Chereads / Pendakian Terakhir / Chapter 2 - 2. Keberangkatan

Chapter 2 - 2. Keberangkatan

Setelah semua keperluan beres seperti kesepakatan sebelumnya, hari ini mereka berkumpul ditempat yang telah ditententukan yaitu di sebuah terminal bus. Beni dan Anita, Danu dan Aini, kemudian Randy yang juga terlihat datang telah menunggu di terminal bus tersebut sesuai dengan rencana, hanya tinggal Arie seorang yang sampai waktu keberangkatan bus hampir tiba pun belum terlihat batang hidungnya.

"Sorry sorry, gua telat."

Arie datang dengan terengah-engah setelah sebelumnya berlari sekuat tenaga berusaha sampai tepat waktu untuk datang, walaupun sebenarnya dia sudah terlambat dari waktu yang telah mereka sepakati sebelumnya.

"Dari mana aja sih loe? Dandan dulu?" Beni dengan nada kesalnya langsung memarahi Arie yang membuatnya semakin merasa bersalah.

"Udah, sekarang kita langsung ke mobil aja, keburu busnya berangkat."

Randy menengahi, bukan karena membela tapi lebih kepada bus yang akan mereka naiki memang sebentar lagi akan berangkat sesuai dengan jadwal keberangkatannya. Mereka pun bergegas menuju ke mobil bus jurusan kota yang akan mereka tuju.

Dalam perjalanan mereka lebih banyak beristirahat agar ketika mereka sampai di kota yang menjadi tujuan, mereka bisa beristirahat sejenak lalu bisa langsung melakukan pendakian di malam hari sesuai dengan rencana yang telah mereka susun sebelumnya.

Dalam perjalanan yang memakan waktu lebih dari setengah hari itu, semuanya lebih banyak diam dan memaksakan diri untuk terlelap agar lebih menghemat tenaga, dengan bantuan AC dalam mobil dan kondisi yang cukup nyaman akhirnya mereka bisa terlelap, hanya Beni dan Danu saja yang masih tetap terjaga dengan pasangan masing-masing bersandar dengan lelap dibahu mereka.

Cuaca cerah pada hari itu sepertinya akan memudahkan mereka melakukan pendakian di malam hari, dipertengahan tahun seperti ini memang intensitas hujan sudah tak terlalu tinggi namun mereka semua selalu membawa jaket khusus untuk pendakian yang melindungi mereka dari dingin serta hujan atau sekedar jas hujan untuk berjaga-jaga ketika kondisi sudah tak memungkinkan.

Setelah lebih dari 8 jam dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai pada terminal kota yang menjadi tujuan, perjalanan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya karena bus sempat terjebak macet pada jalur tol akibat kecelakaan beruntun sehingga memaksa sebagian ruas jalan harus ditutup oleh pihak keamanan

"Akhirnya, sampai juga, pegel pinggang gua kelamaan di mobil."

Danu yang baru saja turun dari bus meluruskan pinggangnya yang terasa kaku, dia turun lebih dulu bersama Anita melalui pintu belakang yang lebih dekat dari tempat duduk Danu dan Aini, yang kemudian di susul Beni serta Anita, lalu Randy dan yang terakhir Arie. berbeda dari yang lainnya yang antusias dan bersemangat serta tak sabar melakukan pendakian terakhir mereka, Arie justru terlihat murung dan lebih banyak diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Untuk sesaat matanya memperhatikan yang lain dengan seksama, dan butuh sepersekian detik untuk berpaling ketika dia menatap Aini.

"Kenapa loe?" tanya Randy melihat Arie yang dirasa tak seperti biasa.

"Gak kenapa-kenapa." Balas Arie dingin dan datar.

"Mereka gak usah di fikirin, sekarang nikmatin aja pendakian bersama kita yang terakhir."

Randy berusaha menenangkan Arie agar bisa fokus selama mendaki dan tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan, konsentrasi ketika mendaki sangatlah penting, mendaki tak cukup hanya dengan tenaga tapi juga membutuhkan konsentrasi.

Dari terminal, perjalanan dilanjutkan kembali dengan menggunakan kendaraan umum yang melewati tempat yang mereka tuju, yaitu pos pendaftaran pendakian, jarak dari terminal ketempat itu tak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar setengah jam perjalanan saja.

Begitu tiba mereka langsung menuju pos pendaftaran pendakian dan mendaftarkan diri mereka lengkap dengan foto copy identitas yang sudah mereka siapkan, identitas mereka diperlukan agar ketika terjadi sesuatu yang tak diinginkan setidaknya ada petunjuk tentang mereka, kemudian mereka juga harus menentukan lamanya pendakian yang akan mereka lakukan, agar ketika mereka tak kembali dalam waktu yang telah mereka tentukan sendiri, maka tim SAR akan segera mencari mereka.

Setelah selesai dengan administrasi dan telah mendapat izin untuk mendaki, mereka di sarankan untuk menemui juru kunci gunung ini terlebih dulu untuk berkonsultasi agar mereka bisa pergi dan pulang dengan selamat. Dari pos pendaftaran, letak rumah juru kunci itu tak begitu jauh, hanya sekitar 500 meter saja dan tentunya cukup hanya dengan berjalan kaki untuk sampai ke sana.

"Ini rumahnya?"

Arie menatap rumah kecil nan kumuh dihadapannya, dia merasa tak percaya tentang apa yang dibicarakan oleh orang di pos pendaftaran tadi, namun faktanya rumah dihadapan mereka adalah rumah yang mereka cari.

"Kayaknya sih gitu, kalau sesuai petunjuk, ya emang ini tempatnya."

Tanpa menunggu persetujuan yang lainnya, Randy melangkah maju.

Tok tok tok.

Randy mengetuk pintu yang terlihat telah begitu rapuh itu dengan berhati-hati.

"Permisi."

Beberapa kali mereka berusaha mengetuk pintu dan memanggil pemilik rumah namun sepertinya sang pemilik rumah sedang tak ada di tempat, atau mungkin rumah itu memang tak ada penghuninya.

Setelah mereka kira tak ada orang didalam rumah itu karena telah beberapa kali pintu rumah diketuk namun masih tak ada jawaban, akhirnya pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampakkan sesosok pria tua kurus berjanggut putih serta kumis dengan warna senada menyapa mereka.

"Cari siapa?"

Suara serak dan berat dengan intonasi datar membuat Randy dan yang lainnya sungkan. Merasa tak mendapat respon dari Randy dan yang lainnya, kakek itu mengulangi pertanyaannya.

"Ada perlu apa?"

"Begini mbah, saya dan teman-teman saya ini mau minta izin."

Ucap Randy dengan sopan, tapi kakek tua tersebut tak bereaksi, dia menatap dan mengamati mereka satu persatu dengan tatapan tajam, kemudian menghembuskan nafas panjang.

"Silahkan masuk."

Mereka berenam akhirnya dipersilahkan masuk dan duduk diatas tikar kusam yang memang dipersiapkan untuk tamu yang datang, tak ada air minum apapun yang tersaji untuk mereka disana, apalagi jamuan mewah.

"Kalian mau ke gunung itu?"

Tanpa basa basi mbah kuncen langsung menanyakan hal itu, dia sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang seperti Randy dan yg lainnya.

"Iya mbah, kami kesini mau..."

Belum selesai Randy dengan kata-katanya, Mbah Kuncen sudah memotong pembicaraannya terlebih dulu.

"Kalau kalian mau pergi ke puncak gunung itu silahkan, tapi ingat, kalian harus hati-hati."

Ucap mbah kuncen seraya pandangannya menatap tajam Arie yang sejak awal kedatangannya sudah merasa tak nyaman serta ketakutan, entah apa salahnya sehingga juru kunci itu seperti membencinya.

"ya Mbah, mereka akan hati-hati dan izin pada penunggu gunung ini."

Randy berusaha meyakinkan juru kunci tersebut, namun juru kunci tersebut justru tertawa sinis mendengar ucapan Randy barusan.

"hahahahaha yang perlu kalian takuti bukan saja mengenai penghuni ghaib gunung ini, namun semua yang ada di sekitar kalian, karena ketika kalian memasuki hutan di gunung tersebut, itu berarti semua berubah menjadi berbahaya, termasuk diri kalian sendiri, karena iblis dalam hati manusia lebih berbahaya daripada setan yang tampak nyata."

Perkataan MbahKuncen semakin membuat Arie beringsut, apalagi kali ini tatapan tajamnya semakin menyeramkan.

Setelah mendapat izin dari juru kunci, mereka segera pergi dari tempat itu. Arie kini bisa bernafas lega setelah dirumah juru kunci tadi seolah-olah dia merasa diintimidasi.

"Gila tuh kuncen, bukannya kita di kasih bekal apa kek, ini malah kita di takut-takutinin."

Ujar Beni dengan kesal.

"Udah, yang penting kita udah izin, terus kita harus hati-hati aja, jangan ngomong sembarangan selama kita di sini."

Randy selalu bersikap tenang, seolah cerita juru kunci tadi hanya sebuah cerita saja, walaupun dalam benaknya selalu terbayang kalimat terakhir dari juru kunci itu.

"Rie, lo gak apa-apa?"

Tanya Danu yang melihat Arie semakin pucat sejak keluar dari rumah juru kunci tadi.

"gua gak apa-apa."

Balas Arie singkat seraya menundukan wajahnya yang semakin muram.

Setelah itu mereka berhenti sejenak untuk memeriksa barang bawaan mereka kembali, agar kalau sampai ada yang tertinggal bisa mencari di daerah ini terlebih dulu. Setelah selesai dan sudah pasti tak ada yang tertinggal termasuk perbekalan makanan, mereka pun berangkat menuju pos pertama.

"Sebelum kita berangkat, alangkah lebih baik kita berdo'a bersama lebih dulu, agar kita selalu mendapatkan perlindungan dari yang maha kuasa."

Randy bertindak sebagai seorang pemimpin walaupun sebenarnya tak ada yang memintanya, namun yang lain pun sepertinya sepakat walau tanpa memberikan suara, karena dalam kegiatan ini memang harus ada yang bertindak sebagai pemimpin yang mampu menuntun dan menengahi mereka.