Saat ini tengah malam, tak terasa sudah lima jam aku duduk di depan komputer untuk mengetik dan membaca berbagai jurnal di internet, gelas kopi ku hanya menyisakan ampasnya, tapi tetap saja rasanya suntuk. Ya beginilah nasib para pejuang skripsi, suara burung hantu di luar rumahku sudah menjadi lagu pengiring begadangku setiap malam.
Terkadang, kalau aku sedang bosan, aku mengobrol di discord dengan teman seperjuanganku yang sama-sama masih terjaga. Berbeda denganku, alasannya begadang biasanya untuk bermain game. Dia tidak terlalu memikirkan skripsinya, wajar saja karena skripsi miliknya hanya menyisakan satu bab lagi utuk di selesaikan, sedangkan aku baru memulai bab dua.
Namanya Sahid, tapi aku terbiasa memanggilnya "Om" karena mukanya yang boros. Sebaliknya, aku biasa dipanggil Acil, bukan karena badanku kecil tapi karena sifatku dulu sangat kekanak-kanakan, Acil= Anak kecil. Kami berdua sudah berteman lebih dari delapan tahun, sejak kami berada kelas yang sama dan menempati meja yang sama saat SMK selama tiga tahun, dia adalah saksi hidup dari perjalanan cerita ini.
Satu jam yang lalu aku berbicara dengannya tentang keraguan masa depanku, sejak awal sejujurnya aku memang sudah merasa berada di jalur yang kurang tepat. Aku berbicara tentang jurusanku, selama hampir lima tahun ini terasa sangat berat, sejujurnya aku kurang bersahabat dengan "angka" dan lebih percaya diri dengan "kata", tapi jurusanku mempertemukanku dengan angka dan rumus di setiap perkuliahannya, itu sebabnya ketika temanku berusaha seratus persen dalam perkuliahan, aku berusaha seratus limapuluh persen dalam perkuliahan, sungguh melelahkan.
Sahid jelas sudah mengetahui tentang itu, faktanya dia adalah orang yang membantuku selama hampir lima tahun ini. Tanpanya aku mungkin tidak akan bisa mempertahankan "janji" yang ku buat dengan "seseorang" beberapa tahun lalu.
Beberapa saat lalu kegelisahanku muncul, aku memikirkan masa depanku lagi, pedirianku mulai goyah. Sahid, yang mendengar keresahanku berkali-kali akhirnya memberikan saran yang cukup masuk akal.
'Kalau begitu cobalah menulis sesuatu.' Katanya.
'Sesuatu sepeti apa?' Tanyaku.
'Masa mudamu, masa muda kita, kisahmu dengannya, janjimu dengan "dia", bukankan kamu punya banyak cerita?" Jawabnya.
Aku terdiam, dadaku terasa sesak, pikiranku menampilkan kembali kilas balik ingatan-ingatan masa lalu itu.
Mataku mulai berair, mungkin aku sudah terlalu mengantuk, ku akhiri aktivitasku dan segera berbaring di kasur sembari menarik selimut.
Tapi...
Aku tidak bisa.
Pikiranku benar benar campur aduk, mana mungkin aku bisa tidur dengan nyenyak.
Duapuluh menit berbaring di kasur hanya memikirkan "dia", dimana dia? Apa dia baik-baik saja? bagaimana kabarnya saat ini? Apa dia masih... ?, ah sial, semakin dipikir membuat dadaku makin sesak.
Akhirnya ku nyalakan komputerku kembali, waktu menunjukan pukul dua malam dan sahid ternyata masih terjaga.
'Om, apa tidak apa-apa kalau aku menulis tentang itu?' Tanyaku.
'Hah, apa maksudmu? Apa menurutmu masa lalumu adalah sebuah dosa?' Jawabnya.
'Bukan begitu' Bantahku.
'Tulis saja! Jangan takut atau malu dengan masa lalumu, itulah yang membuatmu jadi seperti sekarang.' Tegasnya.
Dan begitulah, sekarang sudah dini hari, aku menulis sebuah cerita untuk pertama kalinya dengan penuh semangat, menumpahkan kisah masa mudaku kedalam tulisan ini.
...
Kita duduk berhadapan, memandang mata satu sama lain,
Kegaduhan seisi kelas tak terhiraukan,
Dalam hati ku bertanya akankah cerita kita menemui akhir yang bahagia?
Atau takdir ini akan terbelenggu seumur hidup?