Tak pernah sekalipun terpikirkan bahwa pelatihan ini akan membimbing diriku pada seorang gadis yang telah lama menantikan kedatanganku.
Aku sungguh tak tahu lagi harus bersikap seperti apa.
Berbagai macam hal telah menimpa diriku, tapi aku selalu bisa untuk mengatasinya.
Namun untuk yang satu ini, sangatlah sulit bagiku untuk menyikapinya.
"T-tunggu sebentar Ananta, anda sedang tidak bercanda bukan?"
Aku kerutkan dahi ku disaat memastikan kembali kebenaran akan ucapan Ananta.
Setelah itu pun Ananta mulai menggerakkan kepalanya agar lebih dekat padaku, tepat sebelum dia menjawab semua keraguan ku.
"Apakah tuan Arya berpikir jika saya sanggup bercanda dalam situasi seperti ini?"
Ucapannya membuatku sedikit merasa bersalah, karena telah mengatakan hal bodoh pada Ananta.
Karenanya aku melirik kesamping, disaat mengutarakan rasa bersalah ku.
"Ah ha ha... Tentu saja tidak mungkin. Uh... Maafkan aku."
"Tak perlu dipikirkan lagi, tuan Arya. Sudah sewajarnya bagi anda jika masih merasa kebingungan. Karena disaat anda masih belum mengetahui apapun, tiba-tiba saja dihadapkan pada kenyataan yang tak pernah anda kira."
"Aku akui jika hal ini masih membingungkan ku. Aku baru melalui masa hidup selama 20 tahun, namun ternyata aku memiliki istri yang telah menanti diriku selama ratusan ribu tahun lamanya. Ini sungguh tidak masuk akal bagiku."
"Waktu memang memiliki misteri tersendiri, dan itu sudah diluar pemahaman mahluk seperti kita. Namun percayalah jika gadis yang berada dalam pelukan anda sekarang, memanglah Istri anda."
Pernyataan Ananta dipenuhi dengan keyakinan, aku pun tidak meragukan ucapannya sama sekali.
Namun tetap saja aku masih belum mendapatkan kepastian jelas untuk situasi yang menimpaku sekarang.
Mungkin jika aku bertanya pada Gadis ini langsung, beberapa hal dapat dipecahkan.
Tapi Gadis ini masih saja mendekap ku, aku jadi sedikit kesulitan untuk mengajukan pertanyaan.
Entah berapa lama dia akan begini terus?
Meski agak tidak enak hati untuk melepas pelukannya dengan sedikit paksa, aku harus tetap melakukannya.
Aku meraih bahunya dengan kedua tanganku, kemudian mendorongnya dengan lembut agar dia melepaskan pelukannya.
Setelah pelukan gadis ini terlepas, tatapan mata kami berdua akhirnya bertemu.
Jika diperhatikan lagi, gadis ini memiliki mata yang sangat indah serta parasnya begitu mempesona.
Tubuh indahnya yang tak tertutupi sehelai kain pun, kembali terekspos didepan mataku.
Sontak saja aku memalingkan wajahku dari dirinya, agar aku masih sanggup untuk mengendalikan diri.
Jantungku jadi berdetak lebih kencang dari biasanya.
Mimpi apa aku semalam? Bisa mendapatkan istri seperti dia.
Perwujudan keindahan seperti dirinya hanyalah milikku seorang.
Aku benar-benar senang sekali, namun aku harus menahan rasa ini.
Karena aku sudah menjalin hubungan dengan gadis yang aku cintai.
"Huh... Sayangnya sekarang aku sudah memiliki seorang kekasih. Jika tidak, aku sudah pasti akan membawamu untuk bertemu dengan keluargaku. Lalu menjadikan dirimu istriku yang sesungguhnya."
Gadis itu hanya memiringkan kepalanya saat menanggapi perkataanku dan terus saja menatap diriku.
"Ah... L-lupakan dengan apa yang aku ucapkan barusan. Kenapa aku mengatakan hal konyol seperti itu. Oh iya... A-apa kamu tidak memiliki pakaian sama sekali? Pastinya tidak nyaman bagi wanita sepertimu disaat seluruh tubuhmu tidak tertutupi selembar pakaian pun, dan malah dilihat begitu saja oleh seorang pria yang baru saja kamu temui."
Dia tidak menjawab dan terus saja memandangiku.
"Anu, nona? Apa kamu tidak mengerti ucapanku?"
Gadis ini malah mendekat dirinya lagi padaku, lalu menyandarkan wajahnya pada dadaku.
Kedua tangannya mencengkram dengan lembut kain kaos pada sekitar bagian dada juga.
Perlahan dia mengusap-usap wajahnya disitu.
Aku sungguh tak bisa mengabaikan perasaan bahagia ini.
Sikap manjanya entah mengapa justru membuat lubuk hati ini terasa hangat.
"N-nona, bisa tolong berhenti sebentar. Bukannya aku tidak menyukai perilakumu. Tapi tolong setidaknya jawab ucapanku. Jika tidak, aku sungguh bingung harus berbuat apa."
Ananta yang dari tadi hanya mengamati tingkah kami, kemudian ikut masuk dalam perbincangan kami.
Meski itu tak bisa disebut perbincangan, karena hanya aku yang berbicara.
"Aku baru ingat jika Ratuku masih belum mempelajari bahasa era sekarang. Maafkan aku, karena tidak segera menyadarinya."
"Pantas saja... Aku sendiri kenapa juga bisa tidak menyadarinya. Dia sudah hidup sejak era ratusan ribu tahun yang lalu. Sudah pasti dia tak akan paham dengan bahasa ku."
"Aku akan memasukkan informasi bahasa milikmu kedalam pikiran ratuku. Jadi tolong pegangi dia dengan hati-hati."
"Aku mengerti Ananta, lakukanlah."
"Mohon maafkan aku, Ratuku."
Lidah Ananta mulai menjulur dengan perlahan.
Lalu ujung lidahnya pun menyentuh dahi gadis ini, disusul munculnya seberkas cahaya pada titik sentuhan itu.
Gadis ini mulai merasakan kesakitan dan mulai meronta-ronta.
Dengan sigap aku mendekap dan menahan tubuhnya.
"Uuuuuugghhhhh."
Suara rintihan terdengar samar dari mulutnya, pada saat yang sama air mata miliknya juga mulai menetes.
Membuatku menyadari betapa lemah dan rapuhnya kondisi gadis ini sekarang.
Perasaan tidak tega, bergejolak sangat kuat dalam hatiku.
Aku ingin menghentikan proses memasukkan informasi itu, namun semua ini juga demi kebaikannya.
Telapak tangan kananku kemudian aku gerakkan menuju kepala bagian belakang gadis ini.
Dengan lembut, aku mendorong kepalanya agar tersandar pada dadaku lagi.
Seerat mungkin aku mendekap dirinya dalam pelukan ku.
Aku mencoba memberikan kehangatan dan kenyamanan, agar dia bisa sedikit melupakan rasa sakitnya.
Untunglah gadis ini bisa sedikit lebih tenang, meski masih saja merintih kesakitan.
Kemudian dalam beberapa menit, akhirnya proses itu berakhir.
Napas gadis ini begitu terengah-engah, keringatnya juga mulai bercucuran dengan deras.
Aku membiarkannya bersandar padaku selama yang dia butuhkan, untuk menenangkan diri.
Setelah beberapa waktu, dia kemudian bangkit dari sandarannya.
Dan menatap wajahku dengan seksama.
"Te-terima-kasih."
Mataku terbuka lebar-lebar, pada akhirnya aku dapat mendengar sebuah kalimat dari mulutnya sendiri.
Walaupun masih terbata-bata, tapi suaranya terdengar begitu lembut.
"K-kamu... Kamu akhirnya dapat berbicara... Syukurlah... Aku bisa merasa lega, perjuanganmu barusan tidaklah sia-sia."
Tanpa kusadari, aku sedikit menitikan air mata karena rasa haru.
Gadis ini membalas ucapanku dengan senyum lembut miliknya.
Aku juga ikut tersenyum setelah melihat senyumnya yang sangat indah.
"Jadi Nona, siapa namamu? Maukah kamu memberitahukannya padaku?"
Sayangnya dia malah menggelengkan kepala, untuk mengisyaratkan padaku bahwa dia tak sanggup melakukannya.
"Ma-maafkan aku, se-sebenarnya aku tidak bisa mengingat apapun. Jadi aku tak dapat memberitahukan apapun padamu."
Pernyataan dirinya telah membuat diriku agak tersentak.
Mungkinkah dia mengalami amnesia?
"Kamu tak dapat mengingat apapun? Lalu mengapa kamu sebelumnya langsung memeluk ku tanpa sungkan? Bersikap seolah kita ini adalah dua orang yang sudah lama berpisah, lalu akhirnya dapat berjumpa kembali. Apa kamu tidak takut jika nantinya aku akan melakukan hal buruk padamu?"
Tepat sebelum gadis ini menjawabku, dia menyentuh bagian dadanya menggunakan kedua telapak tangan miliknya.
"A-aku juga tidak mengerti. Saat pertamakali aku membuka mata dan melihat dirimu. Didalam sini terasa sakit sesaat... Namun terasa ringan sesudahnya... Dan juga ada rasa bahagia disaat yang bersamaan. Lalu keinginan untuk mendekapmu seerat-eratnya, muncul dengan begitu kuat. Jadi tolong maafkanlah aku."
Melihatnya mengucapkan itu dengan wajah penuh penyesalan, tanpa sadar aku menepuk kepalanya selembut mungkin.
Tapi wajahku menjadi terlihat muram, ketika aku melanjutkan perbincangan kami.
"Kamu pasti merasakan kesepian. Menunggu didalam kegelapan seorang diri, dalam waktu yang sangat lama. Ditengah ketidakpastian, tanpa ada siapapun disisimu. Meski aku belum tahu kenapa semua ini bisa terjadi, setidaknya aku menyadari bahwa itu juga karena diriku. Jadi akulah yang harus minta maaf padamu."
Setelah mendengar rasa sesal ku, dia malah mendekatkan wajahnya pada wajahku, hingga jaraknya kurang dari 15 cm.
Kemudian pipiku dia pegangi dengan kedua telapak tangannya yang terasa amat lembut.
"Aku yakin kamu tidak bersalah sama sekali. Karena saat pertama kali melihat dirimu, yang kurasakan adalah perasaan sangat bahagia. Sudah pasti kamu tidak pernah sekalipun melukaiku. Jadi berhentilah menunjukkan wajah itu... Wajah yang terlihat begitu sedih... Karena itu terasa menyakitkan bagiku, saat melihatmu seperti itu."
Setelah dia selesai berbicara, kami baru sadar jika wajahnya sangatlah dekat dengan wajahku.
Perasaan malu-malu kucing muncul begitu kuat dalam benakku.
Wajahku beralih warna menjadi merah padam, diikuti gadis itu yang wajahnya juga ikut menjadi merah padam.
Kami saling memandang untuk beberapa saat, sembari menahan perasaan yang bergejolak.
Jantungku berdetak begitu cepat, dan aku yakin dia juga mengalami hal yang sama denganku.
Bibirku sedikit bergerak maju dengan sendirinya, namun langsung aku tahan.
Disisi lain bibir gadis itu malah ikut bergerak mendekat, aku jadi tak bisa menahan lagi untuk mendekatkan bibirku dengan bibirnya.
Akhirnya bibir kami saling bersentuhan, bibir miliknya terasa amatlah lembut di bibirku.
Maafkan aku Gita, tapi sepertinya aku dan gadis ini memang memiliki sebuah ikatan takdir yang sangat dalam.
Air mataku mulai menetes mengikuti rasa bersalah pada kekasihku.
Kemudian kami saling menekan bibir kami lebih kuat lagi.
Aku mendekap tubuh gadis ini dengan sangat erat, sembari saling menuangkan perasaan dalam ciuman hangat kami.
Berciuman dengan gadis secantik dirinya, apalagi melihat dirinya yang saat ini tak mengenakan sehelai pakaian pun, dan lagi dia sedang berbagi kasih denganku.
Membuat diriku sangatlah bergelora, tanganku bergerak sendiri untuk meraba tiap bagian tubuhnya.
"Hmmmmphhhhh..."
Tentu saja gadis ini jadi mendesah, namun suaranya justru membuat ku makin bergairah.
Dia juga tidak terlihat keberatan sama sekali dan menerima semua perbuatanku terhadap tubuhnya.
Kami terus melakukannya meski hampir 5 menit berlalu.
Ananta yang sedari tadi melihat kami, segera berpaling dan bergerak menjauh.
"Uh... Saya tak ingin mengganggu... Jadi saya akan menunggu disudut aula ini. Silahkan nikmati saja waktu kalian berdua."
Mendengar ucapan Ananta barusan telah membuatku tersadar kembali.
Kemudian dengan hati-hati aku melepaskan ciuman kami.
Setelahnya aku menatap wajah gadis ini dalam jarak sangat dekat.
"Maafkan aku... Seharusnya aku tak boleh melakukan ini. Meski kamu adalah istriku, tapi kita baru saja bertemu. Namun aku begitu saja memuaskan hasrat ku padamu. Padahal aku saat ini-"
Telapak tangan kanannya, tanpa diduga langsung membelai pipiku.
Dia kembali memberikan senyuman hangat kepada diriku.
"Tak mengapa... Aku sekarang merasa bahagia bisa lebih dekat denganmu... Menjadi satu denganmu... Aku merasa ingin tetap seperti ini. Bersama dirimu untuk seterusnya."
Kedua pergelangan tangannya bergerak untuk merangkul kepalaku.
Lalu menaruh kepalaku di dadanya, jelas aku jadi sangat terkejut.
Kepalaku sekarang terbenam dalam kelembutan buah dadanya.
Aku belum pernah merasakan kenyamanan seperti ini, begitu hangat dan juga lembut.
Walaupun sekarang aku berada dalam situasi yang sanggup menenangkan hatiku, namun air mataku justru kembali mengalir.
"Aku tak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini darimu. Karena saat ini aku... Telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Aku tak sanggup jika harus mengkhianati perasaan tulusnya. Namun disisi lain, itu juga akan melukai perasaanmu. Padahal kamu telah menunggu... Menungguku begitu lama seorang diri. Jika saja aku tidak terburu-buru dalam membuat keputusan dan menjalin hubungan dengan dia. Mungkin tak akan ada yang terluka sama sekali. Ini semua adalah salahku."
"Aku masih belum begitu mengerti mengenai apa itu sebuah hubungan. Namun satu hal yang pasti, selama aku bisa terus berada disampingmu... Selalu bersama dirimu... Aku sudah cukup bahagia. Kamu telah menarik ku keluar dari kegelapan dan kesunyian yang mengelilingiku selama ini, dengan uluran tanganmu. Itu sudah cukup bagiku... Jadi tetaplah bersamaku... Jangan tinggalkan aku dalam kesendirian lagi."
Air mataku mengalir semakin deras, membasahi pipiku dan juga dada gadis ini.
"Maafkan aku... Maafkan aku... Dan terimakasih. Aku pasti akan selalu berada disisimu. Aku akan melindungi dan menjagamu sepanjang hidupku... Aku berjanji padamu."
"Uhmm... Aku percayakan diriku padamu."
Kami berdua terus berada dalam posisi ini untuk beberapa waktu.
***
Setelah jauh lebih tenang, kami berdua melakukan beberapa persiapan.
Terutama pada Gadis ini, yang tak memiliki selembar pakaian pun.
Jaket hoodie yang aku kenakan, aku lepas untuk digunakan gadis ini agar bagian atas tubuhnya tertutup.
Kemudian aku melepas celana pendek dibalik celana panjangku, untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
Meski agak memalukan ketika dia melihatku melepaskan celana, tapi sebisa mungkin aku menahan rasa malu itu.
Lagipula gadis ini adalah Istriku, bahkan dia telah menunjukkan seluruh tubuhnya padaku.
Tidak seharusnya aku yang merasa malu sendiri.
Kemudian yang terakhir, aku mengeluarkan sebuah jubah merah dari penyimpanan dimensi untuk menjaga tubuhnya tetap hangat.
Akhirnya semua sudah beres, lalu kami berdua menghampiri Ananta.
"Jadi anda sudah siap untuk pulang, tuan Arya? Saya sangat senang karena anda bersedia membawa dan menjaga Ratuku. Saya percayakan Ratuku sepenuhnya pada anda, tuan."
Tubuh Gadis ini aku raih menggunakan tanganku dan aku dekatkan pada tubuhku dengan menarik pinggangnya, sebelum membalas ucapan Ananta.
Kemudian menatap Ananta dengan penuh keyakinan.
"Dia adalah Istriku, sudah pasti aku akan menjaga dan berada disisinya selalu. Terimakasih untukmu Ananta, karena sudah mempertemukan kami berdua."
"Kalian berdua sudah terikat oleh takdir. Entah mau bagaimanapun keadaannya, kalian pasti akan dipertemukan. Semua tindakan yang saya lakukan juga merupakan takdir untuk mempertemukan kalian. Meski begitu, saya juga merasa senang, karena anda juga turut menghargai semua usaha saya selama ini."
"Aku juga turut senang, Ananta. Ah... Sebenarnya masih ada yang ingin aku tanyakan padamu."
"Apa itu tuan Arya?"
"Mengapa Istriku sampai lupa ingatan? Lalu apakah anda mengetahui nama Istriku?"
"Ratuku... Uh... Maksudku Istri anda bisa kehilangan ingatan dikarenakan pikirannya telah ditidurkan dalam waktu sangat lama. Jadi ada kemungkinan jika bagian ingatannya agak terganggu. Namun masih ada kemungkinan untuk ingatannya kembali. Dan masih ada lagi yang perlu anda ketahui. Tubuh dan roh Istri anda sudah dihentikan waktunya selama tertidur dalam peti, dengan salah satu Pola Inkripsi diantara beberapa Pola Inkripsi disana. Yaitu pola Inkripsi dengan baris aturan waktu yang sangatlah kuat. Kemudian untuk membuat dan menjaga semua pola Inkripsi dalam peti tetap terjaga. Istri anda menggunakan Energi Roh dalam jumlah besar, hingga mengorbankan Tingkatan Rohnya. Seperti yang anda rasakan, Tingkatan Rohnya sekarang berada pada Tahap Dasar Roh Tingkat 5, padahal dulunya sudah mencapai Tahap Penembus Batasan Roh Tingkat 7."
Jelas semua yang dipaparkan oleh Ananta sangat membuatku terheran-heran, apalagi tentang Tingkatan Roh Istriku.
"Ugh... Tak kukira Istriku dulunya sekuat itu. Jika saja Tingkatan Rohnya tidak turun, sekarang di dunia ini tidak ada yang bisa menandingi Istriku. Huh... Istriku pasti sudah sangat menderita, karena sudah melalui itu semua."
Saat ku perhatikan kembali Istriku, dia hanya tersenyum dengan riang.
Melihat sikapnya membuat ku begitu saja langsung mengelus-elus kepalanya, dia juga terlihat senang karena itu.
"Lalu bagaimana dengan nama Istriku?"
"Saya tidak pantas untuk menyebut nama itu, tetapi saya akan tetap memberitahukannya pada anda. Dan namanya adalah... "Maharani Candramaya"."
"Maharani... Candramaya? Maharani Candramaya... Jadi begitu, itu nama yang indah. Aku akan ukir nama itu dalam benak ku."
"Baiklah, sekarang biar saya antar anda beserta Istri anda pulang ke rumah tuan Arya. Disini memang ada Pola Inkripsi untuk membawa kalian kembali ke Dunia Fana. Namun akan lebih mudah jika saya memanipulasi ruang dan mengirim kalian langsung ke rumah."
"Tunggu, apa Anda tahu lokasi rumah saya?"
"Saya sudah berbincang melalui telepati dengan Tuan Hara, jadi tak ada masalah."
Kemudian tiba-tiba saja sebuah Pola Inkripsi muncul dan bercahaya sangat terang, dibawah kakiku beserta Istriku.
"Tolong jaga Istri anda sebaik mungkin. Jika masih ada keperluan anda boleh sesekali mampir kemari lagi. Selamat jalan tuan Arya... Selamat jalan Ratuku... Yang paling kami sayangi..."
Aku beserta Istriku pun melemparkan senyum bahagia pada Ananta.
Hingga cahaya pola Inkripsi bersinar sangat terang dan memisahkan kami dengan Ananta.
Ketika sinar sudah perlahan menghilang, pemandangan yang kami lihat sudah berganti.
Ternyata kami sekarang sudah berada di tengah ruang keluarga ku.
Akan tetapi diruang ini tidak hanya ada kami berdua.
Ternyata disana ada Dhita yang tengah duduk di sofa dan menonton TV, juga Kakek dan Gita yang nampaknya sedang saling berbincang didekat Dhita.
Mereka semua terpaku dengan kedatangan kami yang muncul entah darimana.
Parahnya lagi, kami masih saling merangkul satu sama lain.
Dhita yang paling awal bereaksi, dengan beranjak dari sofa dan terlihat kebingungan sembari menunjuk Istriku.
"K-Ka-Ka-Kakak... B-bagaimana bisa muncul begitu tiba-tiba? L-Lalu siapa Gadis ini?"
Istriku yang masih merangkul ku dari samping pun tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada bahuku.
"Perkenalkan, saya adalah Istri Arya. Senang bisa berjumpa denganmu."
Istriku mengakhiri ucapannya dengan senyum bahagia.
Sudah jelas Adikku langsung terlihat sangat syok, wajahnya langsung berubah menjadi pucat pasi.
"I-ini pasti mimpi... Ya pasti aku sedang bermimpi... Hanya... Mim-pi..."
BRUUUUGHHH!!!
Dhita terjatuh pingsan diatas sofa setelahnya.
Kakek yang ikut mendengar, dia bereaksi dengan menepuk jidatnya.
"Cucuku ini... Tak ku sangka seorang pemain wanita."
Dengan sangat gelagapan, aku mencoba untuk meluruskan situasi.
"T-tunggu... Tunggu sebentar, ini semua ada alasannya. Biarkan aku menjelaskannya dahulu."
Kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Gita, dia terlihat amat geram.
Dia mengerutkan dahi dengan mata terpejam.
Giginya ia rapatkan serta kedua telapak tangannya mengepal dengan sangat kuat.
Tubuhnya bahkan gemetar dengan cukup hebat, jelas dia sangat marah sekali padaku.
"AAAAARYAAAAAAAAAAAAAAA!!! DASAR PRIA BRENGSEEEEEEEEEEEEEEKKK!!!"
Ya Tuhan, tolong berikan hamba keselamatan.