Tia menghela napas berkali-kali. Rasa gugupnya bertambah tiap kali matanya menatap jam di dinding. Sebentar lagi. Sebentar lagi. Mengingat itu, Tia semakin meremas tangannya yang berkeringat.
"Santai aja, nak, kenapa tegang gitu mukanya?"
Desi yang ada bersama Tia tersenyum geli melihat putri semata wayangnya yang jelas gelisah.
"Aku takut bikin salah, Bu, takut malu-maluin keluarga besar bang Darka. Apalagi kita bukan dari kalangan kaya seperti mereka."
Desi meraih sebelah tangan Tia dan menggenggamnya. Seperti terhipnotis, belaian lembut tangan Desi mampu menenangkan jantung Tia yang berdetak kencang sejak tadi.
"Kamu harus percaya diri. Anak ibu cantik, memesona dan indah. Nggak ada yang musti kamu takutkan. Darka bangga punya kamu. Seharusnya kamu juga gitu kan? Kamu harus yakin kalau kamu pantas buat dia."
"Ti, ayo."