Beberapa hari setelah berkunjung ke ibu kota, ia membaca koran. Fiana duduk di ruang santai diluar kamar sambil menikmati teh. Dalam surat kabar, diberitakan Geffenia telah diserang oleh entitas yang disebut dengan demon.
"Future diary lebih akurat dari buku sejarah yang diceritakan oleh Jhon," gumam Fiana.
Atas inisiatifnya, seorang butler membawakan poci berisi teh dan cangkirnya. Sebelum menuangkan airnya, butler bertanya dulu.
"Silahkan, teh nya," seru butler, sangat ramah.
"Ah, makasih." Cara Fiana memberi senyum, jauh lebih ramah lagi.
Dan saat menoleh kearah butler, ternyata itu Jhon Locke.
"Sedang baca apa, nyonya Fiana?" Tanya Jhon.
"Membaca koran," balas Fiana.
"Begitu, kah--"
"Kenapa, Jhon?"
"Tidak, tidak apa-apa. Soalnya aku jarang melihat mu membaca koran, nyonya," ucap Jhon.
"Iya, Fiana si bodoh ini sama sekali tidak mewarisi tingkat intelektual Keluarga Lorenna, aku kan hanya anak ang--"
"Mohon ampun, nyonya."
Ketika Fiana hampir saja berkata bahwa ia adalah anak angkat. Jhon sangat menyesal, sedikitpun Jhon tidak mau membahas itu. Bagi Jhon, kata-kata itu sangat tidak bagus karena Jhon sangat menghormati Fiana. Karena Fiana kurang pintar, ucapannya selalu apa adanya.
"Kenapa?"
"Tolong jangan katakan itu lagi, yah. Bagiku, nyonya Fiana adalah putri dari ibu besar, nyonya Marisa kok."
Setelah mendengar sanggahan dari Jhon, Fiana kembali fokus kepada surat kabar nya. Fiana menyeruput tehnya sangat hati-hati layaknya kucing. Kemudian Jhon mencoba sedikit berbicara lagi pada Fiana.
"Sedang baca apa, nyonya?" Tanya Jhon.
"Berita tentang kota Geffenia yang diserang ras demon," jawab Fiana.
Spontan, hal ini mengejutkan Jhon.
"Maafkan kelalaian saya nyonya Fiana.... Saya tidak tahu kalau ras demon itu ada. Saya hanya tahu berdasarkan apa yang saya baca di buku kok." Betapa terkejutnya kala mendengar perkataannya salah. Menjawab pertanyaan untuk putri keluarga yang ia hormati saja, bisa salah. Jhon kehilangan rasa pede.
Dengan santainya, Fiana memberi kata-kata positif. Apa yang Fiana katakan, menjadi restorasi untuk kepedean yang Jhon punya. Fiana memulihkan rasa percaya diri Jhon.
"Sedikitpun kamu tidak salah kok. Malahan aku yang kurang wawasan ini, merasa bangga punya pelayan berpengetahuan seperti mu, Jhon."
Jhon bergegas pergi, melanjutkan pekerjaannya. Fiana membaca lagi future diary, menanti rahasia apa yang ditampakkan.
"Jangan mengaku bahwa kamulah penyebab pecahnya rumah spirit yang bernama Anindya. Ibu angkat mu hanya akan merubah seorang pelayan wanita menjadi ras spirit sebagai pelampiasannya."
Itulah pesan future diary.
"Menjadikan seorang pelayan tak berdosa, menjadi spirit? Ibu amat kejam ya!"
Fiana tak habis pikir akan karakter jahat di keluarga ini. Sebelum dunia perulangan terjadi, Fiana belum melihat semua kejahatan keluarga.
Maka Fiana melangkah ke lorong dekat pintu masuk ruang bawah tanah rahasia. Dan didepan pintu masuk, ada sedikit keributan. Maid yang biasanya menjadi pembersih ruang bagi wadah penyimpanan rumah spirit, kena batunya. Fiana tidak bisa membiarkan orang lain celaka atas tindakannya. Kendati bukunya berkata bahwa Fiana gak boleh mengaku, hati Fiana sulit tuk mematuhinya.
"Sungguh, bukan aku pelakunya. Diriku mana tahu cara merusak kristal kuat ini. Mohon jangan salahkan aku, nyonya besar, aku mohon." Seorang maid sedang memohon ampun pada majikan.
"Hanya kamu kok yang tugasnya bersih-bersih di rumah spirit. Ya, pastinya kamu yang merusakkan kristalnya!" Ibu Fiana membentak pelayan wanita dengan kasarnya.
"Tapi saya berkata jujur." Isak tangis sang maid pecah.
"CUKUP, KAMU AKAN AKU UBAH MENJADI SPIRIT!"
Ritual sihir akan dengan kejinya merampas sisi kemanusiaan maid, lalu merubahnya menjadi spirit.
Fiana pun membayangkan wajah Anindya. Ayah Fiana pasti akan menjadikannya sebagai boneka penghibur dirinya dan rekannya. Fiana tidak bisa membayangkan hal-hal se-keji itu. Fiana bergegas kearah ibu angkatnya.
Fiana langsung mendatangi ibunya.
"Hentikan, mamah...." Fiana segera mendatangi ibunya.
"Apa ini, kenapa kamu ada disini? Tolong kembali ke kamarmu nak," ucap ibu Fiana.
"Tolong jangan hukum pelayan di rumah ini!" Fiana merengek.
"Jangan ikut campur!" Tegur ibu Fiana.
Fiana berdiri di sana, hanya bisa terdiam dalam beberapa waktu.
"Sebenarnya aku yang merusakkan kristalnya." Fiana tertunduk, wajah Fiana cemas, ketakutan, tak karuan. Fiana mengambil resiko dengan mengakuinya.
"Benarkah itu?" Wajah ibunya kini terlihat suram dan gelap.
Fiana hanya bisa mengangguk dan tidak berani menatap ke mata sang ibu. Tangan Fiana segera ditarik. Ia ditarik ke kamar ibu nya. Tapi ini bukan kamar ibunya, Fiana tahu ini bukan. Lantas ruang apa ini, apa ibunya punya kamar lain ketika sedang tidak mau ada di kamarnya.
Berada di depan pintu, ibu Fiana memastikan lagi.
"Apa benar, kamu merusakkan kristalnya?" Tanya ibu Fiana.
"Iya, ibu," ucap Fiana, lirih, cemas, tertunduk.
"Kamu tidak mengaku karena mau melindungi orang kain kan, kamu sebenarnya bukan pelakunya kan?" Ibu memastikan lagi.
"Iya ibu, akulah yang merusakkan kristalnya." Fiana pun bersikeras untuk terus mengaku.
Lalu Fiana benar-benar dibawa ke kamar tersebut. Saat ada didalam, kamar itu terkesan biasa-biasa saja.
*************
Fiana berjongkok di ujung ruang, menutupi tubuh bagian atasnya. Kedua paha dijepit untuk menutupi bagian kewanitaannya. Karena kini busana Fiana telah dilepaskan.
"Mamah, kenapa harus seperti ini?" Tanya Fiana.
Ibu Fiana mengambil sesuatu dari lemari, dan itu whip. Ini bukanlah, whip yang biasa dipakai sebagai senjata. Whip yang lebih lemah daya serangnya, khusus untuk menyiksa. Dapat menyiksa lebih lama, tidak dapat membunuh.
"Kenapa, tapi mamah tidak pernah seperti ini sebelumnya?" Fiana jadi merasa ngeri melihat whip di tangan ibunya.
"Lain kali, pikirkan lagi sebelum melakukan sesuatu!" Teguran yang dikatakan ibunya.
Beberapa detik kemudian, suara pecutan pertama terdengar.
"Hiaaaa, sakit mamah."
Namun ibu Fiana hanya tertawa seolah menikmati hal itu. Pecutan kedua hingga keempat terdengar.
"Ampun, mamah."
Fiana menyender di tembok sambil menutupi kedua payudara dengan tangannya. Yang bisa dilakukannya adalah mengharap belas kasihan ibu angkatnya itu.
"Kya...."
Cambukan yang kelima terdengar sangat keras, hingga Fiana menjerit lumayan keras.
Hingga saat ini cambukan hingga cambukan terus terjadi.
Sungguh ironis dikala Fiana pernah merasa kehangatan saat Fiana kecil diadopsi ke rumah ini. Sepasang orang tua angkat ini membutuhkan pancingan agar mendapatkan anak pertamanya. Semua yang mereka inginkan sudah mereka dapat waktu itu, kecuali seorang anak. Momen pertama Fiana ada dirumah itu, sangatlah indah, baik hari pertama hingga satu tahun lebih beberapa bulan kedepan.
Sayangnya tak lama setelah Fiana diadopsi, anak kandung mereka terlahir. Butuh waktu satu setengah tahun lebih bagi Michele untuk terlahir setelah Fiana diadopsi.
Terutama momen ketika Michele berusia tiga tahun, kasih sayang mereka sudah terberi penuh pada darah daging mereka. Meskipun itu saat-saat Fiana cemburu, tetapi ia masih memandang Fiana kecil sebagai adik kesayangannya.
"Dulu, mamah tidak pernah se-tega ini."
Itulah suara hati Fiana.
Sekarang sudah belasan, tidak tapi sudah puluhan sabetan diterima Fiana. Ibu Fiana menyabet whip itu kuat-kuat. Saat ini Fiana menangis tersedu-sedu, menyender di dinding.
"Aku sudah boleh pergi?" Fiana tersedu-sedu.
"Iya, iya, jangan diulangi!" Suara ibunya terdengar biasa, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Fiana menoleh kemana-kemana, mencari pakaian yang berserakan tetapi tidak melihatnya.
"Bolehkah aku minta pakaian ku mamah?" Tanya Fiana.
"Tidak, keluarlah dengan keadaan seperti itu! Jika kamu mengulangi kesalahan, hukumannya akan aku tambah lagi!"
Tidak ada belas kasihan seperti dulu lagi. Fiana pergi, sambil sesekali menutupi bagian kewanitaannya. Beberapa langkah setelah pergi dari kamar ibunya, Fiana tabrakan.
"Kya.... Siapa, maaf tidak lihat." Nada kaget Fiana, agak teriak-teriak.
"Ini aku, nyonya--"
"Eh, Jhon?"
Jhon membawakan kain untuk menyelimuti tubuh polosnya.
**************
Kamar.
Fiana masih terbaring di kasur dengan perasaan sendu. Ia masih ditutup dengan kain yang tadi.
"Ya, ampun, ibu mu sungguh tega." Blossom sedang membuka tutup kemasan balsem penyembuh luka. Kemasannya mirip dengan botol bundar Pomade. Warnanya amat hijau, seperti campuran dari ekstrak tumbuhan mistis.
"Dia bukan ibuku. Habisnya aku hanyalah anak yang diadopsi oleh keluarga besar ini." Sanggah Fiana, ditengah isak tangisnya.
"Permisi, biar aku obati, tuan putri." Blossom sedikit menarik kain yang menutupi tubuh polos itu. Di mulai dengan mengobati luka di tubuh bagian atasnya.
"Kya.... Sakit, sakit, sakit. Aduh, duh, duh, duh, perihnya." Fiana merintih ketika salep penyembuh itu mulai dioleskan di kulitnya.
"Astaga, lihat kulit mulus mu, kamu pasti tuan putri gak akan bisa pakai gaun lagi. Luka-luka lecet ini kurang enak dipandang. Aku gak tega lihat lukamu, tuan putri." Sedikit demi sedikit, Blossom mengobati luka di kulitnya Fiana.
"Iya, aku akan pakai baju lengan panjang untuk menutupi kulit ku yang dipenuhi bekas luka ini," kata Fiana.
"Kasihan, kasihan," seru Blossom.
"Cepat atau lambat, kita harus pergi dari tempat ini." Sorot mata Fiana seperti mata orang yang pernah merasakan kematian. Daya magis mata misterius Fiana telah ditempa oleh keputusan. Yang baru terjadi, telah memperkuat daya magis dari mata misterius ini.
Rona merah di mata Fiana kian menguat. Merahnya semakin gelap, agak mengarah ke merah Crimson. Sebelumnya agak secerah merah scarlett. Tatapannya telah mati rasa.
"Apapun jalan yang anda pilih, aku akan mendukungnya, tuan putri." Nada tulus Blossom membuat rasa sendu Fiana mereda.
Keberadaan Blossom dirumah ini, tidak ada yang tahu. Ras Blossom adalah spirit, dengan mudahnya Blossom melakukan fade. Tidak satupun orang dirumah yang tahu keberadaan Blossom, tidak kecuali Fiana itu sendiri.
Sejak saat ini, Fiana tidak merasa sendirian lagi.
Bagian flashback berakhir disini, berikutnya akan muncul kala Fiana menjadi sorotan lagi di part nanti.
~Bersambung~