Feng Yi Zen tersadar beberapa saat setelah pelepasan itu. Dering ponselnya membuatnya mengernyit. Ia melangkah dengan tubuh yang berkeringat dan mengangkat teleponnya. Suara di sebrang sana membuat tubuhnya menegang.
"Apa kau bilang? Maksudmu, gadis yang kau kirimkan tak bisa menemuiku? Lalu-"
Yi Zen menatap tubuh Liu Xi yang masih tak sadarkan diri. Ia mundur dan terduduk. Mengingat semua kata-kata Liu Xi yang memohon agar ia melepaskannya. Tubuhnya bergetar. Dengan cepat ia menelepon kaki tangannya.
"Dengar, cari tahu semua tentang gadis yang bersamaku malam ini. Aku tak ingin ada masalah sedikitpun!"
Yi Zen menutup teleponnya dan berdiri. Memakai pakaiannya dan kembali menatap tubuh Liu Xi. Ia menelan air ludahnya kasar. Hanya dengan menatap tubuhnya saja, Ia kembali mengerang. Perut bawahnya menegang hingga ia harus mengusap kasar wajahnya.
"Ada apa denganku! Kenapa aku begitu bergairah hanya dengan menatap wajahnya saja. Sial!" Yi Zen kembali mendekati tubuh Liu Xi. Menatap lekat-lekat wajah Liu Xi. "Aku menganggap malam ini adalah suatu kesalahan. Dan aku rasa kita tak akan bertemu lagi." Yi Zen menyentuh bibir Liu Xi. "Dia begitu hangat dan menggoda."
Ia masih menyentuh bibir Liu Xi lembut sebelum tangannya tersentak kaget saat kesadaran itu kian menelusup pikirannya. "Tidak, aku harus segera pergi dari sini." tanpa banyak kata, Yi Zen meninggalkan Liu Xi. Tak ada rasa bersalah di wajahnya karena kaki tangannya akan menyelesaikan semua masalah yang ia timbulkan. Semua seakan mudah untuk Yi Zen.
Usai kepergian Yi Zen, Liu Xu mulai membuka matanya secara pelan. Seluruh tubuhnya sakit dan nyeri. Ia menatap langit-langit kamar lalu mulai teringat semua kejadian sebelum ia tak sadarkan diri. Dengan tangan gemetar, ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya dengan pelan.
"Ahkkkk...!!!"
Liu Xi berteriak histeris saat mengetahui tubuhnya tak mengenakan pakaian. Terlebih nyeri di bagian bawah tubuhnya sangat terasa. Menangis, meraung dan histeris. Liu Xi menangis sejadi-jadinya mengetahui kesuciannya telah terengut oleh orang yang tak ia kenali.
"Tidak, kenapa semua ini terjadi padaku! Harusnya aku tak mengikuti ajakan Rou Ni. Harusnya aku? Kini aku harus bagaimana? Aku kotor! Aku kotor ...," Liu Xi memeluk lututnya pilu. Kenyataan pahit itu belum bisa ia terima dengan mudah. Bahkan rasanya sulit untuk mempercayainya.
Lima belas menit kemudian, Liu Xi telah memakai seluruh pakaiannya. Ia keluar dari kamar tersebut dengan wajah bengkak dan berantakan. Ia berjalan tanpa arah hingga sebuah dekapan membuanya kembali meneteskan air mata.
"Xiao Liu Xi. Ya Tuhan, kau baik-baik saja?" Lee Rou Ni menangkup wajah Liu Xi yang menangis.
Liu Xi menggeleng. Hingga Rou Ni memeluknya.
"Maafkan aku, maafkan aku. Harusnya aku tak meninggalkanmu. Harusnya-"
"Rou Ni, aku kotor! Kesucianku direngut oleh pria yang tak kukenal. Aku-" ucap Liu Xi terputus karena tak kuasa lagi untuk bicara.
"Apa? Siapa dia? Kau masih mengingat wajahnya! Aku akan membantumu mencarinya. Aku akan membuat perhitungan dengannya." Rou Ni terlihat marah dan menggandeng Liu Xi. Membawa Liu Xi keluar dari pub dan menuju apartemennya.
Di kejauhan, kaki tangan Yi Zen telah mengamati Liu Xi mulai dari Liu Xi keluar kamar pub. Ia mulai mencari tahu segala hal tentang Liu Xi dalam waktu yang singkat. Pria itu menggeleng dan merasa kasihan pada kesialan Liu Xi. Bertemu dengan Yi Zen hingga harus mengalami ini semua. Bahkan Yi Zen menganggap ini sebuah kesalahan semata tanpa pernah mau mengerti bagaimana perasaan Liu Xi.
Keesokan harinya, Yi Zen telah menerima semua hal yang bersangkutan dengan Liu Xi. Dahi Yi Zen mengerut saat membaca semua dokumen yang baru saja kaki tangannya berikan.
"Xiao Liu Xi, 22 tahun dan tengah melanjutkan studinya di salah satu universitas di Beijing." Yi Zen tertawa tipis. "Tipe gadis macam apa dia. Di umurnya yang tak lagi remaja, dia masih perawan? Ya Tuhan, rasanya aku tak dapat mempercayai itu semua."
Yi Zen kembali mengambil handphonenya lalu menelepon kaki tangannya. "Dengar, aku tak ingin ada masalah dengan wanita ini. Selesaikan semua dengan cepat."
***
Satu minggu kemudian, Liu Xi sudah mulai sedikit tenang. Ia mulai bisa menerima semua kenyataan pahit dalam hidupnya. Bahkan mulai hari ini, ia dan Rou Ni tengah berkeliling mencari sebuah apartemen kecil untuk ia tinggali. Meski awalnya Rou Ni tak mengijinkan Liu Xi untuk tinggal sendiri, namun setelah melalui banyak pertimbangan akhirnya Rou Ni mengerti. Kini mereka berada di salah satu apartemen kecil yang sedikit jauh dari keramaian. Rou Ni melihat sekeliling apartemen dengan Liu Xi yang tak jauh darinya.
"Kau yakin akan memilih apartemen ini?" Rou Ni sedikit tak setuju dengan pilihan sahabatnya. "Maksudku, kau bisa memilih apartemen yang sedikit besar dan layak untuk ditinggali."
"Tak apa, aku memilih apartemen ini karena aku mampu membayar uang sewanya. Kau tahu, aku bisa bekerja sambil menyelesaikan studyku."
Rou Ni menatap sedih. "Maaf, Xi. Semua-"
"Kumohon, jangan bahas itu lagi." potong Liu Xi memohon.
Rou ni mengangguk dan memeluknya. "Terimakasih,"
Rou Ni menitikkan air mata. "Kau tahu, aku akan selalu bersamamu. Jadi katakan padaku saat kau melihat pria yang melakukan hal itu padamu." dan semua itu diangguki oleh Liu Xi.
Liu Xi mulai berkemas dan menata semua barang yang ia miliki di apartemen barunya. Tentu saja Rou Ni bersamanya. Membantunya merapikan semua barang yang ia miliki. Hingga malam menyapa dan mereka menghabiskan malam dengan banyak bercanda.
Satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Pagi ini, Liu Xi merasakan tubuhnya sangat tidak bersahabat. Pusing mendera diiringi perut mual yang sangat menganggu. Bahkan aroma teh hangat di pagi hari tak lagi dapat membuatnya nyaman. Perutnya kian mual saat aroma teh itu merambat di hidungnya. Berkali-kali Liu Xi keluar masuk kamar mandi hingga membuatnya lelah. Hal itu semakin membuat Liu Xi cemas.
"Aku telat datang bulan satu minggu di bulan ini. Tak mungkin, aku-"
Liu Xi tak melanjutkan kata-katanya dan memilih keluar untuk membeli test pac. Mencoba dengan waswas dan keringat dingin yang mulai keluar. Tangan Liu Xi gemetar menunggu hasil yang akan keluar. Saat matanya menangkap dua garis merah di test pac tersebut, tubuh Liu Xi merosot dalam tangis yang langsung membuncah. Ia hamil!
Liu Xi menangis dan memukuli perutnya berkali-kali. Semua itu bertepatan dengan pintu apartemennya yang terbuka. Rou Ni masuk dengan tersenyum manis.
"Liu Xi, lihatlah aku membawakan majalah yang di dalamnya pria yang-" Rou Ni tak melanjutkan kata-katanya dan membeku melihat Liu Xi yang menangis histeris sambil memukul perutnya. Majalah di tangannya jatuh saat Rou Ni langsung berlari memeluk Liu Xi. "Kau baik-baik saja? Kenapa kau menangis?"
"Rou Ni, aku hamil." ucap Liu Xi di tengah tangisnya.
Rou Ni membeku dan meraih test pac yang tergeletak tak jauh dari tubuh Liu Xi. Setitik air mata Rou Ni ikut turun saat melihat dua garis merah di alat tersebut. Rou Ni mengenggam alat itu erat dan terlihat begitu marah.
"Bajingan itu. Kau harus katakan padaku, siapa lelaki itu. Aku akan mengurusnya untukmu. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya."
Liu Xi menggeleng. "Aku bahkan tak tahu dia siapa. Ini berat untukku, Rou Ni. Aku tak seharusnya hamil. Aku harus menggugurkan-"
"Apa yang akan kau ucapkan! Dengar Xi, anak dalam rahimmu tak bersalah. Kita hanya harus menemukan Ayahnya. Aku akan membantumu, aku berjanji padamu." sela Rou Ni dengan menangkup wajah Liu Xi. Berharap Liu Xi dapat lebih tenang. "Tatap aku, Xi. Katakan kau akan menjaga bayimu. Aku tak akan meninggalkanmu."
Liu Xi diam. "Bagaimana jika Ayahku tahu?"
"Sial!" umpat Rou Ni kesal. "Aku melupakan masalah yang lebih besar."
"Bagaima-"
"Tidak, Xi. Tak akan terjadi apa-apa. Aku akan menemukan pria berengsek yang melakukan itu semua padamu." Rou Ni mengelus rambut Liu Xi dengan mata penuh dendam. Menjadi anak dari pemilik perusahaan nomer dua di Beijing cukup memberikannya kuasa. "Tenanglah. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti sahabatku"
Liu Xi mengangguk dan mencoba mempercayai semua kata-kata Rou Ni. Langkah Liu Xi tertatih saat Rou Ni membantunya berdiri. Mereka berjalan bersama dan lagi-lagi Liu Xi terhenti dengan mata yang berkilat marah. Rou Ni yang tak mengerti hanya bisa mengikuti arah pandang Liu Xi. Pada majalah yang ia bawa dan tengah terbuka di sampul utama.
"Dia," tangan Liu Xi menunjuk gambar seorang pria yang tengah tersenyum di halaman pertama majalah tersebut. "Rou Ni, dia ...,"
Rou Ni menatap gambar tersebut. "Oh, dia itu salah satu Ceo yang karirnya tengah melejit. Perusahaan Ayahku pun ikut bekerja sama dengannya."
Liu Xi menggeleng dan menghampiri majalah tersebut. Merobeknya dengan marah. Lalu menunjukkan pada sahabatnya. "Dia, dia yang melakukan semua padaku, Rou Ni."
Rou Ni membeku dan melebarkan matanya. Meraih robekan itu dari Liu Xi dan menatap lekat. "Feng Yi Zen! Aku tahu siapa dia, Xi," Rou Ni memeluk Liu Xi yang telah menangis. "Tenanglah, kita akan ke kantornya," ucap Rou Ni yakin.