Chereads / Soul Emperor - Pewaris Kaisar Roh / Chapter 26 - Bab 25 - Meluruskan Masalah

Chapter 26 - Bab 25 - Meluruskan Masalah

BAG BUG BAG BUG BAG BUG... Bunyi pukulan demi pukulan yang dilancarkan Gita padaku, bergema cukup keras didalam kamar mandi ini.

Aku saat ini sedang meringkuk di lantai dengan pasrah untuk menerima seluruh pelampiasan kekesalan milik Gita.

Dengan posisi berjongkok disamping ku, dia terus-menerus memukul badan ku dengan menggunakan tepian kepalan telapak tangannya, lengan bawah ia gerakan 90° ke atas dan ke bawah secara berulang-ulang dan berporos pada sikunya.

Meski dia hanya melapisi tubuhnya dengan handuk saja, dia tidak begitu peduli dan terus melampiaskan semuanya padaku.

Saat aku sedikit melirik pada Gita, terlihat matanya yang berkaca-kaca sementara air matanya juga muncul dan hampir menetes.

Melihat wajahnya yang seperti itu membuat diriku makin tak bisa kabur dari sini karena terkekang rasa bersalah.

"NAKAL!!! NAKAL!!! ARYA MESUM!!! BRENGSEK!!! TUKANG INTIP!!! SISCON!!! GAK PEKA!!! HWAAAAAAA!!!!!!!!!!

Mendengar ocehan Gita membuat aku sadar jika dia tidak hanya melampiaskan rasa kesal karena kejadian ini tapi juga rasa kesalnya karena kejadian kemarin.

Sepertinya aku mulai paham penyebab dia marah padaku kemarin dikarenakan perbuatan usil dari Dhita.

Akhirnya aku punya sedikit petunjuk untuk mengatasi permasalah kemarin, namun aku tidak tahu cara mengatasi permasalahan untuk yang sekarang.

Tenanglah dan cari jalan keluarnya, pikirkan lagi kenapa aku bisa masuk ketika ada Gita didalam.

Ah pasti karena itu, Gita lupa mengunci kamar mandinya, jika aku jelaskan perlahan itu mungkin bisa sedikit menenangkan dirinya.

Dengan mengambil napas sejenak untuk menyiapkan batin, perlahan aku lirik kembali Gita yang masih terus menerus memukul ku.

Aku mulai melirik dari telapak kakinya menuju keatas hingga wajah kami nanti saling bertemu untuk menunjukkan tekad ku.

"Huh?!"

Namun ketika pandanganku baru naik sedikit dari mata kaki justru aku melihat hal yang tak seharusnya aku lihat sekarang.

Meski Gita sudah melapisi tubuhnya dengan handuk, tapi dengan posisinya yang berjongkok.

Bagian privasinya yang tidak tertutup oleh pakaian dalam secara tidak sengaja terlihat oleh kedua mata ini karena kepala ku sekarang masih berdekatan dengan lantai.

Hal itu membuat wajah ku memerah dan mimisan kembali mengalir dari hidung.

Gita yang melihat wajah ku jadi nampak makin kesal.

"KENAPA WAJAHMU NGEBLUSH LAGI, PASTI MEMBAYANGKAN YANG TIDAK-TIDAK TENTANG TUBUH LAGI KAN? Padahal sedang aku pukuli begini... Bisa- bisanya kamu ini. Hik... Seenaknya saja kamu mengintip hal terpenting milik ku. Padahal aku tak pernah membiarkan satu orang pun melihatnya, yang boleh melihat hanya yang sudah menjadi suamiku suatu saat. Tapi kamu seenaknya saja sudah melihatnya sekarang padahal kita belum menikah."

"M-maaf... Tapi jika kamu tak berhenti sekarang aku bisa terus melihatnya."

"Hah... Apa maksudmu?"

"I-itu milik mu tidak tertutup celana dalam kan, aku jadi bisa melihatnya. C-cukup indah jadi aku sulit menahan diri."

Akhirnya Gita pun tersadar juga karena ucapan dari ku.

Gita berdiri dengan refleks cukup cepat dan segera merapat kan bagian handuk yang menutupi bagian bawah dengan kedua tangannya.

Tekanan darahnya sepertinya sudah naik cukup tinggi hingga dahinya sangat merah, urat pembuluh darah di keningnya juga terlihat cukup jelas.

Pipinya juga merah padam karena rasa malu yang ikut muncul bersamaan dengan rasa marahnya.

"K-Kamu ini memang ya..."

Ah... habislah sudah diriku, aku tak tahu lagi harus bagaimana sekarang.

DRAP DRAP DRAP... Namun disaat yang sama mulai terdengar suara langkah kaki yang tengah berlari makin mendekat kemari.

Aku dan Gita segera menyadari jika ada seseorang yang datang kemari karena kebisingan yang kami buat.

Aku tak punya pilihan lagi sekarang untuk melakukan langkah darurat atau aku akan habis.

CKIIIIIIT... Suara kaki yang mengerem berbunyi dengan nyaring karena gesekan antara kaki dan lantai.

"KAK ARYAAAAAA!!!!!! SEDANG APA DENGAN KAK GITA DI KAMAR MANDI???!!!!!"

Dari suara ini ternyata Dhita yang sedang berdiri di luar pintu kamar mandi.

"Huh? kamar mandinya kosong? kupikir mereka berdua ada disini."

Dhita dapat mengambil kesimpulan seperti itu karena sudah melihat sisi dalam kamar mandi yang masih terbuka dan di bagian dalam kamar mandi tidak terlihat siapapun.

Tapi sebenarnya aku dan Gita tepat berada dibalik daun pintu yang mengarah masuk kedalam.

Aku sedang bersandar di dinding sembari mendekap tubuh Gita dari belakang.

Tangan kiri ku mendekap dengan erat bagian perut Gita, sementara tangan kanan ku menahan mulutnya agar tak mengeluarkan suara apapun.

Gita meronta-ronta cukup kuat, namun karena tenaga dan kekuatan tubuhku yang jauh lebih besar, aku berhasil menahan Gita dengan baik.

Jantungku berdetak dengan kencang sambil berharap Dhita tidak memeriksa kedalam.

"Hmm... padahal suaranya berasal dari sini dan itu sudah pasti. Karena jelas pintu kamar mandinya terbuka begini."

Aduh... Apakah aku bakal ketahuan, seharusnya aku tutup dulu pintunya tadi.

Deg Deg Deg... Jantung ku berdetak makin keras saat menunggu tindakan Dhita selanjutnya.

"Huh... Mereka pasti langsung kabur jadi pintunya dibiarkan terbuka begitu saja, aku harus segera cari mereka. Seenaknya saja mereka berdua bermesraan pagi-pagi begini... di kamar mandi pula. Jangan pikir kalian bisa bermain dibelakangku."

Dhita akhirnya segera berlari meninggalkan kamar mandi dengan aku dan Gita didalamnya.

Tubuhku yang sempat tegang akhirnya mulai bisa sedikit lemas setelah keadaan genting ini bisa berlalu.

"Huft... Nyaris saja, jika dia masuk maka keadaan akan makin runyam. Beruntungnya juga Kakek pada jam segini pasti masih joging. Kalau tidak aku pasti sudah dihabisi oleh Kakek."

"Hmph... Hmphhhh..."

Setelah Dhita pergi, Gita memperkuat rontaan tubuhnya dari dekapan ku.

Tapi aku tetap tidak akan melepaskannya jika dia masih belum tenang.

"Ku mohon tenang dulu Gita, aku akan lepas jika kamu bisa sedikit lebih tenang. Mari kita bicarakan kesalahpahaman ini baik-baik."

"Hmphhhhhhhh"

Dia masih saja memberontak dan justru makin kuat, karena itu pula aku memperkuat dekapan ku padanya.

Namun meski begitu, entah kenapa aku bisa merasa nyaman dalam keadaan ini.

Tubuhnya yang terasa ramping dan mungil sangat pas dipelukan ku.

Rasa hangat dari tubuhnya yang ku rasakan saat tubuh kami saling menempel, sangat menenangkan hatiku.

"Gita kumohon tenang lah."

Meski butuh waktu, akhirnya Gita secara perlahan berhenti memberontak.

Kemudian aku lepas tangan kananku dari mulutnya dan turun memegang bahu kirinya.

Akhirnya dia mau membicarakan hal ini bersama ku dengan lumayan tenang.

"Huh... Baiklah mari kita bicarakan baik-baik. Tapi bisakah kamu lepas aku dulu. Punyamu yang dibawah sudah menyenggol pantat ku."

"M-maaf, tapi mau bagaimana lagi. Jika seorang pria dalam keadaan begini pasti ada sesuatu yang bangkit."

"Yah aku bisa memaklumi untuk yang satu ini, makanya cepat lepaskan aku."

Tapi rasa enggan untuk melepas Gita muncul dalam benak ku.

"Bisakah kita tetap seperti ini sebentar. Aku cukup malu untuk menatap wajahmu sekarang. Selain itu mendekap mu sungguh membuat ku merasa sangat nyaman, rasa hangat dari tubuhmu membuat hati ku jadi lebih tentram."

Mendengar jawabanku membuat blush merona di pipinya.

"Kamu ini... Jangan coba berbuat macam-macam dengan ku ya sekarang."

"Mana mungkin aku berani, aku tidak akan menodai orang yang begitu berarti bagi ku. Kamu sekarang adalah segalanya bagiku. Saat ini yang paling aku takutkan adalah jikalau ada rasa benci dibenak mu terhadap diri ku."

Ekspresi Gita jadi makin tidak karuan, dia jadi begitu gelagapan.

"Jangan pikir jika semudah itu aku percaya dengan ucapanmu setelah semua perbuatanmu, aku tidak akan terpengaruh dengan rayuanmu."

"Percayalah aku tak akan melakukannya, lagipula Kakek akan membunuhku jika aku lakukan."

"Hoo... Jadi kamu tak akan melakukannya hanya karena Kakek mu?"

Huft... Ku sandarkan kening ku pada bahunya, karena sudah kewalahan untuk menjawab omelannya.

"Huh... Tentu saja tidak, aku sungguh bingung dengan pemikiran wanita. Harus aku jelaskan seperti apalagi agar kamu bisa mengerti."

Mendengar keluhan ku malah membuat Gita menggembungkan pipinya, tak kusangka dia ternyata punya sisi kekanak-kanakan seperti ini.

"Ya sudah, sejujurnya aku sudah paham kamu sama sekali tidak punya niat buruk padaku. Hanya saja aku masih kesal padamu, itu saja."

"Ini soal kemarin mengenai Dhita bukan? Aku tak menyangka itu bisa membuatmu cemburu. Kami memang sangat dekat, tapi dia hanyalah adik ku. Aku tak bisa memiliki rasa ketertarikan seperti yang kau bayangkan padanya."

"Tapi kalian tak punya ikatan darah, lagipula kita tidak tahu dengan yang dirasakan Dhita seperti apa. Rasa cemburunya karena kedekatan kita menunjukkan rasa suka padamu sedikit berbeda dengan rasa sayang mu untuk adik mu."

"Tak kusangka kamu begitu mudah cemburu begini. Tapi entah kenapa aku bisa menyukai sisi mu yang seperti ini."

"Ugh... Meski kamu menggodaku, itu tak akan membuat dirimu berhasil mengalihkan topik kita sekarang!"

"Percayalah hubungan aku dan Dhita tidak akan lebih dari sekedar saudara. Dhita mungkin hanya takut jika saudaranya yang paling dekat baginya nanti diambil oleh orang lain. Karena sejak kecil dia selalu sendirian dan tak ada teman sebaya disekitar sini. Dan hanya aku yang memberikan perhatian padanya karena kedua orangtua kami sangat jarang di rumah dalam waktu lama. Dhita pasti hanya tidak ingin perhatian yang diberikan padanya jadi berkurang."

"Aku sudah tak bisa berkata apapun soal ini, baiklah aku akan mempercayai ucapan mu. Dan maaf aku jadi sedikit egois dan kekanak-kanakan."

"Tak apa-apa, kan sudah kubilang jika aku juga menyukai sisi mu yang seperti ini. Bahkan dikala sedang marah kamu ini bisa terlihat cukup imut."

Mendengar pendapat ku tentang dirinya justru membuat Gita terlihat makin malu, untuk menutupi perasaan itu dia malah mencubit paha ku.

"Ouch... he he he."

"Uh... kamu ini ya... Jangan senang dulu, aku belum memaafkan perbuatanmu yang mendobrak masuk saat aku sedang mandi."

"Ah soal itu aku minta maaf, karena pintunya tidak terkunci jadi aku pikir tidak ada orang dan langsung masuk saja."

"Jelas-jelas pintunya sudah aku kunci, lihat pintu itu! kuncinya sampai rusak karena kamu buka secara paksa."

"Eh?"

Mendengar itu maka aku segera pastikan langsung, aku menoleh ke kanan dan memeriksa kondisi kuncinya.

Lubang pada frame pintu di mana sebagai tempat masuknya logam pengunci dari daun pintu, sudah hancur.

Bagaimana mungkin? Sudah jelas aku masuk tanpa paksa.

Tunggu mungkin karena aku sudah melakukan kultivasi roh dan terjadi peningkatan pada tubuhku juga.

Kekuatan tubuhku jadi meningkat dari sebelumnya, lalu aku tidak sadar akan hal itu hingga kekuatan yang aku gunakan belum ku kontrol.

"Uh sial... Kamu benar, aku sungguh minta maaf. Sebenarnya sejak semalam aku melakukan kultivasi roh. Mungkin karena dampaknya pada tubuh ku dan aku tidak menyadarinya. Kekuatan yang aku gunakan jadi belum terkontrol."

"Bagaimana mungkin kekuatan fisik mu dapat meningkat begitu drastis dalam semalam. Memang kultivasi roh bisa membantu mu meningkatkan kekuatan fisik mu, tapi itu butuh waktu. K-kamu pasti hanya ingin melihat tubuhku saja bukan? Arya mesum."

Kemudian pada tepian mata milik Gita, air mata mulai muncul kembali namun tidak sampai menetes.

"Padahal kamu belum jadi suami ku, tapi sudah melihat semua bagian milik ku yang berharga. Asal kamu tahu aku masih sangat marah soal itu."

Napas aku ambil dengan dalam dan ku hembuskan kembali, lalu dekapan pada Gita aku pererat lagi.

"L-lalu bagaimana kalau kita menikah saja? Kamu pasti tidak akan keberatan bukan bahkan jika aku melakukan yang lebih dari ini?"

"Heh?"

Warna merah padam muncul kembali pada pipinya, dia terlihat begitu grogi ketika mencoba menanggapi diriku."

"T-tolong jangan bercanda seperti itu... hal seperti pernikahan bukanlah untuk main-main."

"Aku serius... Meski kita sekarang tinggal bersama, tapi aku ingin terus bersama seperti ini menjalani hidup hingga tua nanti bersamamu."

"T-tapi kita baru kenal belum lama ini, kita masih harus mengenal lebih dalam satu sama lain dan bisa-bisanya kamu melamar dalam kondisi seperti ini."

"Karena kondisi ini lah aku jadi sulit menahan diri untuk tidak mengeluarkan isi hatiku. Jadi ayo buat bayi yang imut-imut untuk menemani kita nanti."

"H-hwaa... B-bayi? I-itu masih terlalu cepat. Aku masih butuh persiapan dasar nakal."

"He he he... Reaksimu yang begini memang yang terbaik Gita, aku jadi sangat ingin mencium dirimu sekarang. Jangan khawatir, aku memang ingin menikahi dirimu. Tapi masih banyak mimpi yang belum kita raih. Dan setelah tujuan kita tercapai, maukah kamu hidup bersama ku, Gita?

"Uhm... Ya aku tidak keberatan sama sekali, Arya. Tapi selama kita belum menikah, jangan coba-coba mendekati perempuan lain atau aku tak akan memaaf kan dirimu. Aku bersungguh-sungguh akan hal ini, Arya."

"Ya... Itu pasti, aku berjanji padamu."

Lalu dekapan ku pada Gita aku lepas kemudian, namun Gita justru membalikkan badannya menghadap padaku.

Dengan Sikap malu-malu kucing dan pipi yang merah merona.

Gita melirik padaku hingga tatapan mata kami bertemu, kemudian dia alihkan lirikan matanya kesamping.

"Kamu harus bertanggungjawab dengan ucapanmu itu lho."

Kedua matanya pun ia pejam kan secara perlahan, dia mengisyaratkan sesuatu.

Namun kali ini aku bisa memahami dirinya, perlahan aku dekat kan wajah ku dengan wajah Gita hingga bibir kami saling bersentuhan.

Aku peluk Gita dengan erat, begitu pula Gita yang ikut memeluk ku.

Kami saling menekan bibir kami, saling mencurahkan kesungguhan perasaan kita berdua.

Momen yang begitu hangat dan sangat berharga, kami menikmati waktu ini dengan rasa tentram.

"D-da-dasar PASANGAN MESUM!!!!!!!"

Tiba-tiba saja suara teriakan Dhita terdengar, secara refleks kami melirik kearah samping masih dalam posisi berciuman.

Ternyata Dhita sudah berdiri di pintu masuk kamar mandi dengan wajah begitu syok.

Aku dan Gita hanya bisa terperanjat kaku karena kemunculan Dhita yang begitu tiba-tiba.

Sementara mata Dhita mulai berkaca-kaca dengan ekspresi yang begitu kecewa.

"A-aku... Aku... AKU AKAN LAPORKAN INI PADA KAKEK... HWAAAAAA!!!!!!"

Dhita melesat pergi begitu saja setelah berteriak, meninggalkan kami berdua dalam kondisi bingung harus bagaimana.

Ya Tuhan... Tolong beri aku jeda untuk istirahat.