~Tuhan tidak pernah pilih kasih terhadap hambanya, maka dekatilah ia agar kamu menjadi hamba yang disayanginya~
====================================================
"Ma, Hendra janji kelak jadi dokter yang hebat, yang bisa nolong banyak orang. Hendra janji, Ma. Hendra pasti bisa jadi dokter yang hebat, seperti yang Mama harapkan."
"Ugghh!"
Pria muda bermata sipit itu tampak sangat kesakitan. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Rasa sakitnya seakan tak tertahankan lagi, sampai membuatnya jatuh terduduk di lantai.
'Ya Tuhan, jangan sekarang!' Hatinya menjerit. Susah payah ia merangkak mendekati laci mejanya, lalu membukanya dengan sisa-sisa tenaga. Ada ekspresi lega begitu ia melihat botol obat yang sudah tiga bulan terakhir menjadi teman setianya pada saat-saat darurat seperti ini. Pelan-pelan, ditelannya sebutir pil dari dalam botol obat itu sambil berjuang sendirian melawan rasa sakit teramat hebat di seluruh bagian kepalanya
'Sebentar sebentar lagi Ndra kamu harus kuat', hati kecilnya berbisik. Pil itu baru akan bereaksi beberapa menit lagi. Ia harus bertahan dari gempuran rasa sakit yang mendera. Setiap kali mengalami serangan rasa sakit semacam itu, ia hanya bisa meringkuk di lantai.
Menit demi demi menit berlalu perlahan rasa sakitnya mulai reda walau belum sepenuhnya
TOK TOK TOK!
"Masuk," kata sipria muda.Pelan-pelan ia bangkit dan duduk di kursinya.Susah payah ia mengatur ekspresi wajah agar terlihat normal.
Terdengar suara pintu dibuka.Sesosok wanita muda dengan seragam serba putih khas perawat muncul dengan senyum mengembang.
"Dokter Hendra,waktunya memeriksa pasien," sapanya dengan riang.Senyumnya langsung kuncup begitu melihat wajah pucat milik sipria muda yang sekarang tengah mengenakan jas putih khas dokter.
Pria muda yang disapa dengan sebutan Dokter Hendra itu tersenyum pada sang perawat. "Oke, Suster Shendy," katanya singkat.
Perawat bernama Shendy itu buru-buru masuk dan menutup pintu. Ekspresinya berubah cemas. "Dokter, Dokter kenapa? Pusing lagi?" tanyanya dengan khawatir.
Hendra menggeleng. "Nggak, Cuma kurang tidur aja," jawab Hendra santai, namun tak berhasil melenyapkan kekhawatiran Shendy.
"Ndra." Shendy menghampiri Hendra.
Hendra menatap Shendy dan kembali tersenyum. "Ada apa, nih? Apa sekarang lo udah setuju sama permintaan gue buat bergue-elo-ria selama jam kerja?" tanya Hendra dengan ekspresi jenaka, tapi tidak digubris Shendy. Ekspresi Shendy tetap terlihat khawatir.
"Ndra, jangan bohong. Lo sakit kepala lagi, 'kan?" tembak Shendy. "Akhir-akhir ini kayaknya lo sering pusing, sebaiknya lo buruan periksa, Ndra!"
Hendra menggeleng. "Shen," panggil Hendra. "Gue baik-baik aja, kok. Lo nggak usah kuatir. Lebih baik lo fokus ke persiapan wedding lo sama Fran. Lo tenang aja, gue nggak apa-apa. Yuk, sekarang waktunya kerja. Sekarang jadwal gue buat meriksa pasien, 'kan?" kata Hendra seraya bangkit.
Shendy memberikan jalan untuk Hendra. "Sebaiknya lo buruan check-up, Ndra," kata Shendy. "Inget, kerjaan lo cukup berat, apalagi sekarang ada Liliyana. Gimana lo bisa bantu dia biar sembuh kalo kondisi fisik lo sendiri kurang fit?"
Langkah Hendra terhenti begitu mendengar Shendy menyebut nama Liliyana.
****
Sejak menjadi onkolog atau dokter spesialis kanker selama dua tahun terakhir, Hendra sudah terbiasa menghadapi banyak pasien pengidap kanker dengan berbagai penderitaan mereka. Entah sudah berapa pasien kanker yang ditanganinya. Namun dari sekian banyak pasien yang berada di bawah pengawasannya, baru kali ini Hendra menghadapi pasien seperti Liliyana Natsir.
"Selamat pagi, Liliyana. Gimana keadaan kamu? Saya periksa kamu sebentar, ya," sapa Hendra ramah pada seorang gadis cantik berambut cepak dan bertubuh kurus yang duduk bersandar di ranjang, dengan selang infus menancap di tangan kirinya.
Shendy yang kebetulan ikut merawat Liliyana sudah terlebih dahulu melapor pada Hendra tentang kondisi gadis berumur 20 tahun itu. Infus yang menancap di tangannya menjadi bukti yang menguatkan laporan Shendy.
Liliyana hanya mengangguk singkat, tanpa ekspresi. Ia mulai berbaring dan memberikan kesempatan bagi Hendra untuk memeriksanya. Hendra memeriksa Liliyana dengan stetoskop, lalu memeriksa mata Liliyana dengan senter. Mata Hendra sekilas menyapu memar yang muncul di kedua tangan Liliyana.
"Kondisi kamu kurang stabil, alangkah baiknya kalo kamu mau makan," kata Hendra. "Lebih baik makan daripada diinfus, kan?"
Liliyana menggeleng. "Percuma, saya udah nggak bisa mengecap rasa makanan apapun," katanya datar. "Lagipula cepat atau lambat saya bakal mati, buat apa repot-repot makan segala? Lebih baik saya nggak makan, biar cepet mati dan bebas dari semua rasa sakit yang menyiksa ini. Saya udah capek, Dok, saya udah bosen," lanjutnya dengan datar, tanpa ekspresi dan tanpa menatap mata Hendra.
Hendra menarik napas yang mulai terasa berat. Selalu begini. Selalu begini setiap kali ia menghadapi Liliyana. Alih-alih ingin memotivasinya agar sembuh, Liliyana justru menskakmat Hendra dengan argumen-argumennya yang dingin. Gadis berumur 20 tahun ini selalu membuatnya frustasi. Ia tidak seperti pasien lain yang seringkali frustasi dan putus asa menghadapi penyakitnya. Liliyana tidak. Ia tidak frustasi dan tidak putus asa, tapi juga seakan tidak mau sembuh dan ingin cepat mati.
"Kenapa kamu selalu kayak gini, sih? Sebentar-sebentar ngomong mati. Kematian itu cuma Tuhan yang tahu. Selama kamu masih hidup, masih ada harapan untuk sembuh," kata Hendra dengan sabar.
Liliyana mencibir. "Sembuh? Saya nggak perlu sembuh. Sembuh pun nggak banyak membantu saya. Saya udah bosen hidup. Daripada saya hidup dan tersiksa, ya lebih baik saya mati," tukas Liliyana dengan nada sedikit meninggi.
Hendra bertukar pandang dengan Shendy yang berdiri di sampingnya. Shendy diam saja dan terlihat prihatin.
"Jadi kamu ingin saya diam saja menyaksikan kamu sekarat sampai akhirnya kamu meninggal? Kamu ingin saya nggak melakukan apapun untuk menyelamatkan kamu?" Tanpa sadar, suara Hendra ikut meninggi.
Liliyana menatap Hendra, begitu mendadak, begitu tajam, begitu dingin. Tanpa sadar, Hendra merasa sekujur tubuhnya dingin dan kaku.
"Masih banyak pasien yang benar-benar membutuhkan Dokter, pasien yang masih ingin hidup. Jadi sebaiknya Dokter nggak perlu repot-repot meminta saya ikut kemoterapi atau apalah itu. Percuma, saya nggak tertarik. Lebih baik Dokter fokus ke pasien-pasien lain, yang masih ingin berjuang. Dokter nggak usah repot-repot ngurusin saya. Saya mau dirawat di rumah sakit, semata-mata supaya pembantu saya nggak repot. Lagipula sebentar lagi saya bakal keluar dari tempat ini. Masih ada yang harus saya lakukan sebelum saya mati," kata Liliyana tegas.
Hendra tak tahan lagi mendengar kata-kata Liliyana. Hampir setiap hari mereka berdebat seperti itu.
"Sudah, sudah, lebih baik kamu istirahat. Nanti siang kamu ikut MRI ya," kata Hendra.
Liliyana diam saja. Tatapannya beralih ke jendela kamarnya.
Hendra menghela napas, lalu mengerling Shendy. "Mari, Sus," kata Hendra. Tatapannya kembali jatuh pada Liliyana. "Liliyana, saya pamit dulu," pamit Hendra.
Liliyana tak menggubris. Hendra pun mengalah dan bergegas keluar dengan masygul. Sikap dingin Liliyana seakan membuatnya tak berdaya. Membuatnya merasa menjadi dokter yang tidak bisa berbuat apa-apa demi pasiennya sendiri.
*****
TOK TOK TOK
"Masuk." Hendra menyahut dari dalam ruang kerjanya. Tatapannya jatuh pada hasil pemeriksaan Liliyana.
Pintu dibuka. Hendra mendongak dan melihat sosok wanita paruh baya yang tersenyum sopan.
"Bu Surti, mari silakan duduk," sapa Hendra dengan ramah pada wanita paruh baya itu.
Wanita bernama Surti itu menutup pintu, lalu duduk berhadapan dengan Hendra. "Gimana hasil pemeriksaan Non Yana, Dok?" tanya Surti dengan cemas.
Hendra menunjukkan hasil pemeriksaan terhadap Liliyana. "Kondisinya semakin tidak stabil," jawab Hendra dengan muram. "Sel kankernya perlahan tapi pasti semakin menyebar. Tolong awasi dia, jangan sampai dia mengeluarkan darah karena hal-hal sepele, misalnya waktu menyikat gigi. Laporkan juga kalau timbul gejala-gejala lanjutan seperti batuk dan muntah darah."
Surti terbelalak kaget. Ditatapnya Hendra dengan ngeri. "M-muntah darah?"
Hendra mengangguk. "Ya, kalau sel kankernya semakin menyebar, Liliyana akan mengalami batuk sampai muntah darah," jawab Hendra serius.
Surti meremas-remas tangannya sendiri, tampak syok. Matanya mulai berkaca-kaca. "Dokter, tolong Dok, tolong selamatkan Non Yana. Tolong lakukan apa aja asal Non Yana bisa sembuh. Saya mohon, Dok," pinta Surti mengiba.
"Mohon tenang dulu, Bu. Sebagai seorang dokter, sudah pasti saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kesembuhan pasien saya. Tapi Bu, masalahnya justru terletak pada Liliyana sendiri. Dia menolak minum obat, juga tidak mau kemoterapi. Itu membuat kondisinya melemah."
"Saya tau, Dok. Tapi, Dok, apa nggak ada cara lain supaya Non Yana sembuh? Saya nggak tega setiap kali ngeliat Non Yana kambuh. Kasian dia. Saya takut kalo sewaktu-waktu Non Yana pergi," kata Surti dengan berurai air mata.
Kata-kata Surti membuat bulu kuduk Hendra berdiri. Rasanya ia sendiri tak sanggup membayangkan Liliyana meregang nyawa.
"Ada cara lain, tapi cukup beresiko," jawab Hendra setelah sejenak terdiam.
"Cara apa itu, Dokter?" tanya Surti penuh harap.
"Dengan melakukan operasi pencangkokan sumsum tulang belakang. Bisa dengan cara mengambil sumsum tulang dari si pasien sendiri atau dari sumsum anggota keluarga pasien. Tapi belum tentu sumsum keluarga pasien cocok dengan sumsum pasien. Akan sangat beruntung kalau sumsum salah satu keluarga pasien cocok dengan sumsum pasien. Kalau tidak, terpaksa kita harus mencari donor sumsum, dan bukan perkara mudah untuk mendapatkan sumsum yang cocok," jelas Hendra panjang lebar.
Wajah Surti berubah pias. Hendra menangkap perubahan ekspresi Surti, membuatnya mengernyitkan dahi. "Kenapa Bu?"
"Sumsum anggota keluarga, Dok?" tanya Surti.
Hendra mengangguk. "Ya. Siapa tahu sumsum salah satu anggota keluarga Liliyana ada yang cocok dengan sumsum Liliyana. Oh ya, bicara mengenai keluarga, kira-kira kapan saya bisa bertemu dengan orangtua Liliyana? Saya harus segera mendiskusikan kondisi Liliyana dengan orangtuanya."
Wajah Surti semakin muram mendengar kata-kata Hendra. "Justru itu, Dokter. Non Yana nggak mau orangtuanya dikasih tau kalau Non Yana sakit kanker."
Hendra tercengang mendengar penjelasan Surti. "Jadi orangtua Liliyana belum tahu kalau Liliyana mengidap leukemia?" Hendra kaget. "Kenapa, Bu? Saya 'kan sudah meminta Ibu untuk memberitahu orangtua Liliyana."
"Iya, Dok, tapi Non Yana nggak mau papanya tau kalo dia sakit kanker," kata Surti sambil mengusap air mata.
"Bagaimana dengan ibunya?" tanya Hendra.
"Nyonya udah lama pergi dari rumah. Nggak ada yang tau dimana Nyonya sekarang. Saya juga nggak berani tanya ke Tuan. Jadi saya nggak tau gimana caranya ngasih tau Nyonya. Lagipula, Non Yana sendiri menganggap ibunya sudah meninggal, Dok," jawab Surti pilu.
Hendra tersentak mendengar penjelasan Surti. Sekarang ia baru paham kenapa selama ini selalu Surti-lah yang mendampingi Liliyana.
"Bu Surti, saya boleh minta tolong?" tanya Hendra setelah bisa pulih dari rasa kagetnya.
"Minta tolong apa, Dok?"
"Tolong bantú saya menyelamatkan Liliyana," jawab Hendra.
Surti tercengang.
****
Liliyana memperhatikan sosok anak perempuan berumur 7 tahunan yang kurus, pucat, tapi terlihat ceria itu. Anak itu sama seperti dirinya, mengenakan baju pasien. Ia tengah asyik menggambar di bangku taman, sendirian. Liliyana yang pada dasarnya suka dengan anak-anak itu tak bisa menahan diri untuk mendekat.
"Halo, boleh nggak Kakak duduk disini?" sapa Liliyana ramah.
Anak itu mendongak. Melihat Liliyana yang tersenyum ramah, anak itu ikut tersenyum. "Boleh," jawabnya dengan mata berbinar. Matanya bulat besar dan bersinar ceria.
Liliyana duduk di samping anak itu. "Kenalin, nama kakak Liliyana. Panggil aja Yana. Nama kamu siapa?" Liliyana mengulurkan tangan.
Anak perempuan itu menjabat tangan Liliyana. "Galadriel, panggil aja Riel," jawab Galadriel dengan ceria.
"Galadriel? Hm, pasti papa sama mama kamu suka The Lord of The Rings ya?" tebak Liliyana.
Mata Galadriel berbinar. "Kakak tau The Lord of The Rings?" Riel tampak surprise. "Iya, papa sama mama aku suka banget sama The Lord of The Rings, makanya aku dikasih nama Galadriel, nama ratu peri dari Lorien."
"Galadriel nama yang bagus," puji Yana. "Ngomong-ngomong, Riel lagi gambar apa?" tanya Liliyana. Pandangannya beralih ke buku gambar di tangan Galadriel.
"Dokter Hendra," jawab Galadriel santai, matanya yang cantik kembali fokus pada buku gambar di tangannya.
Liliyana tercengang mendengar jawaban Galadriel. Dilihatnya gambar Galadriel. Anak itu menggambar sosok laki-laki bermata sipit dan mengenakan jas dokter. "Dokter Hendra? Kamu kenal dia?" tanya Yana terkejut.
Galadriel mengangguk. "Iya. Dokter Hendra itu dokter yang ngerawat aku, Kak," jawab Galadriel. "Orangnya baik banget, deh."
Jawaban Galadriel membuat Yana meneguk ludah. "Dokter yang ngerawat kamu? Memangnya kamu sakit apa, Riel?"
"Leukemia," jawab Galadriel santai. Krayon hitam di tangannya bergerak mewarnai gambar rambut Hendra.
"L-leukemia?" Yana tercekat.
Riel mengangguk. Ia menoleh ke arah Yana. "Kalo Kakak sakit apa?"
Yana menggigit bibir, masih syok dengan jawaban Galadriel barusan. "Kakak…., sama seperti kamu."
Gantian Galadriel kaget. "Kakak juga sakit leukemia?"
Yana mengangguk. "Ya."
"Kalo gitu kita sama, dong," kata Galadriel dengan riang. Mendadak bola matanya bersinar-sinar. "Oh, Kakak ini pasti kakak cantik yang nggak mau kemoterapi itu, ya?" tebak Galadriel, membuat Yana kembali tercengang.
"Hah? Maksudnya?"
"Iya, Dokter Hendra cerita, katanya di rumah sakit ini ada cewek cantik yang sakit leukemia, tapi nggak mau dikemo, nggak mau minum obat, pokoknya bandel gitu, deh. Pasti orang yang dimaksud Dokter Hendra itu Kak Yana. Iya, kan?" cerita Riel bersemangat. "Kenapa Kakak nggak mau diobatin? Nanti nggak sembuh, dong?"
Yana terbengong-bengong mendengar cerita Riel. Ternyata Hendra menceritakan perihal dirinya pada anak sekecil Riel.
"Kak, kenapa Kakak nggak mau diobatin?" tanya Riel lagi.
Yana tersadar. Dibelai-belainya rambut indah milik Galadriel. "Itu…., karena Kakak nggak mau sembuh," jawab Yana dengan jujur.
Riel tercengang. "Kenapa? Kenapa Kakak nggak mau sembuh? Kalo Kakak nggak sembuh, pasti papa sama mama Kak Yana sedih."
Yana tersenyum. "Mereka nggak akan sedih."
"Kenapa?"
"Karena mereka nggak sayang sama Kak Yana."
Riel terlihat bingung. "Tapi kata papa Riel, semua orang tua pasti sayang sama anaknya," protes Galadriel. "Orangtua Kak Yana pasti sayang sama Kak Yana."
"Orangtua Kak Yana nggak sebaik orangtua Riel," kata Yana sedih. "Coba kalo Kakak punya orangtua seperti orangtua Riel, pasti Kakak mau sembuh demi mereka. Tapi mereka nggak sayang sama Kakak, jadi percuma aja Kakak sembuh."
Riel memperhatikan Yana dengan prihatin. Meski tak benar-benar paham maksud Yana, anak itu bisa melihat kesedihan di mata Yana. "Kakak jangan sedih. Nanti Riel jadi ikutan sedih," hibur Galadriel. Anak itu meletakkan buku gambar dan krayonnya, lalu memeluk Yana dengan hangat. "Kakak jangan sedih, ya."
Yana tersenyum. Dibalasnya pelukan Galadriel. "Makasih ya, Riel," kata Yana terharu.
"Lady Galadriel!"
Galadriel melepaskan pelukannya dari Yana, lalu menoleh ke sumber suara. Wajahnya kembali ceria melihat siapa yang datang. "Dokter Hendra!" Galadriel langsung berlari menyongsong Hendra.
Hendra tertawa. Digendongnya Galadriel. "Maaf ya, Lady Galadriel. Dokter nggak tepat waktu, nih, soalnya tadi mendadak ada pasien yang harus Dokter periksa," kata Hendra dengan riang.
"Iya, nggak apa-apa kok, Dokter. Lagian Riel ditemenin sama Kak Yana, kok," sahut Galadriel yang bergelayut manja pada Hendra.
Mendengar nama Liliyana membuat Hendra spontan menoleh ke arah gadis itu. Kebetulan Liliyana tengah memperhatikan Hendra dan Galadriel. Tatapan merekapun beradu. Hendra tersenyum ramah pada Yana dan membawa Galadriel mendekati bangku tempat Yana sedang duduk.
Galadriel turun dari gendongan Hendra. "Dokter, Kak Yana ini pasti kakak cantik yang nggak mau dikemo itu, 'kan? Yang waktu itu Dokter cerita," tembak Galadriel, membuat Hendra langsung salah tingkah.
"Eh, itu…."
"Kenapa Dokter cerita tentang saya ke Riel?" tanya Yana dengan raut wajah tak suka. Ia cemberut, terlihat kesal. Ekspresinya mirip anak kecil yang tengah ngambek.
"Maaf, saya benar-benar minta maaf," kata Hendra buru-buru. "Sekali lagi, saya minta maaf."
"Harga diri saya di depan Riel jatuh gara-gara Dokter," kecam Liliyana.
Hendra tercengang. Liliyana terlihat benar-benar marah. "Ehm, Liliyana, kamu jangan marah, ya. Saya sungguh minta maaf." Hendra benar-benar tak enak hati, meski sedikit geli melihat ekspresi kekanakan di wajah Liliyana.
Liliyana tetap cemberut, membuat Hendra bingung. Tiba-tiba Riel menarik tangan Hendra. "Dokter Hendra, Dokter Hendra harus dihukum!" kata Riel tiba-tiba.
"Hah? Dihukum?" Hendra tercengang, begitu juga dengan Liliyana.
"Iya. Dokter Hendra udah bikin Kak Yana marah. Dokter juga terlambat dateng kesini, jadi Dokter harus dihukum!" kata Riel pura-pura galak.
Hendra meneguk ludah. "Dihukum apa, nih?"
"Dihukum nyanyi Gangnam Style lengkap sama tarian kudanya!"
Hah? Hendra dan Yana tercengang.
"G-Gangnam Style? Sambil nari? Di sini?" Hendra berubah pucat. Pandangannya berkeliling. Di taman rumah sakit ada beberapa pasien yang tengah duduk-duduk dan berjalan-jalan, sementara perawat, petugas cleaning service dan keluarga pasien berlalu-lalang di sepanjang koridor. Aksi Hendra ber-Gangnam Style sudah pasti akan membuat heboh. Mungkin dia bakal menjadi dokter pertama yang rela memberikan tontonan menarik secara cuma-cuma di rumah sakit ini.
"Pokoknya kalo Dokter nggak mau dihukum, Riel nggak mau berteman sama Dokter lagi!" ancam Riel sok galak.
Hendra meneguk ludah. Ancaman Riel tidak berpengaruh buat Hendra, tapi bagaimana caranya membuat Liliyana tidak lagi marah-lah yang menjadi pusat perhatian Hendra sekarang.
"Ayo, Dokter," Riel menarik-narik ujung jas putih Hendra.
Hendra menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, sementara Liliyana memperhatikannya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Hendra melirik Liliyana sekilas.
'God bless me!'
"Oppan Gangnam Style! Gangnam Style!"
Liliyana dan Riel terbelalak kaget melihat Hendra menyanyikan Gangnam Style, lengkap dengan tarian kuda ala PSY. Keduanya terpana-pana melihat aksi Hendra.
Hendra terpaksa menebalkan muka dan terus beraksi dengan Gangnam Style-nya, sampai-sampai tak sadar kalau sekarang yang menontonnya tidak hanya Yana dan Riel, tapi juga pasien lain, perawat, petugas cleaning service, keluarga pasien dan orang-orang yang datang untuk membesuk pasien.
"Waaah, Dokter Hendra kereen! Kereen!" Riel bersorak-sorak mengiringi aksi Hendra. Anak itu terlihat sangat gembira.
Sementara Riel heboh bersorak untuk Hendra, Yana yang awalnya kaget dengan aksi Hendra itu akhirnya tak tahan lagi. Ia tertawa melihat penampilan Hendra.
Melihat Yana tertawa, Hendra spontan menghentikan aksinya. Ditatapnya Yana dengan takjub. Gadis itu tertawa geli sampai terbungkuk-bungkuk.
"Kamu ketawa?" tanya Hendra takjub, sampai-sampai tak menghiraukan penonton di sekitarnya.
Yana mendongak. Wajahnya merona merah, sementara matanya bersinar-sinar. Ekspresi geli terpeta jelas di wajahnya yang tirus. Hendra terkesima melihat Yana yang seperti itu. Gadis yang biasanya muram dan dingin itu hari ini terlihat hidup. Dan…., cantik. Pipinya merona merah, wajahnya bersinar-sinar.
Tanpa sadar Hendra tersenyum melihat ekspresi Liliyana yang benar-benar ceria. "Kamu nggak marah lagi, 'kan?" tanya Hendra.
Yana berhenti tertawa. Kelihatan sekali kalau sekarang ia salah tingkah. "Ehm, kali ini Dokter saya maafkan," kata Yana menahan malu, meski masih terlihat geli.
Hendra tersenyum. "Thanks," kata Hendra. Dalam hati, Hendra benar-benar merasa lega.
"Dokter, barusan Dokter keren banget nari Gangnam Style-nya. Ayo dong Dokter, nari sekali lagi," pinta Riel.
Hendra terbelalak. "Apa? Nari lagi?"
"Iya, ayolah Dokter. Mau ya? Ya ya?" desak Galadriel.
"Riel!"
Satu suara membuat Hendra, Riel dan Yana menoleh. Ternyata Shendy. Hendra merasa bertemu dewi penolongnya.
"Riel, sekarang udah sore. Waktunya mandi. Mandi dulu, yuk," ajak Shendy.
"Suster Shendy!" Riel menyongsong Shendy. "Suster, tadi Suster liat Dokter Hendra nari Gangnam Style nggak? Keren banget, lho!"
"Iya, Suster liat," Shendy menahan senyum. Ia menoleh pada Hendra. "Sering-sering ya, Dok, ngasih hiburan gratis," ledek Shendy.
Hendra meringis menahan malu.
Galadriel mengemasi peralatan menggambarnya. "Riel mandi dulu ya, Dokter, Kak Yana. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi," pamit Riel.
Shendy segera membawa Riel meninggalkan Hendra dan Yana. Sepeninggal Riel, suasana canggung segera menyergap Hendra dan Yana.
"Maaf ya, saya udah cerita-cerita tentang kamu ke Riel," Hendra membuka pembicaraan.
"Kali ini saya maafkan," kata Yana, yang kembali serius. "Tapi ada syaratnya."
"Apa?" tanya Hendra antusias. "Eh, tapi, tolong jangan minta saya ber-Gangnam Style lagi, ya," pinta Hendra memelas.
Yana nyaris tertawa melihat ekspresi Hendra, namun buru-buru ditahannya. "Nggak, tenang aja," kata Yana setengah geli. "Saya cuma minta Dokter cerita ke saya tentang Galadriel, biar impas."
Raut wajah Hendra berubah cerah.
*****
Shendy terbelalak melihat Hendra dan Yana mengobrol di bangku taman rumah sakit. Keduanya terlihat santai dan akrab. Shendy terheran-heran. Baru kali ini ia melihat Yana begitu santai, bahkan sampai mengobrol dengan Hendra. Padahal semenjak dirawat di rumah sakit ini selama hampir dua minggu terakhir, Yana selalu bersikap kecut pada Hendra.
"Mudah-mudahan Hendra bisa memotivasi Liliyana biar dia mau berjuang melawan penyakitnya," gumam Shendy, lalu ia melangkah pergi.
Sementara itu, Hendra asyik berbincang-bincang dengan Liliyana.
"Kasian Riel," gumam Yana yang tak bosan-bosannya mendengar cerita Hendra tentang Galadriel. "Kalo dia tau mama-papanya udah pisah, pasti dia sedih banget."
"Ya," kata Hendra. "Tapi Riel anak yang tabah. Suatu hari nanti, dia pasti bisa memahami situasi di antara kedua orangtuanya."
"Suatu hari nanti?"
"Ya, suatu hari nanti. Setelah dia dewasa. Memangnya kenapa?" Hendra mengernyit.
Yana menggeleng. "Ya, suatu hari nanti. Setelah Riel dewasa. Ya, setelah Riel dewasa. Dia pasti, pasti bisa tumbuh dewasa."
Hati Hendra seakan dicubit mendengar kata-kata Liliyana. Ia tahu maksud gadis itu. "Dia pasti bisa tumbuh dewasa. Untuk itu dia harus sembuh, supaya bisa tumbuh dewasa. Dan Riel punya tekad yang kuat untuk sembuh. Dia anak yang tangguh, juga tabah."
Yana tersenyum. "Ya, dia anak yang kuat. Dia pasti sembuh."
"Kamu juga bisa seperti Riel," kata Hendra hati-hati. "Kamu sama kuat, sama tabah seperti Riel. Kamu juga pasti bisa sembuh."
Yana menggeleng. "Nggak," kata Yana. "Saya nggak sekuat atau setabah Riel. Saya rapuh. Untuk itu saya nggak perlu sembuh dan nggak mau sembuh."
Napas Hendra kembali terasa berat. "Kenapa, Yan?" tanya Hendra. "Kenapa kamu cuma mikirin diri kamu sendiri dan nggak nyoba mikirin orang lain?"
Yana tersentak. "Maksud Dokter?"
"Apa kamu nggak sadar, kalo di sekitar kamu ada orang-orang yang sayang sama kamu, yang ingin kamu sembuh?" Hendra balik bertanya.
"Nggak," kata Yana. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada yang sayang sama saya, Dok," lanjutnya dengan ekspresi datar.
"Itu 'kan menurut kamu, Yan," sela Hendra. "Gimana sama Bu Surti, juga kedua orangtua kamu?"
"Orangtua saya?" Yana tersenyum sinis. "Mereka nggak peduli sama saya, jadi buat apa saya berjuang demi mereka?"
Hendra diam saja, membiarkan Yana bermain-main dengan pertanyaannya sendiri. Diperhatikannya gadis itu dalam-dalam.
"Kamu pernah tinggal Taipei?" tanya Hendra tiba-tiba.
Yana terkejut. "Dokter tau dari mana kalo saya pernah tinggal di Taipei?"
Hendra terpana. Jawaban Yana membuat memorinya berputar ke episode hidupnya belasan tahun silam, Yana memperhatikan Hendra dengan bingung. "Dok? Dokter? Kenapa Dokter bengong?"
Yana menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Hendra. Mendadak Hendra menangkap tangannya, membuat Yana kaget.
"Dokter…."
Hendra menatap Yana lurus-lurus. "Yan, saya mohon sama kamu. Tolong izinkan saya membantu kesembuhan kamu. Saya mohon, tolong sembuh. Tolong sembuh demi saya."
Kata-kata Hendra yang begitu sungguh-sungguh, sorot matanya yang tajam tapi tulus, serta genggaman tangannya yang mantap membuat Yana terlalu kaget untuk bicara. Yana hanya bisa membiarkan tangan Hendra menggenggam erat tangannya.
Tangan yang hangat dan….., menenteramkan hati.
Yana menatap ke dalam mata Hendra yang teduh.
'Kenapa? Kenapa orang ini begitu menginginkan kesembuhannya, sementara ia sudah terbiasa melihat pasiennya satu per satu meregang nyawa? Penyakit ini, bukankah kematian sudah menjadi paket pelengkap yang menyertainya? Tentu ia sadar betul kalau harapan untuk sembuh dari penyakit ini tidak banyak, 'kan?'
****
Hendra tengah berkutat dengan laptop di ruang kerjanya ketika Xuerui, pembantunya datang tergopoh-gopoh.
"Pak Hendra, Pak Alvent dateng," lapor Xuerui.
"Suruh langsung ke sini aja, Bi," sahut Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
"Baik, Pak," kata Xuerui, lalu ia bergegas keluar dari ruang kerja Hendra.
Tak lama kemudian sosok pria berusia awal 30-an, bertubuh tinggi tegap, berkulit putih dan berbibir merah memasuki ruang kerja Hendra. Hendra segera menyambutnya dengan senyuman.
"Tumben, Bro," sapa Hendra ramah.
"Nggak usah basa-basi, Ndra," kata Alvent. "Lo jelas-jelas tau maksud kedatangan gue kesini." Alvent menghampiri meja Hendra. Diangsurkannya sebuah amplop cokelat berukuran besar pada Hendra.
Hendra menerima amplop itu dengan wajah datar. "Bad?" tanya Hendra. Matanya terpaku ke amplop tersebut.
Alvent menghela napas. Ekspresinya sulit ditebak. "Very bad," jawab Alvent.
Hendra tersenyum. "Udah gue duga," gumam Hendra. Diletakannya amplop itu di atas mejanya.
"Ndra, lo harus secepatnya dioperasi," kata Alvent serius. "Kondisi lo mulai serius, Ndra. Painkiller nggak akan banyak ngebantu lo."
"Gue tau, Vent," jawab Hendra santai. "Tapi untuk saat ini gue belum bisa dioperasi. Masih ada tugas penting yang harus gue selesaikan, Vent."
"Apa itu ada hubungannya sama pasien lo yang namanya Liliyana itu?" tebak Alvent.
Hendra menatap sahabatnya itu. "Shendy yang cerita?"
Alvent mengangguk. "Kayaknya dia bukan pasien biasa, sampe-sampe seorang Hendra Setiawan sebegitu berambisi ngebantu kesembuhan dia," komentar Alvent. "Ada apa, Ndra? Apa dia orang yang spesial buat lo?"
Hendra tersenyum, tanpa menjawab Alvent.
Alvent menghela napas, tampak putus asa. "Gimana kalo ternyata dia meninggal?" tanya Alvent tiba-tiba. "Gimana kao ternyata dia meninggal dan kondisi lo udah terlalu gawat sebelum operasi? Apa itu nggak tragis namanya?"
Hendra meneguk ludah. Kata-kata Alvent benar. Hendra sadar betul kalau saat ini ia berpacu dengan waktu. Liliyana juga. Mau tak mau Hendra merasa sedikit takut.
"Lo pikirin lagi masak-masak, Ndra. Maksud lo ngebantu Liliyana sembuh memang baik, tapi bukan berarti lo harus ngorbanin diri lo sendiri," kata Alvent lagi.
"Apa bedanya gue sama Liliyana? Liliyana punya dua opsi takdir, sembuh atau meninggal. Gue sama aja. Operasi yang nantinya gue jalani punya dua opsi takdir buat gue, survive atau mati. Sekalipun gue survive, kemungkinan besar gue hilang ingatan. Right?" Tatapan mata Hendra menerawang.
Alvent menatap Hendra lurus-lurus. Kata-kata Hendra langsung merasuk ke dalam hatinya. Dicengkeramnya bahu Hendra kuat-kuat. "Gue bakal berusaha sekuat tenaga buat nyelametin lo, Ndra. Lo orang baik. Tuhan pasti sayang sama lo. Lo pasti bisa survive! Sekalipun lo hilang ingatan, gue bakal mati-matian berusaha buat balikin ingatan lo. Gue siap mempertaruhkan kredibilitas gue sebagai dokter demi lo, Ndra."
Hendra tersenyum. Ditepuknya bahu Alvent. "Gue percaya sama lo, Vent. Gue percaya seratus persen sama kemampuan lo, makanya gue milih jadi pasien lo," kata Hendra. "Tapi untuk sementara pasien lo ini belum bisa patuh sama perintah dokternya. Pasien lo ini masih punya tugas penting."
Alvent menghela napas. Dilepaskannya tangan dari bahu Hendra. "Gimana kalo Liliyana jadi pasien temen gue? Dia onkolog berbakat. Masih muda, cemerlang. Lulusan Seoul National University. Namanya Lee Yong Dae. Masih ada keturunan Indonesia. Mulai minggu depan dia kerja di sini, di rumah sakit ibunya. Kalo lo mau, biar gue yang atur. Jadi lo bisa fokus ikut perawatan buat penyakit lo, sementara Liliyana ditangani Yong Dae. Percaya sama gue, Yong Dae pasti bakal all out mengupayakan kesembuhan Liliyana."
Hendra menggeleng. "Makasih buat saran lo, Vent. Tapi gue udah mantap. Gue siap mendampingi Liliyana sampai akhir," kata Hendra mantap.
Alvent bisa melihat kilat di bola mata Hendra. Tahulah dia kalau tekad Hendra sudah bulat.
"Siapa sebenernya Liliyana, Ndra?" tanya Alvent. "Seberapa besar arti dia buat lo? Sepertinya dia bukan sekedar pasien buat lo. Iya, 'kan?"
Hendra baru akan menjawab ketika mendadak ponselnya berbunyi.
Shendy Tok
"Halo Shen?"
"Hendra?" terdengar suara Shendy. "Ndra, cepetan lo ke rumah sakit sekarang juga. Liliyana, Ndra, dia…."
"Liliyana kenapa, Shen?!" Hendra langsung waspada begitu mendengar nama Liliyana.
"Liliyana kritis, Ndra. Sekarang dia di ICU. Cepetan lo kesini sekarang!"
Hendra mencelos, ponsel di tangannya meluncur bebas ke lantai.
TO BE CONTINUE.....