Dave baru saja keluar dari rumah sakit, dia baru saja menemui Dokter kepercayaannya yang melakukan tes DNA. Dan di sana tertera jelas kecocokan DNA antara dirinya dan Regan.
Sungguh perasaannya bergejolak tak menentu, ia merasa bingung. Haruskah ia bahagia mendapat berita baru yang menyatakan kalau dia masih memiliki keluarga. Darah dagingnya sendiri?
Dave duduk di kursi kemudi dengan pandangan kosong ke depan, map biru masih dalam genggaman kuatnya. Bayangannya memutar pada kejadian 5 tahun lalu. Semua yang terjadi, semua yang ia alami hingga mengakibatkan ia dan Agneta terjebak dan melakukan itu. Pantas saja, setelah kejadian itu, Agneta menghilang tanpa jejak.
Regan....
Membayangkan wajah polos itu, Dave tersenyum kecil. Betapa bodohnya dia tak menyadari kalau anak itu adalah darah dagingnya sendiri. Anak yang tidak pernah dia ketahui, keluarga yang bahkan tak akan pernah diketahuinya kalau takdir tak mempertemukan mereka. Ahli waris keluarga Wiratama.
Regan Wiratama....
Yah, sudah seharusnya mulai sekarang nama itu berada di belakang nama Regan. Masalahnya adalah Agneta, Dave harus mencari cara supaya Agneta mau menerimanya kembali. Karena Dave tidak mau kembali terpisah dengan keluarganya. Sudah cukup ia bertahan dan hidup sebatang kara selama ini.
Dave melirik jam tangannya, ia memutuskan kembali ke kantornya dan memikirkan langkah apa yang harus ia ambil.
Agneta merasa lelah dan pegal karena seharian tidak beranjak dari duduknya. Ia merenggangkan seluruh otot tubuhnya dan melirik jam bulat kecil yang ada di meja kerjanya. Masih menunjukkan pukul 15.20 WIB. Masih satu jam 40 menit lagi waktu pulang. Ia beranjak untuk menuju ke toilet dan menuju ke starbuck yang ada di lantai dasar. Tidak masalah sejenak saja ia menyeduh kopi untuk menetralkan pikirannya kembali.
Agneta memasuki lift setelah sebelumnya ia dari toilet, Agneta sempat terpekik saat melihat wanita cantik di dalam sana. Wanita yang ia ketahui beberapa hari lalu bersama dengan Dave. Wanita itu melirik ke arah Agneta dan menatap Agneta cukup lama, sampai Agneta menekan tombol lift.
"Eh, bukankah kau calon istrinya Aiden?" tanya wanita itu tersenyum ramah.
"Emm, iya," jawab Agneta sedikit canggung.
"Kau mau kemana?" tanya wanita itu terlihat begitu ramah.
"Ke Starbuck yang ada di bawah, untuk membeli kopi."
"Begitu, bagaimana kalau kita minum kopi bersama? Kebetulan aku juga sedang menunggu Dave, tetapi ternyata dia tidak ada di kantor," ucapnya sedikit mengerucutkan bibirnya. Agneta terdiam saat nama Dave.
Ting
Pintu lift terbuka lebar, mereka berjalan beriringan menuju ke starbuck dan memesan minum mereka setelahnya memilih tempat duduk untuk mereka berdua.
"So, berapa lama kau kenal dengan Aiden?" tanya wanita yang di kenal bernama Natalie itu dengan ramah dan senyuman lebarnya. Agneta yakin, gadis ini sangatlah baik.
"Sudah cukup lama, dulu saat aku mulai melamar pekerjaan di sini, Aiden yang mewawancaraiku."
"Oke, bisa ku tebak, setelah itu dia gencar mendekatimu. Dan kalian jadian, benar bukan?" tebak gadis itu membuat Agneta tersenyum.
"Terima kasih," seru Agneta saat pesanan mereka datang. Agneta meneguk minumannya begitu juga dengan Natalie.
"Aku sudah mengenal dia cukup lama sih, dulu sejak kecil kami sering bermain bersama. Aku, Dave dan Aiden, kami bertetangga." Natalie mulai bercerita dengan antusias. "Ya, kau tau sikap Dave yang dingin dan tertutup, makanya aku lebih dekat dengan Aiden, tapi dalam artian teman atau sahabat. Karena yang aku sukai adalah Davero," kekehnya. Mendengar penuturan Natalie entah kenapa dadanya terasa nyeri, nyeri yang tak beralasan.
"Karena saat masuk SMA, Dave pindah ke Semarang bersama keluarganya dan aku masih di sini dengan Aiden. Aku kehilangan kabar dari Dave, sampai baru kemarin-kemarin aku baru dapat kabar tentangnya setelah 5 tahun lamanya aku pindah ke L.A"
"Pantas saja aku baru melihatmu," ucap Agneta mencoba mengenyahkan rasa yang tidak ia pahami.
"Ya, aku juga baru bertemu kembali dengan Aiden," jawabnya meneguk kopi nya. "Oh iya, aku senang lho bisa kenal kamu. Aku jadi memiliki teman wanita di sini, selain mereka berdua. Para pria dengan sejuta pesona," kekeh Natalie yang diikuti Agneta.
"Eh Dave," ucap Natalie membuat Agneta menoleh dan terlihat Dave baru saja memasuki kantor dan berjalan dengan langkah elegant. "Huh, aku benci tatapan para wanita itu," gerutunya.
Agneta tau, para karyawati yang melihat Dave dan berpapasan dengannya menatap Dave dengan tatapan penuh kekaguman dan lapar. Mereka seperti singa betina yang mengincar mangsanya.
"Ah, aku harus segera mempercepat acara pertunanganku dengan Dave."
Oho oho oho
Agneta tersedak kopi yang tengah ia teguk. "Hei, kau tidak apa-apa Agneta?" tanya Natali yang kini menatap ke arah Agneta yang tengah mengusap bibirnya dengan tissue dan masih terbatuk-batuk kecil.
"Aku baik-baik saja," gumamnya. "Sebaiknya kita kembali, bukankah kau menunggu Da- eh pak Davero," ucapnya yang di angguki Natalie.
Mereka sama-sama beranjak dari duduknya. Memikirkan ucapan Natalie tadi sungguh membuat Agneta merasa kesal bercampur sakit, Dave masih seperti itu, tidak pernah berubah. Kalau sudah memiliki tunangan kenapa kemarin-kemarin sempat memperlakukan Agneta seperti itu. Apa dia pikir Agneta ini wanita murahan?
***
"Kenapa kau datang?" tanya Dave tak mengalihkan tatapannya dari berkas yang ada dalam genggamannya.
"Aku menunggumu sejak tadi siang, dan kau malah berkata seperti itu," seru Natalie mengerucutkan bibirnya dan menjatuhkan bokongnya ke atas sofa yang ada di dalam ruangan Dave.
"Aku sibuk, sebaiknya kau pulang," ucap Dave masih dengan nada datar dan dingin.
"Dave, aku ke Indonesia untukmu. Tidakkah kau menghargai itu dan bersikap baik padaku," ucap Natalie menyilangkan kaki jenjangnya membuat rok mini yang di pakainya semakin memperlihatkan paha mulus nan indahnya.
"Aku tak memintamu kembali," jawab Dave masih bersikap dingin, membuat Natalie mendengus. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Dave. Tangannya bermain di pundak Dave dan memijatnya dengan penuh sensual.
"Aku merindukanmu Dave," bisiknya tepat di telinga Dave bahkan tanpa malu mengecup daun telinga Dave.
"Aku sibuk, Natalie."
"Malam ini, di apartemenku," ucapnya.
"Tidak,"
"Dave," rengeknya. Ia langsung duduk di atas pangkuan Dave dan mengalungkan kedua tangannya di leher Dave tanpa malu.
"Nat, aku sedang sibuk!" Natalie tak mengindahkan geraman Dave, ia malah sibuk memainkan jarinya di dada Dave dan naik ke leher Dave, ke rahangnya.
"Aku tau kamu menginginkannya juga," bisik Natalie menciumi rahang Dave. Dave tak menghindar ataupun membalasnya, ia membiarkan apa yang di lakukan oleh Natalie.
Tok tok tok
"Permisi Pak-" ucapan Agneta menggantung di udara saat melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Dave dan Natalie sama-sama menoleh ke arah pintu. Agneta melihat wajah datar Dave yang seakan tak berpengaruh apapun.
"Ma-af," gumamnya hendak kembali menutup pintunya sebelum suara Dave menghentikannya.
"Ada apa Agneta? Masuklah," ucapnya membuat Agneta memaksa menelan salivanya dengan kasar. Ia terlalu percaya diri akhir-akhir ini berpikir Dave menyukainya.
Agneta berjalan perlahan masuk dan Natalie tersenyum ramah padanya walau tak beranjak dari atas pangkuan Dave. Dave juga tak ada keinginan untuk mengusir Natalie dari atas pangkuannya.
"Maaf Pak, ini laporan yang Bapak minta, tadi Bu Anna meminta saya memberikannya pada Bapak," ucapnya menundukkan kepalanya berusaha tak ingin melihat Natalie dan Dave.
"Simpan saja di meja," ucap Dave masih dengan nada datarnya. Ada rasa kesal di hati Dave pada Agneta yang menyembunyikan kenyataan tentang status Regan. Bahkan Agneta terang-terangan menjauhkan Dave dengan Regan, darah dagingnya sendiri. Bahkan membiarkan Regan memanggil Aiden dengan Ayah.
"Kalau begitu saya-"
"Sebentar Agneta," ucap Dave kembali menahan Agneta seakan sengaja ingin Agneta lebih lama melihat kemesraan mereka. "Natalie, bisa kau keluar sebentar, aku ingin berbicara dengan Agneta. Ini masalah pekerjaan," ucap Dave penuh penekanan.
Akhirnya Natalie beranjak dari duduknya. "Aku tunggu di ruangan Aiden," ucapnya beranjak. Natalie masih menyempatkan senyuman seakan menyemangati Agneta yang tampak takut pada Dave saat ia melewati Agneta.
Dave berdehem saat Natalie sudah keluar dari dalam ruangannya, dan entah kenapa atmosfir dingin yang membuat tubuh Agneta menggigil dan ketakutan mulai memenuhi ruangan ini. Ia tak berani menatap Dave di hadapannya.
Dave beranjak dari duduknya dan berjalan pelan mendekati Agneta dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia bersandar pada meja di belakangnya tepat di hadapan Agneta, ia masih menatap wajah Agneta.
"Agneta Laurinda Aretina, seorang janda beranak satu," ucap Dave. "Benarkah kau seorang janda?" pertanyaan Dave sontak membuat Agneta menengadahkan kepalanya membuat tatapannya langsung beradu dengan mata tajam yang sangat dingin dari Dave.
"Ada apa kau kaget?" tanya Dave tersenyum sinis. "Emm, bagaimana kalau Aiden tau, bahkan Regan tau siapa aku. Dan apa yang pernah terjadi pada kita 5 tahun yang lalu."
"Apa mau mu?" tanya Agneta menampilkan tatapan kesal penuh emosi.
"Terima tawaran Bu Anna menggantikannya untuk ikut pergi ke Malaysia bersamaku," ucap Dave penuh penekanan.
"Kau pikir aku tidak tau maksud busukmu," ucap Agneta membuat Dave terkekeh dan itu terdengar sangat menyeramkan. Agneta berusaha keras melawan rasa takut dan merinding dalam tubuhnya.
Ia berjalan mundur saat Dave beranjak dan berjalan mendekatinya. Agneta tersentak saat Dave dengan mudah merengkuh pinggangnya dengan sebelah tangan hingga Agneta jatuh di pelukannya dan menempel di tubuh Dave. Agneta berusaha berontak tetapi sangat sulit.
"Terima atau semuanya akan terbongkar," ucap Dave membuat Agneta semakin ketakutan.
"Kau pikir aku takut? Itu hanya masalalu," ucap Agneta berusaha menantang. Ia tau tugas dinas ke Malaysia memakan waktu cukup lama dan itu hanya berdua dengan Dave.
"Benarkah? Hanya masalalu? Lalu Regan bukankah sudah menjadi bukti dari kejadian masalalu itu."
Deg
Mata Agneta membelalak lebar dengan mulut yang sedikit terbuka, Dave tersenyum menyeramkan di hadapan Agneta. Agneta merasa seluruh saraf pada tubuhnya putus dan ia mendadak lemas hingga ia tak bisa menompang tubuhnya sendiri dan bertompang pada Dave yang masih merengkuh tubuhnya.
"Pikirkan semuanya dengan baik, Sayang," bisik Dave bahkan dengan kurang ajarnya memangut bibir Agneta sebelum akhirnya melepaskan pegangannya pada Agneta membuat gadis itu mundur dua langkah. Tatapannya kosong ke arah Dave yang berjalan kembali ke kursi kebesarannya.
"Kau boleh keluar sekarang, Nona Agneta." Dave menyeringai puas melihat wajah pucat Agneta.
Agneta beranjak dengan wajah pucatnya, langkahnya sedikit sempoyongan keluar dari ruangan kerja Dave.
"Yang seharusnya menjadi milikku, harus kembali kepadaku," gumamnya dengan seringai menakutkan.
***