Aku menatap ketiga pria itu dengan tatapan mata tajam meski hanya sesaat saja, namun Gita terlihat khawatir padaku karena melihat caraku menatap mereka dan terutama dari perlakuan buruk yang baru saja aku terima.
"Arya... M-maaf karena diriku kamu jadi harus mengalami hal seperti ini."
Gita mengutarakan seluruh rasa penyesalannya dengan kepala yang tertunduk karena beban berat yang dia rasakan dalam hatinya.
Sebenarnya aku tidak terganggu sama sekali dengan hal yang menimpaku barusan, justru yang membuat aku merasa terganggu adalah kemurungan yang dialami Gita.
Mengatasi mereka bertiga bukanlah hal yang sulit, tapi yang sulit adalah menjaga hubungan diriku dengan Gita tetap terjalin dan tidak terputus karena gangguan dari luar.
Akan aku lakukan apapun untuk hal itu meski aku harus bermain dengan cara sedikit kejam dibelakang sepengetahuan Gita.
"Tidak perlu khawatirkan diriku Gita, Itu tidak menggangguku sama sekali. Halangan dalam suatu hubungan bukankah hal yang wajar? Biar aku yang berbicara pada mereka nantinya."
Dengan senyuman lembut aku akhiri ucapanku itu, supaya beban dalam hatinya sedikit berkurang.
"Uhm... aku mengerti, tapi jika kamu perlu diriku untuk membantumu maka janganlah sungkan untuk memintanya."
"Tentu saja... Gita."
Kami berdua segera lanjut untuk melangkah pergi meninggalkan tempat itu dan kembali menuju ruangan kantor kami.
Kami menyusuri lorong gedung ini dengan berjalan berdampingan namun kami sudah melepas genggaman tangan kami agar tak memancing permasalahan lain.
Sesekali ada berapa karyawan lain yang kami lewati, diam-diam mereka memberikan tatapan penasaran.
Dalam kurun waktu beberapa menit akhirnya kami sampai didepan pintu ruangan kami.
Dari balik kaca pintu ini aku dapat melihat rekan kerja dalam ruangan yang tengah mengalihkan fokus mereka pada kedatangan diriku dan Gita.
Hufft... Aku sepertinya harus mulai terbiasa dengan semua hal ini, akan kucoba abaikan tatapan mereka sebisaku.
Perlahan aku membuka pintu agar tidak menimbulkan suara deritan engsel pintu yang terlalu berisik.
Kemudian diriku melangkah masuk keruangan disusul dengan Gita yang mengekor dibelakangku dengan wajah malu-malunya.
Aku berjalan menuju mejaku kembali dengan wajah poker face seolah bahwa aku mengisyaratkan diriku tidak terganggu dengan tatapan mereka.
Aku duduk kembali ke kursiku yang terbuat dari kulit dan menyandarkan punggungku pada sandarannya.
Aku melepaskan helaan napas agar perasaan penat jadi sedikit berkurang.
Disisi lain Gita juga kembali ketempat duduknya yang berada tepat disampingku, lalu dia memasukkan kembali kotak bekal yang kosong kedalam tas miliknya.
Aku yang meliriknya saat itu tanpa sadar mengucapkan sesuatu yang mungkin bisa memancing kegaduhan dalam ruangan ini.
"Masakanmu sungguh enak Gita, kuharap aku dapat selalu merasakan masakan buatanmu setiap hari."
Gita yang mendengar ucapanku yang begitu tiba-tiba, jadi tersentak dan perlahan wajahnya mulai memerah padam dengan bibir gemetar.
Aku yang melihat reaksinya jadi langsung ingat kembali bahwa sekarang banyak rekan kerja yang masih tengah memperhatikan kami berdua.
PLAK!!!... kutepuk jidatku karena menyadari perbuatan bodohku.
Gita yang masih dalam keadaan malu, sebisa mungkin menjawab ucapanku meski sambil memainkan kedua jari telunjuknya untuk mengurangi rasa groginya dihadapan rekan-rekan kami.
"A-aku senang k-kamu menikmatinya, d-dapat membuat masakan untukmu sudah cukup membuatku... b-ba... bahagia."
Mendengarnya Gita mengucapkan itu, telah membuatku tersipu malu dan ada rasa gembira yang menyelimuti hatiku.
Namun rekan kerja lain yang juga ikut mendengarnya saat itu jadi nampak begitu syok.
"HEEEEEEEEEEE???!!!!"
Teriak mereka secara serentak yang mana suaranya bergema memenuhi seisi ruangan ini.
Rekan kerja terdekatku yang sedang duduk disamping sisi mejaku yang lain dan merupakan orang kaukasian dengan rambut pirang bernama Albert Basile, menepuk pundakku dan menggeser kursi beroda yang dia duduki mendekat padaku.
Tangannya yang menggenggam pundakku terasa gemetar, lalu segera dia mendekatkan wajah penasarannya padaku.
"Oi... hubungan apa yang kalian miliki dalam waktu satu malam? Kenapa kamu tak menjelaskan apapun dan meninggalkan aku... uh... tidak, tapi kami dalam rasa penasaran? Setidaknya beritahu sahabatmu ini."
Melihat reaksinya, aku menggaruk pipiku dengan jari telunjuk ketika mencari penjelasan yang bagus.
"Uhm... yah... ini sedikit sulit untuk aku ceritakan."
Albert nampak tidak puas dengan jawaban yang aku berikan.
Wajah penasarannya makin dia dekatkan pada wajahku untuk memaksaku menceritakan semua detail kejadiannya.
Karena aku sudah tidak tahan dengan paksaannya, aku buat alasan sebisaku.
"Sebenarnya kemarin ketika aku pulang kantor, diriku sempat diganggu beberapa preman. Gita yang tidak sengaja melihat itu justru datang membantuku. Tapi mereka cukup tangguh dan hampir melakukan hal buruk pada Gita. Emosiku pun meluap saat melihatnya dan menghajar mereka semua kemudian. Yah meski agak babak belur, aku berhasil mengalahkan mereka. Setelah polisi meringkus para preman itu, aku mengantar Gita pulang kerumah dan tanpa sadar hubungan kami jadi sedekat ini."
Setelah mendengarnya, Albert membisu sejenak sembari melemparkan senyum kecut.
Tak lama dia kembali tersadar setelah mencerna semua penjelasanku dan langsung memeluk diriku.
Kepalaku jatuh dalam dekapannya, sementara wajahku tertekan didadanya.
Dengan ekspresi lega, Albert menepuk punggungku dengan salah satu tangannya.
"Syukurlah... syukurlah Arya jika kamu baik-baik saja. Lain kali lebih berhati-hatilah saat pulang, aku jadi sangat khawatir tahu."
Aku meronta-ronta untuk lepas dari pelukannya karena ini sangat memalukan.
"Uwa.... aku mengerti... aku mengerti... jadi tolong lepaskan pelukanmu ini, kamu membuatku sangat malu dasar sialan!!!"
"Tak perlu malu begitu, ini adalah pelukan persahabatan antara pria."
Karena dia masih keras kepala, dengan salah satu tangan, aku mendorong wajah Albert.
"Tetap saja ini memalukan!!!!"
"Ugh... aku mengerti, jadi tenanglah sedikit."
Akhirnya dia melepaskan pelukannya dengan senyum dan cengiran tak berdosanya.
Karenanya pula rekan kerja lain dalam ruangan termasuk Gita, menertawakan tingkah laku diriku dan Albert.
Kemudian aku menatap Albert dengan wajah kesal, meski begitu aku merasa lega dalam hatiku karena memiliki sahabat seperti dirinya.
Suasana yang awalnya terfokus pada diriku dan Gita, akhirnya mulai memudar berkat Albert
Kami semua pun akhirnya menjalani rutinitas pekerjaan tanpa suasana yang canggung.
Meski beberapa diantara mereka masih ada yang sesekali mendesak aku dan Gita untuk menjelaskan hubungan kami.
***
Jarum jam akhirnya menunjukkan pukul 4 sore, itu menandakan waktu berakhirnya jam kerja kami.
Setelah berkemas-kemas, Aku dan Gita beranjak pergi meninggalkan ruangan bersama-sama.
Sesampainya di loby kantor aku melihat 3 pria sebelumnya di atap, menatapku dengan sinis.
Menyadari itu aku segera menghentikan langkahku, Gita juga ikut menghentikan langkahnya setelah melihatku berhenti berjalan.
"Ada apa Arya? Apakah terjadi sesuatu?"
"Aku ingat bahwa aku masih ada urusan dengan Albert, jadi kamu bisa pulang duluan."
"Ah... Uhm... Aku mengerti Arya, aku akan menunggumu dirumah. Jadi berhati-hatilah dan tolong jangan berbuat yang macam-macam dibelakangku ya."
"Uh... Itu mana mungkin aku berani, lagipula sejauh ini hanya dirimu yang sanggup membuatku tertarik dalam menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih."
Karena gombalan yang aku buat didepan banyak orang, telah membuat Gita jadi tersipu malu.
"Uh... jangan goda aku ditempat umum. Ya sudah a-aku akan pulang dulu... dah Arya."
Gita melambai kecil dengan tangannya dan melangkah pergi dengan senyuman.
Aku membalas lambaian tangannya sampai dia keluar dari pintu utama gedung ini.
Berbohong padanya membuat ada rasa tidak enak dalam hatiku, namun aku harus melakukannya agar dia tidak khawatir.
Aku tetap berdiam diri di loby sembari menatap tajam pada mereka bertiga setelahnya.
Mereka yang akhirnya paham bahwa aku sudah menyadari tatapan dengan niat buruk mereka, lalu mereka berjalan mendekat padaku.
Kemudian mereka berhenti melangkah ketika sudah sampai berjarak satu langkah tepat dihadapanku, salah satu dari mereka mengisyaratkan sesuatu padaku.
"Ikut dengan kami, ada sesuatu yang ingin kita bahas denganmu."
Dengan tatapan yang dingin aku membalas ucapan mereka.
"Baik, tapi lakukan dengan cepat. Aku tak punya banyak waktu untuk bermain dengan kalian."
Mereka merasa sangat kesal dengan balasanku, tapi mereka juga merasa terintimidasi oleh tatapanku.
Dengan menahan emosi sebisa mungkin mereka berbalik melangkah menuju pintu utama keluar masuk gedung, disusul diriku mengikuti mereka dari belakang.
Mereka menuntun diriku menuju sebuah gang sepi diantara dua gedung.
Disana terdapat beberapa tong sampah dan berapa tumpukan sampah yang tergeletak dengan bungkus plastik disekitarnya.
mereka berhenti disitu, begitu pula dengan diriku.
Kemudian mereka bertiga berdiri melingkariku untuk mengurung diriku supaya tidak kabur.
Aku hanya sedikit berseringai pada sikap sok berani mereka namun pengecut, dan tidak sadar dengan apa yang ada dihadapan mereka adalah sesuatu yang tidak mungkin mereka tangani.
Salah satu dari mereka mulai mengucapkan kalimat intimidasi.
"Jadi kamu sudah bisa sedikit sombong rupanya setelah berhasil mendekati putri presiden perusahaan."
Ku hela napasku karena ada rasa kesal dengan sikap mereka yang semaunya sendiri.
"Hufft... Aku mau dekat dengan siapa, itu bukanlah urusan kalian. Begitu pula dengan Gita yang bebas dekat dengan siapapun."
Salah satu dari mereka yang berada didepanku berjalan mendekatiku dan jari telunjuknya dia acungkan padaku.
"Kamu tidak sadar diri ya? Dasar penjilat, kamu pasti mendekatinya karena ingin menjilat presiden perusahaan agar kamu bisa naik pangkat bukan?"
Yang lainnya ikut bersorak untuk menekan diriku.
"Ya, pasti begitu... dasar brengsek."
"Betul, selain itu kamu pasti juga diam-diam mengincar tubuhnya yang sangat menggoda itu untuk memuaskan nafsu birahimu."
Mendengar olokan mereka membuatku ingin tertawa.
Aku berusaha menahan tawaku namun pada akhirnya pecah juga.
"Pfft... Ha ha ha ha."
Mereka jadi semakin kesal padaku dan reaksi diriku pada intimidasi mereka.
"Kenapa tertawa? memang lucu ya? Jadi memang benar kamu ini pria brengsek."
"Ha ha ha ha... maaf aku tertawa, tapi ini begitu lucu. Apapun alasan yang dimiliki dibalik hubungan kami bukanlah urusan kalian. Kalian siapa? Sampai merasa punya hak untuk mengatur hubungan kami."
Yang berada di belakangku segera mengadu tinju kecil kepalan tangannya pada telapak tangan yang satunya.
"Berani menantang rupanya, orang sepertimu memang pantas diberi pelajaran."
"Hoo.. Pelajaran karena apa? Karena aku mengalangi nafsu bejat kalian untuk mendapatkan Gita?"
Wajah mereka jadi nampak begitu murka, urat wajah mereka terlihat pada wajah yang sangat merah.
"BACOOOOD!!!!!!"
Pria dibelakangku itu melayangkan tinju pada kepalaku, akan tetapi aku dapat dengan mudah membaca serangannya karena terlihat lambat bagiku.
Dengan mengambil satu langkah kesamping kanan, tinjunya melewati kepalaku begitu saja.
Dengan cepat tapi santai, aku melepaskan tendangan kebelakang dengan kaki kiri mengarah pada perutnya.
"UGH!!!"
Pria itu terhempas beberapa meter kearah tumpukan tong sampah ditengah gang.
Dia langsung terkapar tak berdaya dengan wajah kesakitan.
Rekannya yang lain begitu terkejut karena salah satu temannya dihempaskan dengan mudah begitu saja.
Setelahnya aku merenggangkan leher sembari melemparkan ucapan intimidasi.
"Cih... kalian ini cuma membuang waktu saja."
"Dasar BAJINGAN!!!"
Umpat salah satu dari mereka yang masih berdiri karena kesal dengan intimidasiku, dua orang sisanya segera maju menyerang dan melayangkan tinju dari arah depan dan samping kiriku.
Kuambil satu langkah kebelakang dan meraih lengan yang sedang mengayunkan tinju milik pria yang menyerang dari samping.
Kutarik tubuhnya untuk mengeblok serangan pria yang menyerang dari depan.
Wajah pria yang aku tarik akhirnya terkena tinju rekannya sendiri.
Karena dia sadar sudah meninju rekannya, secara reflek dia menarik tangannya kembali.
Dalam kebingungan itu aku segera memutar tubuh pria yang mana lengannya masih aku pegang secara melingkar dengan tubuhku sebagai porosnya, rekannya yang meninju wajahnya tadi jadi terdorong mundur karenanya.
Lalu aku melemparkan pria itu kearah dinding dengan keras dan membuat dia hilang kesadaran.
Yang berdiri terakhir menunjukkan wajah ketakutan dengan kaki yang gemetaran setelah melihat aku menghajar rekannya dengan mudah.
"D-dasar brengsek!!! Jangan mendekat atau selanjutnya kami akan membawa rekan lebih banyak lagi jika kamu masih berani melawan kami."
Aku hanya memberikan ekspresi yang dingin ketika mendengar ocehannya itu.
Tanpa berkata apapun, dalam sekejap mata aku sudah berdiri disampingnya.
Dan kubisikan sebuah kalimat ancaman pada pria itu.
"Kamu sepertinya tak sadar posisimu? Lagipula apa kamu pikir aku orang yang bisa dihadapi segelintir orang biasa seperti kalian? Kamu seharusnya sadar aku berada di dunia yang berbeda dari kalian."
Dia hanya bisa berdiri terpaku ketakutan, keringat dinginnya mengalir dengan deras dari wajahnya.
Kakinya seolah bergetar tak sanggup menahan beban tubuhnya.
SLAP... Tanpa peringatan, tangan kananku sudah meraih kepalanya dan segera membanting kepalanya kelantai jalan.
BRUAAAGGG!!!... Suara benturan kepalanya yang beradu dengan lantai jalan terdengar cukup keras, meski aku masih menahan tenaga sebisa mungkin agar tak memecahkan kepalanya dan tidak menghilangkan kesadarannya.
Lalu aku melangkah pergi meninggalkan mereka dalam keadaan terkapar sekarat di gang tersebut.
Tapi aku berhenti sejenak dan menoleh pada mereka sebelum pergi, untuk memberi peringatan pada mereka.
"Kalian menginginkan Gita hanya demi memenuhi hasrat egois kalian masing-masing. Dan menyingkirkan apapun hal yang tidak kalian sukai atau yang menghalangi keinginan kalian. Memang jika Gita bersama salah satu dari kalian maka kalian mau terima begitu saja? Lagipula Gita sekarang adalah kekasihku, jika kalian masih berani mengarahkan hasrat kalian padanya. Aku pastikan untuk selanjutnya kalian semua hilang tanpa jejak sedikit pun. Kalian harus tahu bahwa saat ini sedang mencoba berurusan dengan sesuatu yang tidak seharusnya kalian sentuh. Ini adalah peringatan terakhir bagi kalian. Dan jika kalian mencoba membocorkan hal ini, sebelum itu sempat terjadi kalian akan merasakan akibatnya dahulu. Karena kapanpun aku selalu bisa mengawasi kalian."
Aku melemparkan semua kalimat ancaman itu dengan tatapan dan hawa yang penuh dengan intensitas membunuh.
Mereka yang masih sadar hanya bisa mengangguk dengan wajah dan tubuh yang gemetar ketakutan.
Meski aku sedikit melebih-lebihkan ancamanku, setidaknya mereka tidak akan berani bertindak lebih jauh lagi.
Akupun melangkah pergi kemudian sembari meninggalkan trauma yang dalam bagi para pembuat masalah itu.