Arumi mulai mau membuka mulutnya untuk makan dan minum. Dia melakukannya bukan karena Rayyan, tapi karena bayi yang dia kandung.
Rayyan dengan telaten menyuapi Arumi hingga makanannya tandas. Rayyan mengajak Arumi untuk sholat maghrib. Arumi berada di atas kursi rodanya. Sedangkan Rayyan menjadi imam di depannya. Sejak Arumi berada di rumahnya, Rayyan menjadi rajin sholat. Dia tahu hatinya mulai beku sejak hanya dendam yang ada di dalam hatinya. Sholatpun mulai jarang. Perlahan hatinya mulai mencair seiring bertambah kuatnya rasa cintanya pada istrinya.
Rayyan membawa Arumi menikmati cahaya bulan dan bintang yang berada di langit. Sesekali jilbab Arumi berkelebat karena hembusan angin yang kuat. Mereka berdua saling diam. Rayyan memang bukan tipe pria romantis yang tahu bagaimana menyatakan cinta yang membuat seseorang wanita luluh. Dia telah terbiasa membenci cinta sejak pengkhianatan ibunya pada ayahnya.
"Dulu waktu aku masih kecil, aku suka sekali melihat kerlip bintang, Rum. Ditemani Ayah dan Ibuku yang selalu harmonis. Aku sangat senang waktu itu. Mereka menemaniku melihat bulan purnama dan bintang-bintang. Katanya kelak aku harus bisa menggapai bintangku yaitu cita-citaku. Aku tak menyangka jika suatu ketika mereka menjadi dua orang yang saling menyakiti satu sama lain." Rayyan mengatakan itu dengan berkaca-kaca. Ditanggapi atau tidak, dia hanya ingin mencairkan suasana.
Arumi melihat Rayyan yang sedang melihat ke langit menikmati cahaya bulan dan bintang. Arumi pun mengikuti hal yang sama dengan pendengarannya yang juga menikmati deburan ombak. Hanya ada dirinya dan Rayyan di sana.
"Kamu sudah ngantuk Rum? Kita kembali ke penginapan aja ya." Arumi mengangguk. Sepanjang jalan hanya ada keheningan.
Rayyan menggendong istrinya ke atas ranjang dengan hati-hati. Diletakkan Arumi di atas ranjang, Dia membantu Arumi membuka sweater dan jilbabnya kemudian mencium keningnya.
"Aku tidur di luar ya Rum, kalau butuh apa-apa kamu panggil aku ya. Aku akan menjagamu dari luar." Baru dua langkah Rayyan melangkah. Tina-tiba ada seseorang yang memanggilnya.
"Rayyan.." Terdengar suara lembut Arumi yang akhirnya bisa ia dengar kembali.
"Iya Rum. ada apa?" Rayyan menengok ke arah istrinya.
"Tidurlah di sini. Anakku sedang ingin ditemani ayahnya. " Senyum mengembang di wajah Rayyan. Dia mencubit tangannya. terasa sakit. Berarti dia tidak sedang bermimpi.
"Benarkah?" Arumi mengangguk. Lalu merebahkan tubuhnya diatas kasur. Rayyan memposisikan dirinya tidur di samping Arumi. Dia menatap punggung istrinya. Lalu berbalik menyamping dan merekapun saling memunggungi. Mereka sama-sama masih membuka mata, namun tidak ada inisiatif untuk membuka suara. Entah kenapa Arumi mendadak ingin perutnya di elus suaminya.
"Nak, jangan bikin ibu malu sama Ayahmu ya. "Batin Arumi sambil mengelus perutnya. Tapi perasaan itu semakin kuat sampai Arumi miring ke kanan lalu ke kiri beberapa kali. Rayyan yang merasa Arumi tidurnya tidak tenang kemudian mencoba untuk bertanya.
"Kamu kenapa.Rum? kamu tidak bisa tidur?" Arumi mengangguk. Rayyan mendekati Arumi kemudian merebahkan lagi tubuhnya. lengan kirinya dipakai sebagai bantal oleh Arumi. Dan tangan kanannya mengelus perut Arumi. Ajaibnya Arumi langsung memejamkan matanya. Rayyan mendengar nafas Arumi yang mulai teratur. Tanda dia sudah tidur. Sesaat kemudian Rayyan pun akhirnya ikut tidur bersama Arumi.
Alarm ponsel telah berbunyi dari Arumi. Sudah waktunya sholat subuh Dia, mengerjapkan matanya. Dia melihat Rayyan sedang menggelar sajadah. Entah sejak kapan Rayyan bangun. Hanya saja hatinya tersentuh ketika melihat suaminya menunaikann sholat dengan khusyu'.
Arumi menikmati suara merdu sang suami saat membaca Qur'An digital dari ponselnya. Dia tidak tahu kalau ternyata Rayuan bisa membaca Al-Qur'an. Bahkan sangat merdu suaranya.
"Kamu dengar nak? Itu suara Ayahmu. Bagus ya suaranya." Batin Arumi sambil mengelus perutnya yang masih rata.
"Kamu sudah bangun, Rum?" Arumi mengangguk. "Mau aku bantu ambil air wudhu?" Arumi menggeleng. Dia sudah bisa melakukannya sendiri. Dia turun dari ranjang dan mengambil air wudhu sangat menyegarkan.
*Rayyan mengetikkan sesuatu pada Dokternya*
"Dok, boleh tidak berhubungan saat sedang hamil muda?"
Tak lama dokternya menjawab
"Boleh Pak Rayyan. Selagi kandungannya kuat tidak masalah. Tapi sangat beresiko jika kandungannya lemah."
"Ya sudah dok, terimakasih."
Rayyan menghela nafas. Dia tidak tahu kandungan istrinya kuat atau lemah. Padahal dia ingin sekali melakukannya. Mumpung Arumi sepertinya sudah mulai bisa menerima kehadirannya. Kalaupun kuat, jika dia ingin melakukannya, dia akan meminta izin dulu pada istrinya. Dia tidak mau melakukan kesalahan lagi.
Arumi telah mandi dan bersiap untuk sholat subuh. Dia terlihat lebih segar. Dilihatnya sang suami yang sedang sibuk dengan laptopnya. Entah sedang mengurusi apa. Jika Arumi ingat bahwa Rayyanlah yang mengambil semua milik Ayahnya, ada rasa nyeri di hatinya. Tapi mau gimana lagi? itu memang milik Rayyan. Dan sudah seharusnya Rayyan yang mengelolanya.
Arumi duduk di atas ranjang, dia melihat ada segelas susu di atas nakas.
"Minumlah. Aku membawa susu ibu hamil untukmu. Aku sudah membuatkan untukmu tadi." Kata Rayyan sambil masih berkutat dengan laptopnya.
"he'emmm." jawab Arumi singkat. Sebenarnya dia sangat bahagia dengan perhatian-perhatian yang diberikan Rayyan beberapa hari ini. Hati Arumi yang lembut tentu dengan mudah tersentuh dengan sikap Rayyan yang menurutmu begitu manis. Walau tidak ada rayuan dan gombalan dari mulut Rayyan. Tapi dengan begitu Arumi tahu kalau Rayyan bukan tipe laki-laki yang senang tebar pesona.
Kemudian entah kenapa tiba-tiba ada rasa sesak ketika dia mengingat perselingkuhan suaminya waktu dia membawa wanita pulang ke rumah. Dan parahnya lagi sekarang wanita itu satu kantor dengan Arumi.
"Ray, boleh aku tanya sesuatu padamu?" Kata Arumi tiba-tiba.
"Iya, mau nanya apa?" Rayyan menutup laptopnya dan menatap mata Arumi.
"Sejak kapan kamu mencintaiku?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Aku cuma wanita biasa. Yang ingin sebuah kepastian."
"Sejak pertama aku melihatmu. Dan sejak pertama Ayahmu mengenalkanku padamu."
"Lalu bagaimana dengan wanita yang kamu bawa waktu itu?" Arumi wajahnya mendadak lesu.
"Besok saat kita kembali, Aku akan mengajakmu bertemu dengannya. Kali ini aku tidak akan menyakitimu. Tapi biar semua jelas ketika kamu juga mendengar penjelasan darinya."
Rayyan tersenyum simpul saat melihat Arumi sepertinya tidak puas dengan jawabannya. Dia tahu istrinya sedang merajuk. Atau sedang cemburu? Rayyan berharap jika memang cemburu, Rayyan akan sangat menyukainya. Itu berarti Arumi memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
Rayyan mendekati Arumi dan membelai rambutnya yang tidak tertutup jilbab.
"Rum.."
"Hem.."
"Bolehkah aku menciummu?" Rayyan meminta izin bahkan hanya untuk sekedar berciuman. Dia tidak mau mengambil resiko jika dia tiba-tiba mencium istrinya. Lebih baik dia meminta izin agar Rayyan juga tahu bagaimana perasaan Arumi.
Mereka saling memandang. Arumi mengangguk. Rayyan merasa sangat bahagia. Tenyata Arumi menginginkannya. Itu berarti ada cinta untuknya di hati Arumi.
Rayyan meraih mendongakkan kepala Arumi, kemudian memegang dagunya dna merekapun saling berciuman. Saling mendamba dan berusaha melepaskan ego masing-masing setelah ini. Dan berharap hati Arumi tak lagi beku.