Dari gerbang kampus, Amira berjalan lamban menuju ke Arga. "Aku terlambat," katanya masih dengan tenangnya.
"Jam berapa ini?" tanya Arga pada Amira.
"Jam 10.30," ujar Amira.
"Benar."
Arga kemudian berbalik, kembali pada barisan mahasiswa baru yang lain. Arga bersikap seolah mengabaikan Amira, begitu juga dengan senior-senior yang lain.
Amira menghela napas. Ia percaya kakak tingkatnya itu punya wewenang untuk tidak meluluskannya di masa orientasi dan status kemahasiswaannya akan ditinjau ulang. Tapi, Amira merasa tidak bisa melakukan apa-apa dan tidak ingin berusaha lebih jauh. Sekali lagi, menjadi dokter tidak pernah ada di rencana hidupnya. "Aku ingin hidup sederhana dan bahagia," katanya untuk dirinya sendiri, dan itu bukan berarti uang dan status sosial yang ia dapat.
Amira menjauh dari lapangan. Ia mulai menapaki gedung perkuliahan dan segala hal yang unik yang ada di sana; potongan-potongan tubuh manusia yang ada di dalam toples di laboratorium anatomi, mahasiswa berjas putih, perpustakaan yang besar dengan literatur berbahasa Inggris, aroma formalin dan alkohol yang pekat, dosen yang cantik dan tampan dengan pengalaman dan kemampuan komunikasi yang luar biasa; Amira menjadikan pengalamannya di Fakultas Kedokteran sebagai tur sesaat.
[Sepertinya aku nggak cocok jadi dokter seperti Anda. ]
Pesan singkat itu terkirim ke ponsel Vero sesaat sebelum Amira menginjak anak tangga terakhir untuk keluar dari gedung perkuliahan. Ia berniat keluar dari kampus itu. Tapi…
"Mau ke mana?"
Langkah Amira tertahan. Gerbang kampus masih sekitar dua meter di hadapannya. Ia berbalik sejenak, sekadar ingin berpamitan dengan yang barusan menyapanya.
Arga berada di belakang Amira.
"Mau pulang," jawab Amira.
"Kamu sadar apa yang bakal terjadi kalau kamu berani keluar dari gerbang itu?"
"Nggak akan terjadi apa-apa,"jawab Amira.
"Kenapa? Karena kamu punya koneksi di sini?"
"Bukan… Aku akan mengundurkan diri dari sini. Jadi, Kakak nggak perlu bikin catatan Black List untuk 'Amira'!" Amira menyebut namanya sendiri.
"Apa kamu ngancam aku?" sekali lagi Arga tersenyum tidak percaya.
"Aku serius. Buatku…," mata Amira menerawang bangunan lima lantai yang megah dan mewah, agak ke belakang ada blok rumah sakit milik pemerintah provinsi, "ini seperti mobil mewah bagi seorang yang untuk makan satu kali saja… sulit. Aku tidak begitu menginginkannya."
Arga terenyuh ketika melihat Amira tersenyum padanya sebelum berbalik pergi. Ia masih menatap heran Amira saat itu, perempuan yang benar-benar berani melewati gerbang kampus.
"Apa dia serius?" lirih Arga.
...
Amira berjalan menunduk, mencoba mengerti betapa bodohnya dirinya membuang begitu saja kesempatan menjadi seorang dokter. Amira terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, bahwa dirinya bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Lagi pula Vero samasekali tidak membahas soal keputusannya yang satu itu, atau tidak punya kesempatan untuk membahasnya. "Oh, kenapa mesti kayak gini sich," kesal Amira. Sejak awal mungkin Vero tidak setuju, bisa dibayangkan jika "aku" membuat masalah, maka Vero akan ikut bertanggung jawab. Nama baik Vero dipertaruhkan. Amira tidak siap untuk situasi-situasi itu.
"Awww!" Amira merasa telah menabrak sesuatu. Sesuatu yang tinggi dengan aroma yang tidak asing buatnya.
"Apa lagi yang dia lakuin di sini?" batin Amira mencoba tetap tenang. Perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian, menengadahkan kepala dan menantang pandangan orang itu. Vero dengan kaca mata hitamnya. "Dia seperti monster. Tidak! Dia sangat tampan. Terlihat baik dengan setelan hitam dibalut dengan jas putih," ucap Amira dalam hati. Amira mengerjipkan matanya.
Tangan Vero bergerak.
Amira dibuat waspada karena ukuran jemari Vero yang cukup besar. Jemari itu mencengkram leher Amira.
"Aku tahu kamu pasti bikin masalah lagi."
Amira merasa Vero sedang menggeram padanya. Ia merasakan tekanan di leher dan setengah dadanya, tekanan yang sebenarnya tidak menyakitkan, tapi mampu membuatnya terpaksa melangkah mundur mengikuti gerak Alvero.
"Ngapain sich? Lepasin aku!" ujar Amira mencoba melawan Vero, sesuatu yang membuat tekanan dari tangan Vero lebih bertenaga. Amira tentu tidak lupa bagaimana Vero membanting orang yang mengalami gangguan jiwa di depan mall. Ia punya kemampuan untuk membuat Amira tidak bergerak.
"Hukum dia setelah kelasku selesai!" kata Vero pada Arga.
Vero membawa Amira ke dalam ruang pertemuan dan dengan sedikit dorongan, ia melepaskan Amira. "Aku tidak suka ada mahasiswaku yang bolos," ujarnya.
"Aku mau bolos apa nggak… itu bukan urusan An...," Amira tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena yang berdiri di hadapannya adalah Vero. Vero punya hak sepenuhnya atas dirinya, dia bahkan lebih berhak dari diri Amira sendiri. Terlebih karena status Vero saat ini seorang dosen, "bagian mana yang membuat ucapanku ini pantas untuk diucapkan?" pikir Amira. Ia kemudian berbalik dan memilih tempat duduk agak ke belakang.
...
Amira menghempaskan tasnya ke tempat duduk di sebelahnya yang kosong. "Pengantar Ilmu Kedokteran? Apa sich menariknya," umpatnya. Dengan wajah kusut, ia membuka lembar jadwal yang diberikan seniornya saat hari pertama orientasi. Alvero Yudistira memang terjadwal menyampaikan materi tentang ilmu kedokteran, bukan tentang teori, hanya sedikit memotivasi.
Amira menatap enggan seseorang yang sepertinya serius berbicara pada panitia di dekat podium, sementara mahasiswa lain berdatangan. Tidak sampai sepuluh menit hingga bangku peserta terisi penuh dan Vero pun memulai ceramahnya.
"Ehmmm!" suku kata pertama yang terucap dari mulut Vero dan sepertinya itu cukup menarik perhatian.
Yang aneh justru terjadi pada Amira, ia mendengar suara tikus terjepit yang membuatnya justru ingin berteriak kaget. Perempuan di sampingnya histeris.
"Nin, dia ganteng banget," ujarnya pada teman di sampingnya.
"Selamat datang di Fakultas Kedokteran… calon-calon dokter!"
Suara tepukan tangan menggema.
"Tepat 10 tahun 2 bulan ketika aku juga berada di posisi kalian, duduk dan mendengar," Vero menyandarkan pantatnya di sebuah meja dan berbicara dengan sangat santai.
Amira yang tadinya tidak berniat mendengarkan Vero akhirnya terhipnotis juga. Padahal ini baru beberapa detik dari tiga puluh menit yang disediakan untuk orang itu sebagai pembicara.
"Duduk dan dengarkanlah!" ulang Vero. "Mungkin ini kelihatan remeh, tapi berguna saat kalian nggak berniat ngelakuin apa pun, sedang lelah misalnya habis dikerjain sama senior, atau…. sedang galau gara-gara pacar… ada?"
"Huuuuuu!" sorakan kembali menyergap ruangan itu.
"Kuliah di kedokteran bukan hal yang mudah. Aku yakin sebagian besar di sini merasa excited karena sudah ada di tahap ini, tapi aku juga yakin ada beberapa di antara kalian yang masuk kedokteran hanya karena terpaksa, tuntutan orang tua, merasa bimbang karena masalah biaya dan waktu perkuliahan yang panjang, melelahkan, atau memang punya cita-cita yang lain. Apa pun itu alasannya, percayalah bahwa menjadi dokter bukan hal yang buruk. Kalian sudah memulainya, sudah sampai pada tahap ini, jalani ini dengan sebaik-baiknya tanpa melupakan impian kalian yang lain, itu bukan hal yang nggak mungkin!"
Amira merendahkan pandangannya. Jemarinya saling menggenggam gelisah di atas pahanya. Amira merasa Vero sedang berbicara padanya sekarang dan itu menyakiti hatinya. Tidak ada yang benar-benar mengerti isi hatinya, bahkan dirinya sendiri.
Untuk selanjutnya Vero hanya bercerita tentang pengalamannya saat menempuh pendidikan dokter. Amira membayangkan dirinya masuk ke masa muda orang itu dan memperhatikan Vero dari sudut yang tak pernah disadari Vero. Seperti seorang pengagum rahasia diantara tumpukan pengagum rahasianya yang lain. Amira tersenyum sendiri. "Bodoh!" sebutnya. Vero pasti tidak akan menyadari keberadaannya, karena pengagum Vero terlalu banyak dan orang itu tidak punya waktu untuk mencari tahu isi hati tiap orang.
Ya. Amira merasa lebih baik setelah mengikuti seminar dr. Alvero Yudistira. Walaupun tidak membuatnya lepas dari hukuman begitu saja.
"Ini jam istirahat," Amira melempar pandangan ke sekeliling, kemudian menerobos masuk gerombolan mahasiswa yang ingin keluar dari ruang pertemuan. Amira berusaha menghindari Arga. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan seniornya yang satu itu jika mereka bertemu lagi.
Namun….lima belas menit kemudian…
"Lo yang namanya Amira, ya?"
Amira mengangguk.
"Lo diminta ke ruang dosen. Nemuin dr. Vero!" ujar perempuan berambut bob. Amira ingat pernah melihatnya, duduk halat satu kursi dari dirinya saat seminar dr. Alvero.
"Dr. Alvero… dr. Alvero… dr. Alvero…," nama itu terus tercetak ulang di otak Amira. Ia sibuk mengelilingi ruang dosen sambil mencari sesuatu yang berhubungan dengan pria tinggi yang entah kenapa menjadi begitu menyebalkan buatnya.
Tatapan Amira sampai pada puzzle ornament yang sedikit menyisakan celah bening di dinding sebuah ruangan tertutup. "Itu dia," sebut Amira yang menerobos masuk.
Amira mengalihkan perhatian Vero sejak perempuan itu muncul dari balik pintu ruangannya, padahal Vero sendiri sedang berbicara dengan dosen yang lain di ruangan itu.
"Siapa dia?"tanya teman Vero.
"Istriku," spontan Vero tampak tak serius.
"Kamu pasti udah gila,"tanggap teman Vero yang akhirnya menarik beberapa map dari meja Vero dan membawanya keluar.
"Ada apa mencariku?" tanya Amira.
Vero mendesis, "Aku setuju Angga ngasi pelajaran lebih ke kamu soal etika," ujar Vero.
"Karena itu kita akan jadi musuh. Itu 'kan yang Anda mau?"
"Kamu keliling nggak jelas di ruangan dosen, padahal kamu bisa pake mulut kamu buat bertanya lebih sopan dan kamu masuk ke sini tanpa ketuk pintu. Tadinya aku cuman mau ngasih hukuman kecil karena bicara kamu yang kasar sama dosen di ruang pertemuan. "
"Oh, tadi itu karena aku lupa Anda seorang dosen," sahut Amira masih dengan keangkuhannya. "Oh, Anda pasti ngerasa malu banget sama sikap aku," sinis Amira. "Anda jangan lupa… Anda memungut aku di jalanan! Seperti anak anjing yang kelaparan. Seseorang bakal ngebunuh anak anjing itu kalau Anda nggak nyelamatin dia."
"Amira!" potong Vero. Vero menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Apa aku punya salah sama kamu?" Vero masih mencoba bersabar dengan kegagalannya memahami orang yang sekarang sudah menjadi istrinya. "Aku ngerasa kamu benci banget sama aku."
Amira menelan senyumnya. Vero terlalu cerdas untuk menangkap sinyal permusuhan yang dikeluarkan Amira dan itu samasekali bukan salah Vero. "Oh, aku lebih setuju kalau nggak ada yang tahu soal hubungan kita. Aku bakal ngerasa terbebani kalau banyak tahu soal ini. Ya… itu kalau aku masih diizinkan untuk menjadi mahasiswa di sini."
Kali ini Vero yang tersenyum sinis, "Harusnya aku yang bilang begitu," katanya soal status mereka. Vero merasa yakin banyak perempuan yang menginginkan status yang dimiliki Amira sekarang. Dan malah Amira yang sok menolak fakta itu. "Dalam hal ini, aku seharusya ngerasa lebih rugi kalau ada yang tahu kamu itu…," Vero enggan mengucapkannya. "Gini ya! Aku mau hubungan kita berjalan sewajarnya dan aku nggak punya waktu buat berdebat hal yang nggak penting sama remaja labil kayak kamu!"
Kening Amira mengerut, "Apa? Remaja labil?" tanya Amira tidak percaya.
Vero mendekatkan wajahnya pada Amira, "Ya. Remaja labil," katanya lagi.
Vero melihat kemarahan di wajah Amira. Ia sendiri mencoba menahan tawanya untuk ekspresi Amira saat itu.
"Terjemahkan ini! Kutunggu hasilnya dalam tiga hari!" Vero menarik satu buku dari rak dan melemparkan buku itu ke hadapan Amira. Buku berbahasa Inggris tentang etika setebal tiga ratus halaman.
Vero merasakan dengusan napas Amira semakin kuat dan Amira melotot padanya.
"Pergilah!" ujar Vero lagi sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
"Akhhh!" teriak Amira yang akhirnya berbalik. Rambutnya terayun indah, tangannya menangkap gagang pintu dan ia menarik pintu dengan sangat kuat.
Dan…
Ada suara gedebuk yang cukup keras dari belakang pintu. Amira megurungkan niatnya keluar dari ruangan Vero dan mencondongkan kepalanya ke balik pintu. Seseorang tergeletak di lantai dengan darah mengucur dari hidungnya. Dan… apa yang tergeletak disampingnya itu… sebuah mesin yang tampak masih baru.
Amira mencium bau masalah di sana. Sementara Vero, ia duduk manis di kursi kerjanya. Dengan masih mencoba menahan diri untuk tidak tertawa.
"Itu mesin EKG!" jelas Vero mencoba mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan Amira.
"Oh!" ucap Amira masih speechless.
"Sepertinya harganya sekitar lima puluh juta, barang baru datang… buat praktek mahasiswa," jelas Vero lagi.
Amira mengangguk sekali lagi. Matanya menerawang pada mesin yang tak lagi utuh komponennya. Perlahan wajahnya memerah dan Amira mulai mengusap pipinya. Perempuan itu menangis dan Vero tidak bisa lagi menahan diri untuk tak terkekeh diam-diam.
"Sudah! Keluarlah!" ucap Vero masih dengan perasaan berbunga-bunga karena Tuhan menghukum Amira dengan cara yang mengagumkan. "Makanya! Jangan suka ngelawan orang tua!" nasihat Vero.
"Ini 'kan gara-gara Anda juga," ucap Amira, "coba aja Anda nggak nyuruh aku datang ke sini,"lanjutya.
"Ya, sudah! Aku yang salah. Nanti aku yang bayarin dech! Kamu nggak malu apa nangis kayak anak kecil begitu," bujuk Vero.
Cukup lama membujuk Amira sampai akhirnya perempuan itu mau keluar dari ruang dosen. Mereka memperdebatkan banyak hal sampai dengan keyakinan Amira mengajukan surat pengunduran diri sebagai mahasiswa dan agar Vero mengizinkan Amira bekerja saja. "Aku yang ngerusakin, harus aku dong yang ganti!" katanya.
"Sakit banget, ya!" Vero mengulurkan tangannya pada Hartono, cleaning servis yang terluka karena Amira.
"Nggak kok, Dok? Cuman hampir pingsan aja! Dokter jadi ada banyak gitu!"
Vero kembali tertawa. Vero masih tak percaya bahwa dirinya masih merasa damai dengan banyaknya masalah yang diciptakan Amira. Tentang perempuan itu, yang tak sedikit pun Vero merasa pernah memungutnya di jalan. Vero merasa dirinya dan Amira memiliki kesamaan, sama-sama harus berjuang sendiri dalam menghadapi kerasnya hidup, dan Vero ingin Amira merasakan sedikit kebahagiaan yang ia punya.