkan kakinya, berusaha menerobos masuk kedalam kereta tersebut. Tapi dengan tenaga apapun, tetap tidak berhasil, saat ini sepertinya tidak ada yang berbelas asih kepadanya, walaupun matanya sudah menatap dengan tatapan memohon.
Arvita masih berdiri didepan pintu masuk, nafasnya tersengal-sengal karena sudah mulai lelah menerobos kawanan yang ada dihadapannya.
Arvita melirik ke arah kereta lainnya, "Tidak ada pilihan lain." Batinnya mengucapkan dengan serius.
Ia pun memilih gerbong lainnya, walaupun harus bercampur dengan para pria setidaknya ia berhasil dengan mudah untuk masuk kedalamnya.
Arvita tampak menyesali pilihan pakaiannya hari itu, harusnya ia bisa mengenakan celana kerja. Karena terlalu terburu-buru ia justru mengenakan rok yang terlalu ketat dengan sedikit belahan di pinggir, pakaiannya saat itu benar-benar membatasi pergerakan.
Arvita juga sadar makan malamnya semalam dengan terlalu banyak, setidaknya masih menyisakan dan membuat perutnya sedikit membucit.
Arvita bahkan lupa membawa blazer-nya, ia hanya mengenakan kemeja putih polos. Dan jujur saja ia sadar, bahwa kemeja yang ia kenakan bahannya terlalu tipis.
Arvita mengetuk-ngetukkan dahinya sendiri dengan kesal, menyadari betapa bodohnya dia hari ini.
Pintu kereta tertutup, menandakan perjalanan akan segera dimulai. Walau Arvita tidak mendapatkan tempat duduk, ia masih bersyukur bisa berpegangan pada pegangan kereta yang tergantung banyak.
Arvita mulai terbiasa dengan perjalanannya, kereta mulai terhenti sebentar di setiap stasiun. Tentunya jumlah penumpang semakin bertambah, kondisi didalam kereta pun semakin padat .
Beberapa penumpang mulai merapatkan diri mereka, karena terus bertambahnya jumlah penumpang yang masuk.
Arvita awalnya tidak begitu menyadari, dengan berbagai sentuhan yang dia pikir awalnya tidak disengaja. Tapi kali ini ia merasa ada sebuah tangan yang sedang mendarat diarea belakang tubuhnya.
Bahkan tangan tersebut sesekali seperti mencoba meremas dengan perlahan.
Arvita juga bisa mendengar suara nafas laki-laki yang berat persis dibelakangnya, ia mengepal tangannya dengan erat karena emosi mulai menguasai dirinya.
Lagi tangan itu mulai meremas bagian belakang tubuhnya dengan sengaja, sepertinya Arvita sudah tidak peduli dengan kondisi sekitarnya.
Biarlah hari ini menjadi berantakan seutuhnya, biarlah dia tidak mengikuti jadwal wawancara kerjanya. Asalkan dia bisa memberi ganjaran yang setimpal pada pria hidung belang dibelakangnya.
Baru saja Arvita ingin membalikkan tubuhnya, tiba-tiba saja seorang pria yang lebih tinggi dari dirinya sudah mengeluarkan suara.
Membuat orang-orang yang berada didalam kereta tersebut memandang ke arah tempat dimana Arvita berdiri.
"Hei.. PAK!!"
Ucap pria tersebut kepada pria yang berada dibelakang Arvita, sedangkan Arvita memandang dengan takjub. Arvita saat ini sedang terpesona memandangi pria yang berada disampingnya, pria itu berwajah kotak dengan kacamatanya yang berwarna merah.
Wajahnya yang manis, membuat Arvita lupa kalau dia sendiri sebenarnya sedang ingin menumpahkan amarahnya.
Pria kacamata itu langsung saja memegangi tangan pria yang sedang berbuat tidak senonoh pada Arvita, mengangkat tangan pria tersebut dengan sengaja.
"Bapak ini, sengaja kan melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini." Ucap pria berkacamata tersebut. Pria yang berada dibelakang Arvita setidaknya berusia empat puluh tahun, memiliki kumis yang tebal dengan matanya yang bulat.
"Apa maksud kamu??" Ucap pria kumis tersebut, dan dengan kasar melepaskan cengkraman tangan dari si pria berkacamata.
"Saya melihat semuanya pak!! Bahkan mbak ini pasti juga merasakan hal yang tidak nyaman atas tindakan pelecehan yang bapak lakukan..!!"
" Harusnya bapak bisa menghormati wanita, dan tidak melakukan hal tidak terpuji seperti ini." Jawab pria berkacamata tersebut. Dan Arvita mengangguk-angguk dengan setuju.
"Apa kata istri bapak, kalau tau bapak bertindak seperti ini?"
"Apa istri?? Bagaimana kamu bisa tau saya punya istri?" Pria berkumis itu mulai panik.
"Apa bapak lupa dengan cincin kawin yang bapak gunakan sekarang." Balas pria berkacamata itu lagi, Arvita semakin takjub dengan pria berkacamata itu. Takjub dengan pengamatannya yang detail dan terperinci.
"Saya tidak melakukan apapun, kalian salah paham." Pria berkumis itu masih berusaha membela diri.
"Tidak melakukan apapun?? Saya yang menjadi korban disini pak, bapak itu sudah meremas-remas area belakang tubuh saya!!" Ucap Arvita lantang.
Semua mata mulai memandang ke arah mereka, bahka ada dari mereka yang menonton mulai merekam adegan perseturuan tersebut.
Keributan ini akhirnya memancing salah satu petugas penjaga kereta untuk menghampiri, "Apa apa ini pak? Ibu?"
Tanya petugas tersebut ketika berhasil dengan susah payah melewati kerumunan penumpang yang padat.
Dan....
Arvita, pria berkacamata, dan pria berkumis itu sudah tidak berada didalam kereta lagi. Petugas memutuskan untuk memproses masalah ini dan membawa mereka untuk turun dari dalam kereta, menuju kantor terdekat.
"Jadi dengan Pak bagus ya?" Ucap salah satu petugas kereta dari balik meja kerjanya, memandangi tanda pengenal dari pria berkumis.
"Ya pak." Jawab Bagus menunduk dengan malu.
Lalu petugas tersebut, mulai mengambil dua tanda pengenal lainnya milik Arvita dan pria berkacamata.
"Dengan Mba Arvita dan Mas Samudra?"
"Vita saja.."
"Samudra saja"
Ucap mereka bersamaan, dan bersamaan juga keberatan dengan panggilan mas dan mba.
"Baiklah," Petugas tersebut memandang curiga. "Apa kalian berdua memiliki hubungan?" Tanya petugas tersebut. Arvita dan Samudra pun bersamaan menggeleng.
"Mmmm... apa kalian saling mengenal?" Tanya petugas itu lagi. Dan mereka berdua pun kembali menggeleng.
"Jadi begini pak, dengan...." Potong Samudra.
"Saya Satiyo... Biasa dipanggil Tiyo." Jawab petugas tersebut seraya menunjukkan name tag yang tersemat didadanya.
"Jadi begini Pak Tiyo, kebetulan saya adalah saksi dari kejadin yang menimpa Vita dan pria ini. Saya bisa menjamin, kalau benar pria ini (Menunjuk kearah pria berkumis)"
"... dia memang benar telah melakukan tindakan pelecehan kepada Vita." Jelas Samudra dengan percaya diri. "Dan kalau bapak ini masih mengelak, dan tidak mau meminta maaf saya berani membela Vita."
Arvita menatap dengan terkesima, semua ucapan yang keluar dari Samudra membuatnya jadi tersipu dan merasa disanjung karena pria tersebut benar-benar membela dirinya.
"Kebetulan saya seorang pengacara, saya bisa membantu Vita untuk menuntut bapak atas tindakan pelecehan yang sudah bapak lakukan." Ancam Samudra, walaupun masih dengan pembawaan yang santai.
Pria berkumis itu langsung saja menunjukkan rasa takut dan panik, sungguh ia tidak mau memperpanjang masalah ini. Dan pada akhirnya pria bernama Bagus tersebut sepakat untuk membuat permintaan maaf secara tertulis disertai dengan perjanjian, agar ia tidak melakukan tindakan yang sama kepada Arvita ataupun wanita lainnya.
***
"Terimakasih ya.. saya enggak akan tau apa jadinya, seandainya anda tidak membantu saya tadi" Ucap Arvita tampak malu menghadapi Samudra yang berdiri dihadapannya, pria itu membalas dengan sebuah senyuman manis yang semakin membuat Arvita menjadi terpesona.
"Tidak perlu berterimakasih seperti itu, sudah sewajarnya saya membela kamu yang diperlakukan seperti itu." Balas Samudra,
"Oh ya kita belum berkenalan secara resmi, nama saya Samudra." Samudra menjulurkan tangannya untuk bisa berjabat tangan.
"Saya Arvita." Arvita membalas jabatan tangan Samudra, masih tersenyum malu dan menunduk.
Tiba-tiba saja pandangan Arvita teralihkan pada jam tangannya sendiri.
Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 10.15. Arvita langsung saja melepas jabat tangannya,dan memekik kaget.
"Ada apa?" Tanya Samudra yang bingung melihat perubahan ekspresi Arvita.
"Maaf... saya sudah sangat telat hari ini. Arrhh.... padahal hari ini adalah jadwal wawancara kerja saya, sekali lagi maafkan saya." Ucap Arvita, dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Samudra yang masih memandangi punggungnya.
"Wanita yang manis, sayang sekali aku belum meminta kontaknya." Ucap Samudra tersenyum kecil, ia pun mulai membalikkan badan dan melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.