Episode yang Lalu
Liliyana kaget. "Dokter!" Liliyana berlutut di hadapan Hendra yang mulai mengerang kesakitan. "Dokter kenapa? Dokter sakit?"
Hendra mendongak. Liliyana kaget setengah mati melihat Hendra pucat pasi, bibirnya membiru.
"Kamu ingat-ingat lagi….. Empat belas tahun…., yang lalu… Taipei," Hendra terbata-bata.
Mendadak dunianya gelap.
**************
AT LEAST YOU STILL HAVE ME
CHAPTER 3
Shendy kebingungan. Dari tadi ia dan Surti sibuk mencari-cari Liliyana. Gadis itu mendadak menghilang dari kamarnya saat Surti pamit untuk menunaikan shalat Isya. Shendy yang kebetulan mendapat jatah shift malam berbaik hati membantu Surti mencari Yana.
Shendy beberapa kali menghubungi Hendra, tapi tak ada jawaban. Ruang kerjanya pun kosong.
Shendy baru akan mendatangi ruang CCTV untuk mencari tahu keberadaan Yana ketika mendadak matanya melihat benda yang sepertinya tak asing. Sebuah tas, mirip tas kerja Hendra. Shendy buru-buru memungut tas itu. Diperiksanya isi tas. Benar dugaannya. Shendy mengenali ponsel milik Hendra, juga dompet Hendra.
Shendy bermaksud menutup tas itu ketika mendadak tatapannya tertumbuk pada sebuah amplop cokelat besar dengan stempel RS Y dan dialamatkan untuk Hendra Setiawan. Tulisan yang tercetak di amplop menunjukkan kalau isi dari amplop tersebut adalah hasil pemeriksaan MRI. Rasa penasaran membuat Shendy tidak berpikir panjang dan bergegas membuka amplop tersebut.
Isi amplop itu membuat Shendy kaget setengah mati. Wajahnya langsung pucat pasi, syok berat. Dengan tangan gemetar, Shendy memasukkan kembali isi amplop tersebut, lalu menutup tas Hendra.
Shendy segera menyadari ada yang tidak beres dengan Hendra, sampai-sampai sahabatnya itu meninggalkan tasnya di sembarang tempat. Perawat berseragam abu-abu itu segera mengedarkan pandangan berkeliling, berharap bisa menemukan bayangan Hendra.
Mata Shendy spontan terbelalak begitu menangkap sosok bayangan di tengah taman rumah sakit yang temaram, diiringi guyuran hujan yang menghunjam bumi.
*******
Hendra membuka mata, lalu mengerjapkannya pelan-pelan. Berkas cahaya yang memasuki matanya membuat Hendra silau. Perlu waktu kurang dari lima menit bagi Hendra untuk menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitarnya.
Mata Hendra segera menyapu wajah pucat milik Alvent dan Shendy, kedua sahabat baiknya.
"Gue…., ada dimana?" tanya Hendra. Hendra merasa aneh mendengar suaranya sendiri. Suaranya terdengar begitu kecil.
"Lo ada di rumah," jawab Alvent dengan muram. Raut wajahnya terlihat cemas.
Hendra mengedarkan pandangan. Matanya segera mengenali detail kamar tidurnya yang bernuansa biru dan merah. Mendadak ekspresinya berubah. Hendra segera paham kalau sesuatu yang tak beres telah menimpanya.
Sementara itu, Shendy bergegas mendekati Hendra. Tak disangka-sangka, tiba-tiba Shendy menangis dan memukuli bahu dokter itu.
"Lo keterlaluan, Ndra! Keterlaluan! Bisa-bisanya lo ngerahasiain kondisi lo yang sebenernya dari gue! Lo anggap apa gue, Ndra??? Gue ini sahabat lo! Sahabat yang udah 12 tahun lo kenal! Tapi kenapa lo tega ngerahasiain semuanya dari gue, Ndra?!" Shendy histeris. Alvent buru-buru maju dan menenangkannya.
"Shen, udah Shen, Hendra baru siuman, lo jangan bikin dia kaget," tegur Alvent seraya menjauhkan tangan Shendy dari Hendra.
Hendra terbelalak. Kata-kata Shendy tadi sudah cukup membuatnya paham kenapa sahabatnya itu mendadak histeris.
"Lo…., tau dari mana?" Hendra tercekat.
Shendy tak menjawab. Matanya menatap tajam Hendra, kentara sekali kalau ia benar-benar marah.
Hendra meneguk ludah. Tatapannya beralih pada Alvent. "Vent…., elo?"
Alvent menggeleng. Ia bergegas duduk di ranjang tempat Hendra berbaring. "Kondisi lo makin nggak stabil. Bisa-bisanya lo seceroboh itu, hujan-hujanan nggak jelas," kata Alvent.
Kata 'hujan-hujanan' membuat memori Hendra memutar sebuah adegan yang tak asing. Mendadak Hendra menyadari sesuatu.
"Yana, Yana dimana? Vent, dia dimana?" tanya Hendra cemas. Tergesa-gesa ia mencoba untuk duduk, tapi apa daya tubuhnya tak mau berkompromi. Hendra terlalu lemas hingga kesulitan untuk bangkit.
Alvent menahan Hendra. "Tenang. Dia baik-baik aja, Ndra. Sekarang dia lagi istirahat di kamarnya. Lo nggak usah kuatir."
"Beneran? Dia nggak kenapa-kenapa?" Hendra sangsi. Raut wajahnya jelas terlihat cemas.
Alvent mengangguk. "Beneran. Sekarang lo harus istirahat," jawab Alvent. Dirapatkannya selimut yang menutupi tubuh Hendra. "Gue nggak mau hal ini terjadi lagi, Ndra," tegas Alvent. "Lo harus bisa jaga kondisi lo sendiri."
Hendra meneguk ludah. Wajahnya masih kelihatan cemas. "Yana, dia…"
Shendy dan Alvent tampak masygul. Bahkan di saat seperti ini, Hendra sama sekali tidak peduli terhadap kondisinya sendiri dan hanya memikirkan Liliyana.
"Dia baik-baik aja, Ndra," kata Shendy, masih dengan suara serak. Di benaknya terbayang wajah pucat dan ekspresi khawatir di mata Liliyana ketika melihat Hendra pingsan. "Dia nggak kenapa-napa, justru…., dia kuatir banget sama lo."
Hendra tertegun mendengar kata-kata Shendy. "Dia…. Kuatir sama gue?"
Melihat ekspresi Hendra, Shendy benar-benar prihatin. "Lo cinta sama dia, Ndra?" tembak Shendy, namun nada bicaranya menyiratkan simpati.
Pertanyaan Shendy membuat Hendra tersentak. Alvent berdeham, lalu menatap Hendra lurus-lurus. "Apa dia…, malaikat penolong lo di Taipei dulu, Ndra?"
Shendy kaget mendengar kata-kata Alvent. "Malaikat penolong lo di Taipei? Apa maksudnya, Ndra? Lo, lo pernah ketemu dia di Taipei? Jadi sebelumnya lo udah kenal dia?" berondong Shendy.
Hendra memandang kedua sahabatnya bergantian. Di bawah tatapan prihatin milik Alvent dan tatapan khawatir campur penasaran milik Shendy, perlahan-lahan Hendra mengangguk.
******
Yana duduk di atas ranjang sambil memeluk kedua lututnya. Raut wajahnya tampak serius, sepertinya tengah memikirkan sesuatu. Tak jauh dari ranjangnya, Surti mengawasi dengan khawatir campur gelisah. Berkali-kali Surti melirik jam dinding. Tepat pukul dua belas tengah malam.
Malam semakin larut, tapi Yana belum juga tidur. Surti sangat takut kalau-kalau kondisi Yana memburuk lagi. Tapi melihat kondisinya sekarang, agaknya Yana baik-baik saja. Ia tampak normal dan tidak mengeluh sedikit pun. Sudah dua jam gadis itu duduk memeluk lututnya tanpa berubah posisi sedikit pun, persis seperti patung.
Surti melirik jam dinding sekali lagi. Ia tampak berpikir-pikir, sampai akhirnya memberanikan diri mendekati Yana.
"Non, udah malem, Non. Non Yana harus istirahat," tegur Surti dengan penuh perhatian.
Yana menggeleng tanpa menoleh pada Surti.
"Non, kalo Non Yana nggak istirahat, nanti Non Yana ambruk lagi," nasihat Surti. "Non Yana istirahat, ya. Sekarang udah jam dua belas malem lho, Non," bujuk Surti.
Yana menggeleng lagi. Ditatapnya pembantu rumah tangga yang sudah dianggapnya seperti orangtua sendiri itu. "Yana nggak kenapa-kenapa kok, Bi. Bibi nggak usah kuatir. Yana belum bisa tidur. Yana lagi coba nginget sesuatu."
Surti duduk di ranjang Yana. "Ngingetapa sih, Non? Mendingan ngingetnya besok aja, sekarang istirahat dulu, biar Non Yana sehat," kata Surti.
Yana kembali menggeleng. "Nggak, Bi. Yana nggak bisa tidur sebelum Yana inget. Ini penting banget, Bi," tolak Yana halus.
"Memangnya nginget soal apa, Non? Siapa tau Bibi bisa bantu ngingetin," kata Surti penuh perhatian.
Yana menghela napas. "Nggak bisa Bi, kali ini Bibi nggak bisa bantuin Yana. Sesuatu yang Yana coba inget-inget sekarang, itu bagian dari episode hidup Yana waktu di Taipei dulu," jawab Yana.
Surti mengernyitkan dahi. "Taipei? Berarti waktu Non Yana masih kecil? Waktu baru masuk SD, kan? Memangnya kenapa, Non? Bukannya Non Yana benci nginget-nginget segala sesuatu yang berhubungan sama kehidupan Non waktu di Taipei dulu?"
Kata-kata Surti mengingatkan Yana pada kenangan pahit di Taipei yang susah payah coba dilupakannya. Sampai sekarang Yana belum bisa melupakan adegan demi adegan pertengkaran ayah dan ibunya waktu mereka sekeluarga tinggal di Taipei. Yana masih ingat dengan jelas adegan dimana Beno menampar istrinya. Yana juga masih ingat dengan jelas sewaktu ibunya, Olly, mendadak pergi tanpa pamit dan tak pernah kembali, meninggalkan Yana dan kakak Yana yang sakit-sakitan, Kalista.
Yana bisa mengingat episode demi episode kehidupannya di Taipei dengan jelas, meski itu pahit. Tapi kenapa dia lupa tentangs episode pertemuannya dengan remaja laki-laki yang dimaksud Hendra di Zhinan Road empat belas tahun yang lalu?
Empat belas tahun yang lalu. Zhinan Road. Otak Yana berpikir keras. Zhinan Road, Distrik Wenshan. Dulu ia sangat familiar dengan daerah itu, karena Olly, ibunya, sering mengajaknya melewati jalan itu untuk mengunjungi kampus National Chengchi University, universitas impian Olly. Tempat Olly ingin sekali melanjutkan studi S2-nya, yang justru dihalang-halangi Beno.
Zhinan Road. Remaja laki-laki berkacamata yang sendirian, putus asa. Kenapa? Kenapa Hendra meminta Yana untuk mengingat itu? Apa maksud Hendra? Siapa remaja laki-laki itu? Dan kenapa, kenapa Hendra mengatakan kalau berkat dirinya-lah sampai saat ini Hendra Setiawan masih ada di dunia ini?
Kepala Yana mulai berdenyut-denyut. Perlahan ia meraba keningnya.
Panas.
*******
Zhinan Road, Wenshan District, Taipei, Summer 1999
Yana berjalan pelan-pelan menyusuri trotoar seorang diri. Biasanya ada sosok sang ibu yang berjalan di sampingnya, menggandeng tangannya dan mengajaknya bicara banyak hal, bahkan sampai ke hal-hal yang tidak dimengertinya sama sekali. Tahun ini Yana baru genap 6 tahun. Ia masih terlalu kecil dan sudah tentu tak paham dengan ocehan ibunya seputar beasiswa S2 yang diimpi-impikannya selama ini. Yana hanya paham kalau ibunya kesal lantaran gagal melanjutkan studi di National Chengchi University, dan itu karena suaminya sendiri. Ayah Yana.
Sekarang Yana sendirian. Tak ada tangan sang ibu yang menggandengnya. Tak ada lagi ocehan sang ibu tentang universitas, beasiswa S2 atau cita-cita sang ibu menjadi dosen ilmu ekonomi. Sang ibu telah pergi meninggalkannya. Meninggalkannya di Taipei bersama ayah yang sangat sibuk, kakak perempuan yang sakit-sakitan, Pei Rong si pembantu yang baik namun cerewet dan Yu Lang si sopir yang patuh.
Sebetulnya Yana tak benar-benar sendirian. Ada Yu Lang yang mengawasinya dari belakang. Yu Lang tahu majikan kecilnya ingin sendirian, makanya ia mengalah untuk berjalan di belakang, menjaga jarak dari Yana.
Berjalan-jalan sendirian menyusuri trotoar di Zhinan Road dipilih Yana untuk menghibur diri dan sekaligus menghindar dari kemungkinan melihat penyakit jantung kakaknya kambuh di rumah. Yana sudah beberapa kali melihat Kalista kambuh, dan itu membuatnya ngeri.
Kalista terlalu lemah untuk bisa menemaninya berjalan-jalan, terlalu rapuh untuk diajak berbagi kesedihan setelah ditinggalkan begitu saja oleh ibu mereka. Yana sadar betul kalau ia tak bisa bergantung pada kakak yang sakit-sakitan, makanya ia memilih menyendiri, berusaha menguatkan diri sendiri.
Mendadak pandangannya tertumpu pada sosok anak laki-laki yang berdiri persis di tepi jalan.
Bukan. Bukan anak laki-laki. Tubuhnya terlalu tinggi untuk ukuran anak-anak. Paling sedikit umurnya dua belas tahun. Lebih tepatnya remaja laki-laki. Yana memperhatikan remaja laki-laki itu. Entah kenapa, rasanya ada yang aneh. Yana memberanikan diri mendekat.
Yana kecil berdiri tiga langkah di belakang remaja laki-laki berkacamata dan berkaus oblong itu. Yana baru mengerti kenapa remaja laki-laki itu kelihatan aneh.
Dia menangis. Yana bisa melihat bahunya yang naik turun, juga sedu sedan tertahan. Jelas sekali remaja itu menangis. Yana memperhatikan remaja laki-laki itu penuh rasa ingin tahu, juga simpati. Ia heran melihat ada anak laki-laki yang menangis. Entah apa kata Beno kalau ia melihat anak laki-laki menangis. Yana tahu persis kalau ayahnya paling tidak suka melihat orang menangis, apalagi terhadap laki-laki yang menangis. Yana ingat betul waktu Beno memukulnya lantaran ia terus-menerus menangis memanggil-manggil ibunya.
Yana tak bisa menahan diri untuk tidak menegur remaja laki-laki itu. "Qingwen, Gege kenapa nangis?" sapa Yana dalam bahasa Mandarin seraya menjejeri remaja laki-laki itu.
Si remaja laki-laki itu kaget. Spontan ia menoleh. Yana bisa melihat wajahnya banjir air mata, sampai-sampai kacamatanya berkabut. Benar-benar mengenaskan.
"Gege kenapa nangis?" tanya Yana lagi.
Remaja laki-laki itu menatap Yana dengan ekspresi yang tidak dimengerti Yana.
"Bukan urusan kamu," kata si remaja laki-laki dengan suara serak, dalam bahasa Indonesia yang membuat Yana kaget.
"Gege bisa bahasa Indonesia?" tanya Yana takjub, refleks dalam bahasa Indonesia, membuat si remaja laki-laki gantian kaget.
"Kamu bisa bahasa Indonesia?" tanya si remaja laki-laki.
Yana mengangguk. "Aku 'kan orang Indonesia," sahut Yana dengan bangga.
Si remaja laki-laki tertegun sesaat, tapi kemudian menangis lagi, tanpa suara.
"Gege kenapa nangis?" tanya Yana lagi. "Gege lagi sedih, ya?"
Si remaja laki-laki tak menggubris Yana. Matanya terarah menatap jalan raya. Mendadak ia melangkahkan kakinya ke depan, memasuki jalan raya yang ramai oleh arus kendaraan.
Yana terperanjat ketika melihat ada taksi yang melaju kencang, mendekati si remaja laki-laki.
"Gege, awas!!!"
"Yana Xiaojie!!!"
Lin Yu Lang. Setengah mengomel, pemuda berumur 25 tahun itu menyeret Yana dan si remaja laki-laki yang sama-sama syok setelah hampir tertabrak taksi. Dibawanya mereka berdua ke sebuah kedai dan dibelikannya mereka dua cangkir teh Oolong hangat.
Yana segera pulih dari syoknya, sementara si remaja laki-laki justru bertingkah aneh. Ia histeris dan meracau dalam bahasa Indonesia yang tentunya hanya bisa dimengerti Yana. Yu Lang dan orang-orang yang ada di sekitar situ memperhatikannya dengan terheran-heran.
"Kenapa kamu nolong saya?! Harusnya biarin saya mati! Lebih baik saya mati! Buat apa saya hidup tanpa Mama?! Saya nggak bisa hidup tanpa Mama! Saya mau nyusul Mama ke surga! Saya mau ikut Mama!" Remaja itu histeris, membuat orang-orang terkejut dan bingung.
Yana kecil memperhatikan dengan penuh simpati. Ia merasa kasihan melihat remaja laki-laki itu sedih ditinggalkan sang ibu. Yana jadi ingat ibunya sendiri yang pergi begitu saja, tanpa pamit.
"Mama Kakak udah di surga, ya?" tanya Yana kecil dengan polos.
Remaja laki-laki itu menoleh. Tampangnya benar-benar kacau. Ditatapnya Yana dengan sangar.
Yana balas menatap tanpa takut. "Kakak harusnya jangan sedih. Mama Kakak nggak kemana-mana. Udah ada di surga, dijagain sama Tuhan. Kalo mama aku, aku nggak tau ada dimana. Mama pergi, nggak pulang-pulang," kata Yana dengan polos. "Kira-kira Tuhan tau nggak ya, mama aku sekarang ada di mana? Aku kangen sama Mama, tapi aku nggak tau Mama ada dimana," lanjut Yana, kali ini terlihat murung.
Raut wajah si remaja laki-laki berubah mendengarnya. Tanpa sadar, ia berhenti menangis. Tatapannya yang semula sangar kini berubah lunak. "Mama kamu pergi? Kamu nggak tau Mama kamu kemana?"
Yana mengangguk. "Papa bilang, Mama pergi soalnya Mama udah nggak sayang aku, Kakak sama Papa," jawab Yana mendung.
Remaja laki-laki itu tampak termangu-mangu. Ekspresinya sulit ditebak, tapi itu cukup membuat orang-orang lega lantaran ia sudah tidak histeris lagi. Yana memperhatikan wajah si remaja laki-laki. "Mama aku belum ke surga, tapi pasti Tuhan jagain mama aku, 'kan, Kak?"
Si remaja laki-laki tampak terkejut mendengar pertanyaan Yana. Ia tampak bingung, seakan tidak punya jawaban untuk Yana. Pelan-pelan ia mencopot kacamatanya, lalu mengelapnya dengan ujung kaus. Tatapannya tertunduk, memperhatikan kacamatanya.
Mata sipitnya bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Yana kecil memperhatikannya dengan saksama. Mata bengkak remaja laki-laki itu persis seperti mata ayahnya akhir-akhir ini. Ya, Beno seringkali keluar kamar dengan mata bengkak seperti itu.
Yana kembali memperhatikan wajah si remaja laki-laki yang tertunduk. Merasa diperhatikan, si remaja laki-laki mendongak dan balas menatap Yana.
DEGG!
*****
05:00 AM, Yana's Room
Yana terduduk di tempat tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringat. Jantungnya mendadak berdebar-debar kencang. Kedua bola matanya terbelalak lebar-lebar.
"Dia…, jadi dia…. Dokter Hendra?" bisik Yana. Ekspresinya tampak terkejut.
Yana meneguk ludah. Mimpinya barusan, bukan, itu bukan mimpi. Itu cuplikan episode kehidupannya saat tinggal di Taipei dulu. Cuplikan memorinya. Cuplikan memori yang kebetulan mengisi mimpinya.
Yana mengingat-ingat kembali memorinya itu. Adegan saat ia bertemu remaja laki-laki berkacamata. Diingat-ingatnya lagi wajah milik remaja laki-laki itu. Wajahnya saat tidak memakai kacamata.
Mendadak di benaknya muncul seraut wajah yang tak asing. Wajah yang mirip dengan wajah si remaja laki-laki. Bedanya, wajah yang ini terlihat jauh lebih dewasa, lebih tenang, lebih teduh dari wajah si remaja laki-laki.
Wajah Hendra.
'Kamu bukan pasien biasa'.
Mendadak kata-kata Hendra kemarin malam terngiang-ngiang di telinganya.
'Kalo bukan karena kamu, mungkin sekarang Hendra Setiawan nggak akan berdiri di depan kamu, Yan.'
'Kamu coba inget-inget lagi, Yan. Coba inget-inget lagi. Empat belas tahun lalu di Taipei. Remaja cowok yang berkacamata, sendirian, putus asa. Di pinggiran Zhinan Road. Coba inget-inget lagi.'
Yana kembali meneguk ludah. Sulit dipercaya. Siapa yang menyangka kalau dokter yang selama ini merawatnya adalah remaja laki-laki putus asa yang pernah ditemuinya empat belas tahun yang lalu?
Yana menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bulir-bulir air mata mulai membasahi telapak tangannya.
Tanpa Yana ketahui, di tempat berbeda Hendra juga mengalami mimpi yang sama persis dengannya.
Hendra terduduk di tempat tidurnya. Mata sipitnya terbelalak. Keringat sebesar biji-biji jagung membanjiri wajahnya.
"Kamu tau, Yan? Sejak kita ketemu lagi di rumah sakit dua bulan yang lalu, hampir setiap hari kamu muncul di mimpi aku. Tapi baru kali ini, baru kali ini mimpi aku persis sama seperti waktu pertama kali kita ketemu di Taipei," Hendra menggumam.
Perlahan-lahan Hendra menyalakan lampu di meja sebelah tempat tidurnya. Tatapannya tertumbuk pada foto di pigura kecil yang letaknya persis di sebelah lampu. Diraihnya pigura kecil itu. Matanya perlahan menelusuri foto di dalam pigura. Foto seorang wanita berumur 30-an yang mengenakan toga bersama remaja laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak biru. Kedua orang dalam foto itu tersenyum lebar, kentara sekali kalau keduanya tengah menjalani momen yang menyenangkan.
Hendra tersenyum menatap foto di pigura itu. Perlahan-lahan air matanya menetes jatuh di atas kaca pigura.
"Ma," bisik Hendra. Jemarinya meraba wajah wanita di foto itu, wajah ibunya.
"Hendra kangen sama Mama," kata Hendra dengan suara tercekat. "Hendra sekarang udah jadi dokter, sesuai harapan Mama. Tapi Hendra belum bisa jadi dokter yang hebat Ma. Ada kalanya Hendra udah berusaha mati-matian, tapi takdir justru nggak sesuai harapan." Hendra meneguk ludah.
"Hendra jadi ragu Ma, apa Hendra bisa jadi dokter yang hebat. Waktu Hendra nggak banyak, Ma. Saat ini Hendra cuma bisa minta sama Tuhan buat ngasih tambahan waktu buat Hendra. Hendra perlu tambahan waktu biar Hendra punya kesempatan ngerawat Liliyana sampai sembuh. Hendra mau dia sembuh, Ma. Asalkan dia sembuh, mati pun Hendra rela. Dia orang yang pernah berjasa dalam hidup Hendra. Kalo nggak ada dia, mungkin Hendra udah bunuh diri. Dia malaikat penolong Hendra, Ma. Kata-kata dia empat belas tahun yang lalu udah bikin Hendra sadar, kalo Hendra harus move-on meskipun Mama udah nggak ada di samping Hendra lagi."
Memorinya berputar kembali ke masa empat belas tahun yang lalu. Hendra kembali mengingat hari-hari paling kelam dalam hidupnya. Terbayang kembali adegan nahas saat ibunya yang baru diwisuda dari Chengchi National University meregang nyawa setelah tertabrak sepeda motor di Zhinan Road. Hendra tak pernah bisa lupa kejadian itu, yang terus menjadi mimpi buruknya sampai bertahun-tahun kemudian.
'Kamu harus bisa jadi dokter yang hebat, Ndra, seperti almarhum papa kamu.' Kata-kata ibunya kembali terngiang. 'Kamu anak yang cerdas, juga tekun. Mama percaya kamu nanti bakal sukses. Nanti kalo kamu mau kuliah, biar Mama hubungi kenalan Mama di Chengchi atau National Taiwan Uni, siapa tau kamu bisa dapet beasiswa disana, Ndra. Makanya, kamu harus rajin belajar bahasa Mandarin, juga bahasa Inggris, biar nanti kalo kuliah disana kamu nggak ada kendala bahasa.'
Hendra terduduk di lantai. Dipeluknya pigura foto ibunya erat-erat.
****
Liliyana menatap ayahnya dengan tajam. Tajam sekaligus dingin, membuat hati Beno tersayat-sayat. Beno berusaha menegarkan diri untuk balas menatap anak perempuannya yang satu ini.
"Papa mau kamu sembuh," kata Beno, nyaris terdengar seperti bisikan. "Papa nggak mau kehilangan kamu, Yan. Cuma kamu anak Papa satu-satunya."
Liliyana tersenyum bengis. "Oh ya? Sejak kapan Papa nganggep aku jadi anak Papa? Selama ini, apa Papa pernah peduli sama aku? Udahlah, Pa, nggak usah sok kasihan atau sok peduli sama aku. Kalo aku nggak kena kanker, apa Papa bakal peduli sama aku?" balas Liliyana dengan sinis.
Hati Beno seakan teriris mendengar tanggapan Liliyana. Kata-kata anaknya itu ada benarnya juga. Selama ini ia memang terkesan tak peduli pada Yana. Tapi itu juga tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya Beno peduli. Hanya saja tak pernah ditampakannya terang-terangan di depan Liliyana. Peduli, tapi tak sepenuh hati. Ada kalanya bayang-bayang Olly melekat jelas pada Liliyana, membuat Beno frustasi dan akhirnya memilih menghindar.
'Mungkin reuni keluarga bisa menjadi motivasi untuk Yana'.
Mendadak kata-kata Hendra kembali terngiang di telinga Beno.
'Siapa tahu setelah melihat ayah dan ibunya berkumpul lagi, Yana kembali memiliki semangat hidup dan mau menjalani operasi'.
Beno menghela napas yang terasa berat. "Maafin Papa, Yan," kata Beno dengan sungguh-sungguh. "Papa tau, kamu benci dan mungkin nggak mau maafin Papa. Tapi, Yan, kali ini Papa tulus minta maaf sama kamu. Papa bener-bener menyesal atas sikap Papa selama ini sama kamu."
Yana mendengus, lalu mengalihkan tatapannya dari mata ayahnya.
"Udahlah, Pa, aku nggak butuh permintaan maaf dari Papa," kata Yana tak acuh. Ekspresinya terlihat kaku.
Melihat ekspresi putrinya, Beno teringat pada Olly. Yana benar-benar mewarisi gen Olly. Ekspresi wajahnya, seratus persen sama dengan ekspresi Olly. Sifatnya pun mirip. Biasanya Beno paling tidak tahan melihat Yana yang mendadak berubah menjadi duplikat Olly seperti saat ini, tapi kali ini tidak. Beno justru merasa sangat bersimpati pada Yana dan mendadak merindukan sosok Olly.
Beno mencoba untuk menenangkan diri dan memikirkan kata-kata yang tepat untuk bicara dari hati ke hati dengan putrinya.
"Kamu tau kenapa selama ini Papa nggak bisa deket sama kamu, bahkan bisa dibilang Papa nggak peduli sama kamu?"
Liliyana tersentak mendengar pertanyaan ayahnya. Spontan tatapan matanya kembali terarah pada Beno. "Maksud Papa?"
Beno meneguk ludah. "Karena kamu terlalu mirip mama kamu, Yan," jawab Beno dengan jujur. "Kamu terlalu mirip mama kamu. Sifat kamu, ekspresi kamu, persis mama kamu."
Yana mengernyitkan alisnya. "Jadi karena itu Papa nggak suka sama aku? Karena Papa benci sama Mama, akhirnya Papa juga benci sama aku yang menurut Papa mirip sama Mama?" suara Yana mulai bergetar karena marah.
Beno menggeleng. "Papa nggak benci mama kamu," kata Beno. "Papa cuma marah. Terlalu marah karena sikap mama kamu yang kekanak-kanakan. Papa nggak benci mama kamu, Yan. Kalo Papa benci dia, dari dulu Papa udah ceraikan Mama kamu dan nikah lagi sama wanita lain."
Yana terbelalak. "Apa? Maksud Papa…"
Beno meremas-remas tangannya sendiri. "Jujur…, Papa masih cinta sama mama kamu," kata Beno dengan suara tercekat. "Sampai sekarang, Papa masih berharap mama kamu kembali ke tengah-tengah kita. Selama ini Papa selalu nunggu mama kamu pulang, tapi ternyata mama kamu terlalu keras kepala dan nggak mau pulang. Itu yang bikin Papa marah, juga kecewa, Yan."
Yana terkejut mendengar penjelasan ayahnya. Rasanya sulit mencerna makna di balik kata-kata ayahnya itu. "Aku nggak ngerti, sebenernya…. Sebenernya apa sih yang ada di pikiran Papa sama Mama? Sampai sekarang aku sama sekali nggak ngerti, sebenernya ada apa antara Papa sama Mama? Kenapa Mama pergi dan Papa nggak pernah susah payah nyari Mama, kenapa Papa sama Mama pisah tanpa perceraian? Aku nggak ngerti, Pa. Sebenernya ada apa?" Suara Yana mulai serak. Air matanya mulai menetes.
Melihat putrinya mulai menangis, Beno benar-benar merasa tidak tega. Ia bermaksud menghapus air mata putrinya, tapi ditepis Yana. Beno terpaksa mengalah.
"Papa sama Mama terlalu egois, Yan," kata Beno. "Waktu itu bisa dibilang kami masih belum dewasa. Kami masih mementingkan ego masing-masing, akhirnya jadi begini."
"Papa sama Mama memang egois," kecam Liliyana dengan tajam. "Kalo Papa sama Mama nggak egois, mungkin Cici bisa hidup lebih lama. Apa Papa sadar? Sejak Mama pergi, kondisi Cici makin drop, sampai akhirnya Cici meninggal lebih cepet dari perkiraan dokter." Air mata Yana semakin menderas. "Papa sama Mama, kalian berdua yang udah bikin Cici pergi secepat itu."
Air mata Beno yang sedari tadi ditahan-tahan akhirnya turun juga. Kata-kata Liliyana yang setajam pisau dan sedingin es benar-benar membuat Beno tak berdaya.
"Papa memang salah, Yan, Papa yang salah," kata Beno dengan pedih. "Kalau waktu itu Papa nggak egois, kalau waktu itu Papa ngizinin mama kamu untuk kuliah lagi, mungkin ceritanya nggak akan berakhir seperti ini."
Yana mendengus. "Percuma, Pa. Penyesalan selalu datang terlambat. Sekarang udah terlambat. Percuma. Menyesal nggak ada gunanya."
Beno menggeleng. "Nggak, Yan, belum terlambat. Papa rasa belum terlambat. Papa akan temui mama kamu, Yan. Papa akan minta mama kamu pulang. Dokter bilang, kamu butuh sumsum yang cocok buat operasi cangkok sumsum tulang belakang. Nggak menutup kemungkinan, sumsum mama kamu yang cocok. Kamu tenang aja, Yan, Papa sama Mama, pasti bakal berusaha keras buat kesembuhan kamu," kata Beno dengan sungguh-sungguh.
Alih-alih tersentuh dengan kesungguhan ayahnya, Yana justru merasa sangat marah. Kata-kata ayahnya barusan diterjemahkannya sebagai isyarat kalau Beno membawa Olly pulang semata-mata hanya demi mendapatkan sumsum yang cocok untuknya. Yana benar-benar marah. Tergesa –gesa ia turun dari tempat tidur dengan penuh emosi, membuat Beno kaget.
"Yana, kamu mau kemana, Yan?" tanya Beno kaget.
Yana berdiri di hadapan ayahnya. "Yana nggak butuh sumsum Mama atau Papa! Papa nggak usah repot-repot bawa Mama pulang! Yana nggak butuh perhatian kalian! Yana benci Papa sama Mama!" sentak Yana penuh kemarahan. Tanpa menggubris ayahnya lagi, Yana berlari keluar dari kamarnya.
"Yan! Yana!" Beno berseru memanggil-manggil putrinya, tapi tak digubris.
****
Yana berlari ke taman rumah sakit dan menjatuhkan diri duduk di bawah pohon matoa rimbun yang ada di sana.
"Yan, ada apa? Kamu kenapa? Kenapa kamu nangis? Kamu ada masalah?" tanya satu suara yang tiba-tiba menyapanya.
Yana kaget. Refleks ia mendongak. Tatapannya segera bersiborok dengan tatapan khawatir milik Hendra.
Mendadak sosok remaja kurus berkacamata di Zhinan Road empat belas tahun silam muncul di benak Yana. Memori empat belas tahun lalu kembali menyapanya.
Wajah Yana yang berurai air mata membuat Hendra kacau. Rasa khawatir dalam hatinya semakin menjadi-jadi.
Yana mengalihkan pandangannya dari Hendra. "Dokter udah sembuh?" tanya Yana datar. Diusapnya air mata dengan punggung tangan. "Kemarin malem kondisi Dokter kelihatannya nggak begitu bagus."
Hendra meneguk ludah. "Ehm, ya, saya udah baikan," jawab Hendra sedikit canggung. Ia lantas duduk di sebelah Liliyana.
"Dokter harus banyak istirahat," kata Yana. "Apa jadinya kalo dokter ikut-ikutan sakit? Kasian kan pasien-pasiennya?" Yana kembali menatap langit. "Soal empat belas tahun lalu, saya udah inget semua," kata Yana dengan suara serak. "Dokter, remaja laki-laki itu Dokter Hendra, kan?"
Raut wajah Hendra berubah. "Kamu inget, Yan? Jadi kamu udah inget semua?"
Yana mengangguk. "Ya," jawab Yana.
Hendra menghela napas. "Kalo gitu, sekarang kamu ngerti kan, kenapa saya pengen ngeliat kamu sembuh?" tanya Hendra hati-hati.
Yana tersenyum tipis, senyum yang sulit diartikan maknanya. "Kalo Dokter bermaksud balas budi, itu sama sekali nggak perlu," kata Yana. "Saya merasa nggak berjasa apa pun terhadap Dokter, jadi buat apa Dokter bermaksud balas budi sama saya? Apa yang saya bilang empat belas tahun lalu itu cuma ocehan polos anak kecil, nggak berarti apa pun."
"Tapi itu berarti banyak buat saya, Yan," kata Hendra tegas. "Itu sangat berarti buat saya. Kata-kata polos kamu itu yang menyadarkan saya, kalo saya harus move-on, harus melanjutkan hidup meski tanpa ibu saya."
"Oke kalo Dokter berpikir demikian," tukas Yana. "Tapi keputusan saya nggak akan berubah. Saya tetap memutuskan nggak ingin sembuh."
Hendra benar-benar terpukul mendengar kata-kata Yana. Gadis satu ini gadis paling keras kepala yang pernah ditemuinya. "Nggak, Yan. Kamu harus sembuh," tegas Hendra. Ditariknya kedua bahu Yana perlahan agar gadis itu berhadapan dengannya.
Yana terkejut. Buru-buru ditepisnya tangan Hendra, tapi gagal. "Dokter apa-apaan, sih?" tanya Yana dengan kaget.
Hendra menatap tajam kedua mata Yana. Tatapan Hendra begitu tajam dan dalam, tapi anehnya Yana tidak merasa takut. Yana justru grogi ditatap Hendra seperti itu. Mendadak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Kamu harus sembuh, Yan. Saya bakal berusaha sekuat tenaga supaya kamu sembuh," kata Hendra sungguh-sungguh.
Yana mencoba mengontrol rasa groginya dengan menghindari tatapan Hendra, tapi gagal. Susah payah ia mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tetap datar.
"Saya udah bilang, Dok. Dokter nggak perlu ngelakuin semua itu demi balas budi ke saya. Dokter nggak punya hutang budi apapun ke saya. Beres, 'kan?"
Hendra mencengkeram kuat-kuat kedua bahu Liliyana, membuat gadis itu semakin grogi. "Gimana kalo saya ngelakuin itu bukan semata-mata karena kamu orang yang saya anggap berjasa dalam hidup saya?" tanya Hendra tajam.
Liliyana terbingung-bingung. "Maksud Dokter? Lalu karena apa? Karena saya pasien Dokter? Saya bukan satu-satunya pasien Dokter," kata Liliyana cepat.
"Karena kamu orang yang berarti buat saya, Yan. Kamu nggak hanya berjasa dalam hidup saya, tapi kamu… Kamu juga…" Hendra berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.
"Kamu orang yang berarti banyak buat saya, Yan. Karena saya…, saya jatuh cinta sama kamu," kata Hendra.
Liliyana terbelalak. Kata-kata Hendra membuatnya kaget setengah mati.
Hendra mengamati ekspresi Liliyana dengan saksama. "Saya serius, Yan," kata Hendra sungguh-sungguh. "Saya bener-bener jatuh cinta sama kamu."
Tubuh ringkih Liliyana seakan kehilangan kekuatannya mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Hendra. Yana merasa sekujur tubuhnya mendadak lemas, hingga ia terkulai. Hendra kaget dan buru-buru merengkuh tubuh Yana ke dalam pelukannya.
Liliyana membeku di dalam pelukan Hendra. Perasaannya kacau balau. Air matanya kembali menderas.
Hendra bisa merasakan beban berat yang menghimpit Liliyana, membuatnya ingin meringankan beban itu. Dipeluknya Liliyana erat-erat, tak peduli belasan pasang mata memandang ke arahnya dengan penasaran.
Hendra perlahan memejamkan matanya. Saat ini ia ingin waktu berhenti untuk selamanya. Hendra takut kelak ia tak punya cukup waktu untuk memeluk Liliyana, bahkan mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Waktu. Kata yang menjadi momok terbesar bagi Hendra dan Liliyana sekarang.
Pelan-pelan Liliyana mulai merasa tenang. Kekuatannya perlahan mulai kembali. Dengan canggung, Liliyana melepaskan diri dari pelukan Hendra.
Hendra membiarkan Liliyana melepaskan diri dari pelukannya. Keduanya terlihat canggung. Liliyana memilih menghindari tatapan mata Hendra.
"Dokter jatuh cinta sama orang yang salah," kata Liliyana sendu. Tatapan matanya kembali menerawang.
Hendra tersentak. "Kenapa?"
"Dokter masih muda, sehat, ganteng, sukses, kenapa jatuh cinta sama saya yang sakit parah kayak gini? Waktu saya di dunia ini tinggal sedikit, Dok, sia-sia aja Dokter jatuh cinta sama saya," Liliyana menggumam, tapi cukup jelas terdengar di telinga Hendra. Liliyana menggigit bibirnya sebelum melanjutkan. "Dan saya…, saya nggak tau apa itu cinta. Percuma kalo Dokter berharap saya bisa mencintai orang lain, sementara saya nggak tau apa itu cinta."
Tanpa sadar, air mata Hendra mulai menetes. Yana yang seperti ini membuat hati Hendra terasa hancur. Hendra menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri.
"Kamu nggak tau apa itu cinta?" tanya Hendra.
Liliyana menoleh. Gadis itu tersentak melihat air mata di pipi Hendra.
"Kamu mau saya ajari apa itu cinta, Yan?" tanya Hendra lagi.
Liliyana tertegun. Air mata Hendra membuatnya terpaku.
"Kamu mau saya ajari apa itu cinta, Yan?" Hendra bertanya lagi. Tatapannya yang sedih menyapu wajah Liliyana.
Ekspresi, air mata dan kata-kata dari bibir Hendra meruntuhkan pertahanan Yana. Mendadak Yana merasa sangat sedih, terharu, sekaligus frustasi yang teramat sangat. Gadis itu mulai menangis terisak-isak. Dibenamkannya wajah pada kedua lututnya. Isak tangisnya semakin lama semakin kencang, membuat banyak pasang mata terarah padanya.
Hendra tak tahan lagi melihat Yana seperti itu. Ditepuk-tepuknya bahu gadis itu dengan lembut.
"Maaf kalo saya udah bikin perasaan kamu kacau, Yan," bisik Hendra pedih. "Oke, kita nggak usah ngomongin masalah cinta lagi. Gimana kalau kita ganti sama persahabatan, Yan? Kamu setuju, 'kan? Mulai sekarang, gimana kita jadi sahabat, Yan? Sahabat tempat saling berbagi. Kamu bisa bagi cerita kamu, harapan kamu, kesedihan kamu, ketakutan kamu, kekhawatiran kamu, kebahagiaan kamu, apa pun itu ke aku," Hendra mulai ber-aku-kamu. "Kamu mau 'kan, Yan? Mulai sekarang kamu punya temen buat saling berbagi, jadi kamu nggak sendirian lagi. Ada aku di sini. Setidaknya kamu masih punya aku, Yan. Zhi shao ni hai you wo*."
'Aku pasti ada di samping kamu, Yan, sekarang, nanti, selamanya. Kamu percaya itu 'kan, Yan?'
Mendadak tangisan Liliyana berhenti. Gadis itu terbatuk-batuk. Hendra buru-buru menepuk-nepuk pelan tengkuknya. Semakin lama batuknya semakin hebat, membuat sekujur tubuhnya ikut berguncang hebat.
"Yana!" Hendra berteriak kaget begitu tubuh gadis itu terkulai, dengan bercak-bercak darah memenuhi mulut dan bagian depan pakaiannya.
TO BE CONTINUED
*Zhi shao ni hai you wo: at least you still have me