Liu Xi duduk di bangku bus dan termenung. Menatap jalanan yang terlewati untuk sampai kerumahnya. Tangannya yang kanan mengelus perutnya yang masih rata. Gurat-gurat kekhawatiran mulai terlihat jelas di raut wajahnya.
"Apa yang harus kukatakan pada Ayah? Bagaimana jika Ayah tahu?"
Raut takut itu semakin terlukis jelas saat bus yang ia tumpangi berhenti. Ia turun dan melangkah dalam ragu. Sesekali helaan napas dalam terasa berat untuknya. Saat langkahnya semakin mendekati rumah, semakin terasa pula rasa takut yang menguasainya.
Belum usai ketakutannya, sebuah suara menyapanya penuh hina.
"Oh, siapa kau? Dan lagi," gadis itu menatap pakaian Liu Xi dari atas hingga bawah. "Ck, sangat jauh dari levelku." ucapnya lagi.
Liu Xi hanya diam dan menatap penampilannya.
"Ibu...!" teriak gadis itu lalu masuk ke dalam rumah.
Mata Liu Xi tak berkedip saat gadis itu ternyata masuk ke dalam rumahnya. Jantungnya berdegup kencang dengan tangan yang meremas ujung bajunya. Ia melangkah ragu hingga sosok yang ia sebut ayah keluar dan tersenyum melihat kedatangannya.
"A-ayah," ucap Lou Xi bahagia. Langkahnya memburu namun terhenti saat seorang perempuan keluar diikuti oleh seorang gadis yang baru saja menghinanya. Ia diam dan enggan melangkah hingga ayahnya datang dan memeluknya.
"Anak Ayah," dekap Xiao We Fu erat membuat Liu Xi diam. "Kau baik-baik saja?"
Liu Xi mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."
"Kau tampak sedikit berubah,"
Deg! Tubuh Lou Xi menegang. Ia memundurkan sedikit tubuhnya dengan kaku. Rasa takut itu kian menguasainya.
"Kau terlihat sedikit gemuk," ucap We Fu lagi dengan tersenyum.
Liu Xi mengangguk kaku. "Ah, i-itu karena aku berpikir harus menaikkan berat badan."
"Awalnya Ayah akan memperkenalkanmu dengan calon Ibumu di cafe. Tapi Ayah berubah pikiran karena merasa kau terlihat sangat sibuk."
Liu Xi diam. Ia menatap perempuan yang berjalan ke sisi kiri ayahnya.
"Liu Xi, dia Wang Jing Yi. Dia calon Ibumu,"
Liu xi mengangguk dan tersenyum samar saat senyum lebar Jing Yi terkembang. Entah kenapa Liu Xi merasa tak enak. "Saya Liu Xi, Tan-"
"Aku sudah mendengar banyak tentangmu. Panggil aku Ibu dan terimalah aku sebagai Istri Ayahmu." potong Jing Yi cepat lalu memeluk tubuh Liu Xi sedikit erat.
Liu Xi diam sesaat, merasakan sesuatu yang kian membuatnya tak nyaman. "Ah, i-iya."
"Dan dia, calon Kakak tirimu." ucap We Fu lagi, mengalihkan pandangan Liu Xi pada gadis yang tak jauh dari Jing Yi.
"Aku, An Lin Qin. Tapi karena Ibu telah menikah dengan ayah itu berarti namaku, Xiao Ling Qin," ucap gadis itu terdengar ketus.
"Akan kuingat," jawab Liu Xi datar.
Setelah itu mereka melewati makan malam yang panjang. Liu Xi mendesah saat merasakan perutnya tak nyaman dengan bau masakan yang menyengat. Namun ia menahannya sebisa mungkin agar tak ada yang curiga. Langkahnya membawa tubuhnya menuju kamar mandi. Tubuhnya terdiam saat suara Ling Qin terdengar jelas di telinganya.
"Ah, aku tak percaya harus memiliki Adik sepertinya."
Jing Yi tersenyun samar. "Bersabarlah, lagi pula kita tak akan tinggal dengannya. Aku dengar dia pergi ke kota untuk melanjutkan studinya."
"Dia seorang mahasiswa?"
"Ya, Ayah barumu mengatakan seperti itu."
"Ah,ย Ibu aku juga ingin melanjutkan kuliahku."
"Tentu, kita hanya menunggu waktu yang tepat. Bersabarlah sedikit lagi."
"Tapi, Bu, malam ini aku tak ingin tidur sekamar dengannya."
"Tak ada kamar lain selain kamarnya, Ling Qin. Kau harus menahannya hingga ia pergi dari sini. Atau sampai kita menguasai rumah ini."
Deg! Liu Xi membeku. Semua kata-kata itu terdengar menyakitkan. Dan ya, untuk pertama kalinya ia tak menyukai pilihan Ayahnya. Ia mendongak kaget saat pintu kamar mandi terbuka. Jing Yi menatap Liu Xi tajam.
"I-ibu," ucap Liu Xi sangat lirih.
"Ah, kau ingin ke kamar mandi? Tunggulah Ling Qin sebentar lagi. Kurasa perutnya sedikit bermasalah."
"Lalu bagimana kata-kata Ibu? Apakah itu bukan suatu masalah?"ย batin Liu Xi. Namun ia hanya mengangguk. "Aku hanya ingin cuci muka."
Jing Yi tersenyum dan melewati Liu Xi. Saat tubuh mereka bersampingan, Jing Yi membisikkan sesuatu yang membuat tubuh Liu Xi menegang.
"Jaga bibir dan pendengaranmu jika kau ingin Ayahmu bahagia. Aku tahu kau anak yang penurut!
Liu Xi membalikkan badannya saat Jing Yi telah pergi setelah mengucapkan kata-kata tersebut. Ia mendesah pelan dan menunduk. "Ayah, bisakah kau tak menikah lagi?" ucapnya sangat pelan.
Liu Xi masuk ke kamar mandi dan menatap Ling Qin yang tengah membersihkan wajahnya.
"Apa yang kau lihat? Apa kau tak bisa menunggu hingga aku keluar dari kamar mandi? Jangan pikir aku menyukaimu hanya karena kau Adik tiriku."
"Maaf," ucap Liu Xi lirih. "Aku akan menunggu di luar."
"Dan ah, aku juga tak ingin berbagi tempat tidur denganmu. Tapi karena kamar di rumah ini hanya satu, kau harus menyiapkan tempat tidurmu sendiri? Kau dengarkan? Ayah meminta kita untuk satu kamar."
"Aku mengerti. Aku akan menyiapkan segalanya."
Ling Qin meninggalkan kamar mandi dan Liu Xi menatap wajahnya di kaca. Perlahan tangannya mengelus perutnya lembut. "Tak apa. Tak apa jika Ibu harus membesarkanmu sendirian. Ibu pastikan tak akan ada yang memisahkan kita, Sayang."
Ia tersenyum getir pada kenyataan hidupnya. Ia melangkah keluar kamar mandi menuju halaman rumahnya. Matanya menatap Ayahnya yang tengah duduk sendirian. Ia menghampiri dan ikut duduk di samping ayahnya.
"Ayah, boleh aku bertanya?"
Wei Fu mengangguk. "Apa ada sesuatu yang buruk?"
Liu Xi menggeleng. "Semua baik-baik saja, Ayah. Apa Ayah bahagia sekarang?"
Wei Fu tersenyum lebar. "Ayah tak pernah sebahagia ini, Nak."
Liu Xi diam membisu. "Apa Ayah memang harus menikah?"
"Kau tak menyukainya?" tanya Wei Fu menyelidik.
"Ti-tidak, bukan itu. Aku hanya sedih jika Ayah harus melupakan Ibu." kilah Liu Xi senatural mungkin.
Wei Fu tertawa kecil. Memeluk Liu Xi dan berujar pelan. "Ayah tak akan melupakan Ibumu, Sayang. Hanya saja waktu terus berjalan dan itu memberikan cinta yang baru saat aku bertemu Ibumu yang sekarang."
Liu Xi tak bisa menjawab. Namun air matanya perlahan turun. "Benar, Ayah bilang Ayah bahagia. Dan aku tak boleh menghancurkan itu semua."
***
Satu minggu berlalu sejak Liu Xi pulang ke rumah ayahnya. Kini ayahnya resmi memiliki istri baru hingga ia merasa tak nyaman untuk berada di rumah. Ia mendesah saat sebuah bel dari pintu apartemennya terdengar berisik di telinganya. Ia berjalan pelan dan membuka pintu apartemennya.
"Ah, jadi kau gadis itu?"
Liu Xi mengerutkan dahinya saat seorang gadis cantik tiba-tiba menyerobot masuk ke dalam apartemennya.
"Maaf, aku tak mengenalmu. Jadi bisa kau per-"
"Yi Zen. Feng Yi Zen." potong gadis itu cepat membuat Liu Xi menatapnya. "Aku adalah kekasih Feng Yi Zen, Li Ye Ting!"
Liu Xi tersenyum tipis. "Tapi aku tak ada urusan dengannmu."
"Jauhi Yi Zen!"
Liu Xi diam sesaat. "Kau mengancamku?"
"Aku tahu bukanlah gadis bodoh! Aku tahu semuanya. Kau mengandung anaknya! Anak kekasihku!" ucap Ye Tingkasar.
"Lalu apa?" tanya Liu Xi menahan rasa takutnya. "Aku tak berniat untuk-"
"Gugurkan! Dan tinggalkan Yi Zen."
Liu Xi tertawa miris. "Kalian sangat cocok. Kau tak berbeda darinya! Dengar, katakan ini pada kekasihmu! Aku akan membesarkan anakku sendiri! Aku tak akan meminta sepeserpun darinya. Jadi bisakah kalian tak mengusikku?"
"Beraninya jalang sepertimu mengandung benihnya! Aku tak bisa percaya kata-katamu! Kau pasti akan menggunakannya untuk memeras Yi Zen!" teriak Ye Ting histeris.
"Li Ye Ting!"
Liu Xi menoleh saat suara berat itu terdengar keras. Yi Zen berdiri di pintu apartemen Liu Xi dan menatap Ye Ting marah.
"Yi-yi Zen," ucap Ye Ting terbata.
"Keluar!" ucap Yi Zen dingin.
"Yi Zen, aku hanya-"
"Keluar!" ucap Yi Zen kian dingin.
"Tapi-"
"Aku bilang keluar!" bentak Yi Zen keras hingga Liu Xi berjengkit kaget lalu Ye Ting keluar dari apartemen Liu Xi.
Hening. Liu Xi hanya diam saat Yi Zen masuk dalam apartemennya dan melangkah mendekatinya. Ia mundur perlahan karena merasa takut saat melihat amarah di wajah Yi Zen. Untuk sesaat ia merasa udara di sekitarnya menghilang hingga ia sulit untuk bernapas.
***