Dua hari telah berlalu semenjak insiden Jeageris dengan seorang avengers. Kelas avengers, atau bisa disebut subjek dewi Nemesis.
Pagi hari, hampir jam sembilan, Isyana berada di depan pintu ruang kerjanya. Bukan untuk masuk tapi untuk mengunci pintu. Ada banyak siswa berada di sana.
"Sudah mau pergi, buk?" Anna bertanya.
"Tapi, kita sudah mengantri tuk memenuhi surat panggilan ini."
"Kami mau cepat-cepat bersih dari sangsinya."
Selain Anna, disana ada beberapa pelajar yang dari tadi menunggu dilorong. Sepertinya ada beberapa pelajar yang mendapat giliran diberikan sangsi nasihat ataupun diberi keputusan skor jika sang pembimbing konseling berkata itu kelewat batas. Dan masih ada yang belum mendapat giliran memenuhi surat panggilan sangsi.
Isyana menatap Anna, dengan tidak-tanduk mau mengusili.
"Prefektur sekolah kok di sangsi?" Isyana menghina Anna dengan tertawa kecil, tertawa tanpa suara, tangan menutupi mulutnya.
"Hmmm." Anna cemberut.
Yang membuat seorang di sangsi adalah siswa yang diberi amanat sebagai prefektur sekolah. Pelajar berpangkat prefektur, mendatangi guru pembimbing konseling dan melaporkan pelanggaran. Tetapi otoritas yang lebih tinggi daripada prefektur adalah penjaga sekolah. Kemungkinan siswa yang punya wewenang seperti prefektur akan diberi sanksi karena penjaga yang melapor atas pelanggaran.
"Ini semua karena Mark sialan itu. Sejak awal dia sangat menandai ku. Sedikit saja kesalahanku kelihatan langsung dilaporkan," keluh Anna.
Di sana ada satu siswi dan empat siswa lainnya.
"Kenapa ruang bimbingan tutup? Padahal baru jam segini kan, buk," protes Anna.
"Aku mau ke rumah sakit," jawab Isyana.
"Huh, apa, siapa yang sakit?" Anna bertanya.
"Bukan urusanmu!" Ekspresi wajah jutek menyebalkan diberikan oleh Isyana. Isyana melangkah pergi.
**********
Singkat cerita, Isyana sampai di rumah sakit. Berjalan di lorong, sambil membawa keranjang buah. Kemudian berbelok di satu ruang pasien. Setelah membuka pintu, Isyana sedikit kaget. Ini kamar kelas tiga dengan empat sekat. Isyana melongo karena ada satu wanita duduk di sekat yang ditempati Nirvana. Memakai seragam yang mirip tentara di era perang sipil. Warnanya merah, mirip seragam tentara Inggris di era perang sipil. Seragam itu adalah atribut khas, kesatria Keluarga Charlotte.
"Perasaan, gak ada kerabat dari Nirvana di dunia ini," ucap Isyana.
Kesatria wanita yang lagi duduk membaca majalah pun menoleh kearah Isyana. Ternyata ia adalah Silvia Mercedes, salah satu kesatria dari kamp kesatria Charlotte. Dia kepala kesatria, orang yang pernah Nirvana lihat dimasa awal tinggal di kota Geffenia ini.
"Lalu, kamu siapa?" Tanya Silvia.
"Namaku Isyana," mengenalkan dirinya dengan lantang. Isyana melangkah mendekati Silvia lalu memberi gestur berbisik, "Aku ini gebetannya."
Isyana menaruh keranjang buah. Menatap Nirvana yang kelihatan masih letih.
"Selamat pagi, menjelang siang. Ku datang menjenguk," selanjutnya Isyana memberi gestur membisik, "Selain itu, aku juga bawa buah."
Kemudian anak buah Silvia pun datang bersama ras nekomimi. Seorang pria dengan seragam ala pasukan Inggris era perang sipil. Nekomimi dengan ciri khas yang selalu memakai armor. Rika, sang Nekomimi yang cute dengan bulu hitam. Wajahnya biasa, tak begitu cantik. Namun sifat tomboi sang nekomimi membuat manusia yang melihatnya bisa merasa gregetan.
"Aku mengantar familiar milik nyonya kecil."
"Terimakasih Norington," Silvia menatap anak buahnya, memberi sedikit ucapan terimakasih. Silvia menoleh kearah Rika, kemudian berkata, "Darahnya masih rendah."
"Berarti masih belum bisa diberi healing dong," sahut Rika.
Sihir penyembuhan berbasis air, mempercepat proses regenerasi. Tetapi sel darah merah akan dikonsumsi dalam prosesnya.
"Makan buah deh," tukas Isyana.
"Baiklah, lakukan yang terbaik untuknya. Aku hanya diperintah untuk memberi pengawalan saja," Silvia menanggapi Isyana. Silvia menatap Nirvana dan berkata, "Setelah pulih, cepat datang ke kediaman keluarga Charlotte, ok!"
"Huh?" Isyana melongo.
"Baik, aku tunggu diluar." Silvia berdiri, bergegas meninggalkan ruangan ini.
"Hei, apa hari ini kamu akan jaga, atau pulang?" Tanya Rika, kepada Isyana.
"Aku maunya pulang sih. Bakalan ngebosenin diam dirumah sakit sepanjang hari. Ngomong-ngomong, siapa cewe bahenol yang tadi itu?" Isyana bertanya kepada Rika, tapi dijawab oleh Norington.
"Silvia Mercedes, kepala kesatria keluarga Charlotte," ujar Norington.
"Kepala kesatria kok cewe? Seperti gak ada laki-laki yang tangguh aja. Kemudian, siapa kamu?" Isyana menatap jutek kearah Norington.
"Namaku James Norington, aku bawahan bos, Silvia. Ketua kami tangguh loh," jawab Norington.
"Kamu sendiri siapa?" Kini Rika bertanya pada Isyana.
"Isyana, cukup Isyana. Aku teman Satella loh, kami satu sekolah loh. Sekarang juga satu tempat kerja," tukas Isyana.
Waktu berlalu hingga malam hari. Isyana sudah pulang, disini yang berjaga adalah kepala kesatria lagi.
"Aku kembali," seru Silvia, dengan nada galaknya.
Duduk di kursi samping ranjang pasien.
"Gara-gara cewe megane tadi menemani mu, aku bisa istirahat. Malam ini aku bisa mengawal mu."
Duduk didekat tempat tidur pasien, Silvia mengupas buah. Rambutnya cokelat bergaya kepang Perancis, mengenakan kaca mata. Tubuhnya sedikit padat, elok dipandang.
"Tapi, kamu juga megane," ucap Nirvana.
"Berisik!" Silvia menatap galak. Mengupas, memotong buah jadi beberapa bagian.
"Apa aku boleh makan ini?" Silvia bertanya.
"Silahkan," balas Nirvana.
"Apa kamu mau?" Tanya Silvia.
"Nanti saja," balas Nirvana.
"JANGAN NANTI-NANTI!"
Menatap sangat dekat dengan ekspresi galak. Bahu Nirvana dicengkeramnya. Galak, sedikit menggertak, Silvia memaksa agar Nirvana mengkonsumsi nutrisi.
"Kalau kamu lama sembuhnya, bisa-bisa aku gak pulang-pulang! Memangnya enak, duduk-duduk dirumah sakit begini!"
Tanpa basa-basi, Silvia segera menyodorkan apel merah menuju mulut Nirvana. Setelah menyuap dengan kasar. Sebelum kunyahan selesai, potongan buah baru sudah dipaksakan masuk ke mulut.
"Cepetan dong, KUNYAH, LELET!"
Memaksa pasien agar banyak mengkonsumsi nutrisi memang tindakan benar. Tapi kalau cara menyuapinya seperti ini, pasien bakalan menderita. Mengunyah dalam keadaan sakit dan lidah menjadi pahit, itu berat. Rahangnya tidak punya tenaga untuk dapat mengunyah cepat, lidahnya pun terasa hambar.
Dalam hati, Nirvana ingin sekali berkata, "Dasar suster galak!"
"Kalau kunyah nya lambat, aku suapin sayuran pahit!" Silvia memberikan nada galak, tatapan Silvia begitu jutek.
"...." Mengunyah saja sudah susah payah, Nirvana tidak ada tenaga untuk membalas nada galak dari Silvia yang menyebalkan. Hanya mampu menghela napas berat.
Melihat Nirvana menghela napas berat, Silvia tahu bahwa Nirvana mengeluh. Maka meluapkan lagi watak galak namun baiknya itu.
"Kenapa, gak seneng? Aku sudah berusaha bantu kesembuhan mu, tahu tidak!"
Membuang muka kearah lain, wajahnya cemberut. Wajah galak menawan dari kesatria wanita.
"Nah, bagaimana rasanya?" Silvia bertanya.
"Hambar," balas Nirvana.
"Lidah mu pahit mas.... Maklum, namanya orang sakit. Habiskan makananmu. Apa perlu aku beri hadiah?" Entah bagaimana, nada Silvia kini mulai ramah lembut.
"Rahang ku terasa pegal!" Nirvana mengerutkan kening.
Silvia mendekatkan wajahnya, memberi gestur berbisik.
"Kalau makanannya habis, nanti bakalan aku kecup," kata Silvia.
"Kecupan di pipi, terasa hangat, kadang bikin hanyut. Apalagi wangi-wangian cewe tuh kerasa waktu ngedeketin dirinya saat mau mengecup," sahut Nirvana, sedikit menahan senyum.
Masih dalam posisi cukup dekat untuk membisiki.
"Bukan kecupan seperti itu. Aku bakalan menyapu lidahmu pakai ludahku, supaya lidahmu gak pahit lagi loh," kata Silvia.
Seketika, senyuman Nirvana kian melebar. Pandangan kearah atap dipenuhi imajinasi.
Silvia mengecup pipi Nirvana, berkata, "Yang ini baru intro, yang aku janjikan bakal datang setelah kamu menghabiskan makanan mu!"
"Tapi, tolong gerai rambut kepang Perancis mu itu!" Permintaan dari Nirvana.
"Loh, kenapa, kamu gak suka sama model rambutku?" Tanya Silvia.
"Bukan seperti itu, kalau di gerai, aroma wangi-wangian rambut perempuan akan tercium. Kalau dikepang begitu, aku gak bakal mencium aroma samponya," ujar Nirvana.
Seketika Silvia memberi mimik tersenyum genit seraya memegangi kepangan rambutnya.
"Wangi sampo, masa sih aku harus keramas di toilet rumah sakit hanya untuk memberi layanan merawat pasien sakit. Tapi sebelum kesini, Silvia udah mandi dan keramas. Cobain deh, menurutmu aku masih wangi sampo gak, mas?" Dengan genitnya, Silvia mengangkat alis, menampar wajah Nirvana pakai kepangan rambutnya.
"Wangi aroma esensial." Nirvana tersenyum penuh delusi.
"Itu artinya, aku gak harus keramas lagi, di kamar mandi rumah sakit? Sebentar, aku gerai rambut dulu." Silvia mengangkat kedua tangan untuk melepas kepangan nya.
Nirvana tercengang melihat Silvia dengan rambut terurai tapi masih memakai kacamata. Silvia kembali menyuapi Nirvana, lalu bertanya.
"Bagaimana rasanya?"
"Sekarang jadi sedikit manis, tapi masih hambar sih."
"Nanti aku sapu lidahmu, supaya hambarnya hilang."
"...."
Atas rayuan genit Silvia, Nirvana melamun gembira.
"Apa bantalnya nyaman?" Silvia bertanya.
"Bikin pegal leher," jawab Nirvana.
Tau-tau Silvia meraih, merangkul kepala Nirvana lalu mendekapnya. Kepala Nirvana dibenamkan oleh Silvia, dibenamkan ke dadanya. Terbenam didekapan nya.
"Terimakasih atas yang waktu itu. Kamu menyelamatkan ku sekali, kamu bikin aku senang," Silvia tak hentinya membenamkan kepala Nirvana di dekapannya, terbenam didada nya yang sebesar melon.
Pada akhirnya kepala Nirvana kembali ke bantal.
Silvia menatap Nirvana, wajah mereka berdua terlalu berdekatan. Silvia menjulurkan lidahnya dan memberi raut wajah genit.
"Habiskan makananmu, nanti aku sapu lidahmu," Silvia menggoda.
Singkat cerita, Silvia menyuapi Nirvana kembali.
"Kamu lama deh ngunyah nya. Nunggu kamu ngunyah, aku minta buahnya ya?" Silvia juga memakan sedikit buahnya.
Suap-menyuap pun terjadi. Waktu berlalu agak lama, dengan waktu cukup lama, dengan susah payah, Nirvana berhasil menghabiskan makanannya.
"Giliran dijanjiin sesuatu aja, makannya se-semangat ini. Dasar laki-laki," gumam Silvia.
"Aku habiskan makanannya loh," Nirvana berkata.
Memberi ekspresi yang menahan senyum, sambil pura-pura jutek, Silvia cengengesan, "Dasar...."
"Kamu mau dikecup dan disapu lidahnya, dengan posisi aku duduk disamping, atau--"
"Atau apa?"
"Atau aku duduk di atas, pinggang kamu aku duduki."
Nirvana cengar-cengir, sambil mengangguk gembira.
"Sebentar, aku akan menutup tirai nya!" Bisik Silvia, mengecup pipi Nirvana. Kemudian menutup tirai yang menjadi sekat antar kamar.
Scene diakhiri dengan Silvia meletakan telapak tangan diatas kedua mata Nirvana. Sensasi yang gelap diberikan Silvia. Dan disaat Silvia menutupi mata Nirvana memakai telapak tangannya, entah apa yang terjadi.
Wangy, wangy, wangy.