Chereads / Soul Emperor - Pewaris Kaisar Roh / Chapter 18 - Bab 17 - Guru

Chapter 18 - Bab 17 - Guru

Barusan dia berkata bahwa Pimpinan Pengawas Roh sendiri yang turun tangan langsung untuk membantu Ayah dan Kakek.

Ah... Jadi begitu aku paham sekarang mengenai perkataan tuan Hara kenapa Kematian Ayah seharusnya bisa dicegah.

"Setelah sang Pimpinan Pengawas Roh mengalahkan buronan itu, pasukan Ksatria Roh datang meringkusnya dan dibawa menuju Penjara berlokasi dipulau terpencil dan tersembunyi disebelah selatan pulau jawa ditengah samudera Hindia. Itu adalah Penjara dengan keamanan tertinggi dan paling menyiksa bagi tahanan. Penjara itu punya julukan gerbang dunia orang mati. Pulau yang berisi jiwa orang mati bergentayangan dipenjuru pulau terutama dipusat pulau, karena pulau itu secara misterius menahan jiwa orang yang mati disana untuk tidak meninggalkan pulau karena ada segel kutukan kuno yang menyelimuti seluruh pulau itu. Dan jiwa yang bergentayangan disana menjadi jiwa yang dipenuhi sifat pendendam, pemarah, pembenci dan semua sikap negatif lainnya. Semua mahluk hidup disana akan dilahap dan disiksa jiwanya secara perlahan hingga mati oleh jiwa-jiwa gentayangan itu. Tak ada satupun yang bisa hidup disana tanpa bantuan peralatan suci khusus sebagai perlindungan."

Mendengar bahwa pelaku yang telah mengambil Ayahku telah mendapatkan hukuman yang pantas aku merasa sedikit lega, namun aku justru mengepalkan tangan dengan keras karena dalam hatiku ada keinginan untuk menghukumnya dengan tanganku sendiri.

"Kemudian untuk Ayahmu yang tengah sekarat itu sadar bahwa kamu akan selalu berada dalam bahaya dengan keistimewaan dirimu itu. Dengan sisa tenaga terakhir miliknya dia memohon padaku, Kakekmu serta Ibumu yang tiba disana untuk mengijinkan dan membantunya menyegel kekuatanmu. Dengan sisa terakhir energi kehidupannya ia gunakan untuk membentuk segel dalam dirimu dengan bantuan diriku yang sudah dipindahkan dari kepingan senjata suci yang telah hancur kedalam tubuhmu. Ayahmu telah mengubah sisa kekuatan hidupnya untuk menjadi segel yang menjagamu dengan bantuan diriku untuk mengatur dan melindunginya. Dia memohon padaku dengan senyumannya dikala menjelang akhir hidupnya untuk selalu menjaga dan membimbingmu. Ayahmu menghembuskan napas terakhirnya dipelukan ibumu disaat dia menggendong dirimu.

Uh... Ini begitu menyakit bagiku mendengar kebenaran ini, aku mendongakkan kepalaku kearah langit dengan wajah menahan tangis.

Seluruh tubuhku gemetar karena gejolak emosi dibatinku meronta begitu kuat.

"Aku akhirnya mengerti mengenai ucapan anda sebelumnya. Jika Ayah mau menunggu bantuan sebentar, mungkin dia masih bisa selamat. Huh... Seharusnya dia bersabar saja sebentar maka ia tidak perlu pergi meninggalkan ibu dan juga diriku untuk selamanya."

Ucapanku barusan keluar dengan berisi nada penuh kekecewaan.

Sementara tuan Hara sedikit menggelengkan kepalanya dan menunjukkan raut wajah iba ketika menatapku setelahnya, sepertinya dia tidak setuju dengan ucapanku dan sedih akan hal itu.

"Tidak, sejujurnya aku berpikir hal yang dilakukan Ayahmu adalah hal yang tepat. Meski sang pimpinan Pengawas Roh memiliki gerakan kilat yang kecepatannya menakjubkan. Tapi dia sedang berada di kantor pusat organisasi Pengawas Roh di Jakarta saat itu. Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai Yogyakarta dengan kecepatan penuhnya. Dalam selang waktu itu kita tidak tahu apakah sang pelahap jiwa sudah menyelesaikan persiapan untuk melahap dirimu atau tidak."

Dengan tertunduk dan berwajah muram aku menjawab sanggahan tuan Hara.

Dengan lirih aku menceritakan alasan terbesar kesedihan ku ini.

"Huh... Kau tahu ketika aku masih kecil, Ibuku selalu mencoba bersikap ceria dihadapanku. Tiap kali ada hal yang membuat ku sedih, Ibu selalu mengelus kepalaku sembari menghiburku dengan senyum dan kata-kata penyemangatnya. Dikala aku dilanda rasa iri dan kesepian karena melihat anak-anak lain seumuran diriku tengah berbahagia dengan keluarganya yang lengkap. Ibu pasti memberikan pelukan hangat dari belakang punggungku. Karena kasih sayang ibuku maka dengan melihat Ibuku yang cantik itu tersenyum saja, sudah cukup membuat ku bahagia. Dia bagaikan matahari yang menyinari hidupku, namun..."

Perlahan nada bicaraku semakin berat ketika membahas kenangan ini makin jauh.

"Terkadang setiap malam aku terbangun, diriku mendengar isak tangis dari kamar ibuku. Dan saat aku sudah mulai memberanikan diri untuk untuk mengintip kedalam kamar ibu. Dan yang aku lihat adalah Ibuku tengah terduduk menangis ditepi kasur seorang diri sembari memeluk foto pernikahan ibu dan ayah, yang selalu terpajang diatas meja bersebelahan dengan kasurnya."

Perlahan mataku berkaca-kaca dan mengalirkan air mata karena rasa pahit dihatiku semakin kuat.

"A-aku... Hiks... Aku saat itu sadar rasa sedih milik ibu jauh lebih besar dari diriku. Sakit... sakit sekali dadaku melihat itu. Orang yang paling kusayangi ternyata menahan luka yang begitu dalam. Aku tidak tahan melihat Ibuku yang setiap malam menangis karena tidak bisa bersama orang yang dicintainya. Aku sedih melihat orang yang paling kusayangi menangis seorang diri, aku kecewa pada takdir menyakitkan yang harus di alaminya, aku marah pada diriku yang hanya bisa meringkuk sedih melihat Ibuku menangis. Aku jadi tersadar setiap kali ibu melihatku ia pasti teringat dengan Ayah, karena dulu dia pernah mengatakan aku sangat mirip dengan Ayah. meskipun begitu ia tetap berusaha ceria dihadapanku dan Kakek. Meskipun aku membuatnya terus teringat orang yang ia cintai sudah tak ada disisinya lagi untuk menemani dan mendukungnya. Itu membuatku sedih karena diriku juga telah menambah rasa sakit dan luka dihatinya, dan sekarang aku tahu bahwa Ibu terpisah dengan Ayah karena diriku. A-aku... AKU BENCI HAL INI... SEHARUSNYA AKU LEBIH BAIK TAK USAH DILAHIRKAN SAJA !!!!!"

Dengan penuh amarah dan kesedihan aku teriakan rasa penyesalanku itu dengan sekuat tenaga.

PLAAAAK... Dengan sekejap tuan Hara menampar pipiku dengan sangat keras.

Tapi yang kulihat dari wajahnya bukan ekspresi kemarahan.

Yang kulihat adalah wajah yang menahan tangis dengan mata berkaca-kacanya.

Suaranya terdengar serak saat ia membalas kata-kata dariku.

"BERANINYA KAMU BERKATA BEGITU!!! APA KAMU TIDAK TAHU SEPERTI APA IBUMU KETIKA KAMU DIAMBIL DARINYA? DIA NEKAT BERLARI MENGEJARMU DALAM KEADAAN LEMAH SETELAH MELAHIRKAN. APA KAMU TIDAK TAHU BAGAIMANA KETIKA AYAHMU MENCARI DIRIMU ? D-dia... Hiks... Berlari tertatih-tatih kesana kemari sembari menangis sejadi-jadinya, dia terus memanggil "Putraku" dalam tangisnya disepanjang jalan mencarimu. Diujung napas terakhirnya dia menangis bahagia saat memelukmu karena dirimu masih baik-baik saja."

Tuan Hara pun akhirnya tak dapat membendung tangisnya.

Air matanya mulai mengalir dengan deras dan membasahi pipinya.

"Ibumu mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanmu, Ayahmu memberikan nyawanya untukmu. Kamu adalah hadiah terbesar bagi mereka, lebih dari apapun. Jauh lebih berharga dari hidup mereka. Mereka yang menginginkan kehadiran dirimu diantara mereka. Kamu adalah bukti ikatan cinta mereka. J-jadi jangan pernah lagi kau mengucapkan itu!!! Aku... aku mohon padamu...!!!"

Aku tak paham kenapa ia juga ikut menangisi takdir yang menimpa keluargaku.

Apa yang dipikirkan tuan Hara masih sangat sulit kupahami.

Ahh sial... Tenggorokanku sungguh sakit dan serak sekali untuk mengucapkan sesuatu.

"K-kenapa... Kenapa anda juga ikut menangisi hal ini. Apa anda merasa bertanggung jawab karena gagal melindungi Ayah. Aku sudah bilang tuan Hara tak bersalah apapun, justru anda sudah meringankan beban Ayah. Agar tak terjadi hal yang jauh lebih buruk."

Masih dengan wajah berlinang air matanya dan mulutnya yang sekeras mungkin menahan suara tangis yang hendak keluar dari tenggorokannya.

Tak disangka ia langsung mendekap dan memelukku.

"Aku sudah menemani keluarga kalian sejak lama. Melihat kalian terlahir dan tumbuh dewasa. Menemani kehidupan keluarga kalian dalam waktu yang tak bisa kau bayangkan. Kalian sudah layaknya anak-anak ku sendiri. Kalian selalu menemani waktuku yang cukup panjang ini dengan kenangan yang berharga. Jika ada hal buruk dan membuat kalian sedih dan menderita, itu sudah cukup membuat hatiku terasa sakit. Sudah sewajarnya aku juga ikut menangis."

Mataku terbuka lebar setelah menyadari hal itu.

Justru mungkin tuan Hara jauh lebih menderita dari diriku ini.

Karena dia sudah menghabiskan waktu cukup lama dalam ikatan seperti keluarga dengan Ayahku.

Dan bodohnya diriku mengatakan semua hal seperti itu tadi.

Dengan isak tangis aku menyesali hal ini dalam pelukannya.

"Hiks... Maaf... Maafkan aku tuan Hara... Hiks... Maafkan aku telah mengucapkan hal yang tak seharusnya."

"Sudahlah... Tak mengapa... Kamu pasti sudah sangat menderita dalam waktu lama. Sudah wajar kesedihan dan pikiran negatifmu meledak suatu saat. Menangislah, keluarkan semua kesedihanmu sampai kau lega. Jika setiap saat kamu sedih, datanglah padaku. Aku akan selalu ada untukmu disini."

"H-h-hhh-hwaaaaaaaaaa... Haaaaaaaaaa..."

Untuk beberapa waktu aku mengeluarkan tangisan dan semua kesedihanku yang selalu aku bendung jauh dalam lubuk hatiku didalam pelukannya.

...

Setelah aku sudah jauh lebih tenang kami melanjutkan pembicaraan kami.

"Terimakasih tuan Hara, atas semua hal yang telah anda lakukan. Aku sangat menghargainya."

Dia tersenyum dan mengelus-elus kepalaku setelah mendengar ungkapan terimakasihku.

"Sudahlah... Kalian sudah seperti keluargaku sendiri. Jadi aku melakukannya karena keinginanku sendiri. Maka tak perlu dirimu merasa berhutang budi."

Aku sedikit mundur dan tersipu malu karena hal yang dilakukannya.

"Hwaaa... Tolong jangan memperlakukanku seperti anak kecil, itu sungguh membuatku malu."

Dan ia justru tersenyum meledek, yang ditunjukkan pada diriku.

"Hoooo... Bukankah tadi kau barusan menangis cukup lama seperti anak kecil."

Kugh... Kata-katanya menohok diriku dengan tepat.

Kurasa wajahku memerah karena malu akan kebenaran ucapannya.

"I-itu bukan seperti itu... ah lalu... Tadi kan anda juga ikut menangis."

Balasanku sepertinya juga menohoknya dengan tepat.

"I-itu kan berbeda, itu adalah tangisan orang dewasa karena hal tertentu."

"Lalu kenapa cuma tangisanmu yang merupakan tangisan orang dewasa?"

"Yah... Karena aku ini jauh lebih tua darimu, bagiku kamu masih terlihat seperti bocah kecil jika dibandingkan dengan umurku."

"Aaah... Terserah dengan semua dalih anda. Huh... Setidaknya jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Itu membuatku sangat malu kau tahu."

"Ya, baiklah aku mengerti."

Dia mengatakan itu tapi masih saja dirinya mengelus-elus kepalaku.

Apanya yang sudah mengerti, dasar menyebalkan.

Aku mengerutkan dahiku karena kesal akan perbuatannya ini, meski jauh dalam hati aku tidak membenci ini.

Setidaknya suasana sudah jadi lebih cair setelah semua suasana negatif tadi.

"Jadi tuan Hara, sebenarnya ada yang mau ingin aku bahas dengan anda."

"Hooo... Apa itu?"

Aku membungkukkan diriku padanya untuk menunjukkan ketulusan dan kesungguhan niatku.

"Saya mohon, ajari diriku mengenai dunia Praktisi Roh. Aku ingin jadi lebih kuat sebagai Praktisi Roh, agar bisa melindungi keluarga yang sangat berharga bagiku. Aku mohon pada anda."

"Tegakkan dirimu, aku tak ingin seperti ini."

Ucapan penolakannya itu barusan membuatku syok sesaat.

"Tapi tuan Hara mengapa anda menolaknya. Tolong beritahu aku sebab-"

Belum selesai aku berucap, tuan Hara sudah memotong ucapanku.

"Aku tak ingin kamu membungkuk seperti itu seolah memohon bantuan pada orang asing. Kalian sudah seperti keluarga bagiku termasuk dirimu. Tak perlu memohonpun sudah pasti aku akan membantumu."

Setelah mendengar itu perasaan sungguh terasa begitu lega.

Dia memang orang yang sangat luar biasa karena kebaikan hatinya.

"Terimakasih banyak Tuan Hara."

"Tidak perlu memanggilku dengan kata tuan lagi. Mulai saat ini aku adalah gurumu, maka cukup panggil aku guru. Itu saja sudah cukup bagiku."

Dengan penuh semangat dia menunjuk dirinya dengan jempol tangan kanannya bersamaan akhir kalimat ucapannya.

Aku pun membalasnya dengan rasa senang dan syukur.

"Baik... Guru."

Tuan Hara kemudian melipatkan kedua tangannya ke dada untuk melanjutkan pembicaraan seriusnya.

"Besok sepulang kerja dan istirahat pergilah ke ruang dojo latihan beladiri milik kakekmu. Aku akan mulai mengajarimu mengenai kultivasi roh. Jadi persiapkan dirimu."

"Baik, aku mengerti guru."

"Ah... Aku jadi ingat suatu hal kecil pada awal perbincangan kita."

Aku jadi penasaran hal apa ?

Kurasa tak ada hal lain lagi menurutku.

"Apa itu guru ?"

"He he he... Cukup setelah kamu bangun tidur maka akan paham."

"Hah ?"

"Cukup tidurlah dulu saat ini."

Tuan Hara menjentikkan jari tangan kanannya dan perlahan aku kehilangan kesadaran.

Tepat ketika pandanganku mulai menjadi gelap, yang kulihat adalah senyuman tuan Hara.

Dan akupun setelahnya terbangun dari tidurku.

Hari sudah pagi ternyata jika dilihat dari cahaya jendela.

Wajahku terasa basah, pasti kedua mataku juga ikut meneteskan air mata ketika aku menangis dalam alam bawah sadarku.

Ketika aku hendak mengusap air mataku entah kenapa tangan kananku terasa berat.

Ketika aku menengok kesamping terlihat Gita tidur sambil mendekap tubuhku.

Aku memegang dahiku dengan tangan kiri karena saking bingungnya akan situasi saat ini.

"A-a-aaa... Ada apa ini? Apa yang terjadi semalam saat aku tak sadar. Mungkin ini yang dimaksud tuan Hara tadi ketika aku terbangun maka akan mengerti."

Wajahku memerah padam, aku jadi gelagapan dan itu nampaknya membangunkan Gita.

"Uhm... Sudah pagi kah."

Seusai bergumam sendiri Gita perlahan membuka matanya.

Dan ketika wajah kami bertatapan setelah ia membuka mata, wajahnya jadi syok dan mulai memerah padam.

"KYAAAAAAAAA..."

Setelah teriakkan itu dia mencengkram pakaianku dengan kedua tangannya, kemudian ia menutup wajahnya kedadaku yang jadi terbaring miring kearahnya karena tarikan tangannya.

"Hwaaaa... Maafkan aku... Aku mohon lupakan semua ini."

Dengan gelagapan karena situasi ini aku membalasnya.

"B-baiklah... t-tentu saja."

Namun... BRAAAAK!!!... Suara pintu kamarku terbuka dengan keras.

Dan ternyata disana ada adik perempuanku dengan wajahnya yang begitu syok melihat hal yang kami berdua lakukan di kamar ini.

Tubuhnya gemetar dan kata terbata-bata mulai keluar dari mulutnya.

"D-d-d-da-"

Melihat Dhita yang hampir meledak emosinya, secepat mungkin aku coba untuk menjelaskan situasi.

Jika dia berteriak dan memanggil masalah yang jauh lebih besar, maka habislah aku.

"T-tunggu jangan salah paham, ini tidak seperti yang terlihat."

"D-DASAR KAKAK MESUM!!! KAKEK!!!... KAKAK SUDAH BERANI MEMBAWA TIDUR CEWEK KE DALAM KAMARNYA !!!"

Ah... Mulai detik ini aku sadar, mungkin Kakek akan membunuhku sekarang... Heh... Ya ampun.